Rabu, 29 Februari 2012

Merek Dagang Anakku

"Mengapa kamu sering mention @bacem_keren di twitter?" tanya teman-teman suami.
"Apa yang dimaksud 'bacem' distatusmu?" tanya teman-teman saya.

Kami tertawa mendengar komentar-komentar itu. Bacem adalah nama alias yang digunakan anak kami Amira, 11 tahun, sejak 1-2 tahun terakhir.

Amira bercita-cita menjadi komikus sejak usia 5 tahun. Dari berbagai buku, komik, dan sumber informasi lain, dia menemukan bahwa banyak komikus mempunyai nama alias, nama pena. Dia tahu ada komikus lokal yang menggunakan nama Jepang, mungkin karena komik manga yang komikus itu sukai berkiblat ke Jepang.

Amira berusaha mencari nama yang dia suka. Mudah diucapkan, sederhana, dan meng-Indonesia. Ditemukannyalah kata Bacem. Sejak itu, alamat e-mail, akun twitter, dan status-status yang dia tulis di media sosial lain menggunakan nama Bacem. Karena usianya belum 13 tahun, dia belum mempunyai akun facebook sendiri, belum memegang ponsel sendiri. Masih bergabung dengan saya. Sehingga, status yang dia tulis terbaca juga oleh teman-teman saya. Sering teman saya menganggap status itu berarti hari itu saya masak tempe bacem atau tahu bacem :)

Kisah "nama lain" Amira, sesungguhnya sudah dimulai sejak kecil. Setiap saat, hampir selalu dia mempunyai nama khusus.

Saat balita, film kesukaannya adalah The Lion King. Sampai suatu hari, saya ajak menjajagi taman bermain di dekat rumah. Karena sifat taman bermain lebih longgar dari sekolah tingkat atas, Amira bisa langsung masuk hari itu juga. Amira pun diminta memperkenalkan diri di depan guru-guru, kepala sekolah, dan teman-teman sebayanya.

"Siapa nama kamu?" tanya kak Agus D.S., kepala sekolah Titania tersebut.
"Simba!" jawab Amira.
Meledaklah tawa semua orang dewasa di sana. Amira bengong karena bingung, tidak merasa ada sesuatu yang aneh dari situasi saat itu.

Amira masih menyebut diri Simba sampai dia paham bahwa Simba itu singa jantan. Yang betina adalah Kiara, anak Simba. Dia akhirnya mengubah namanya menjadi Kiara, tetapi tidak lama.

Pada usia TK, Amira mulai sering mendengar kisah para Nabi. Suatu hari, ayahnya berkata, "Kalau punya anak laki-laki, Papa ingin memberi nama Ibrahim."
"Kalau adiknya Ibrahim, kakaknya Siti Hajar dong," kata Amira.
Sejak itu, Amira selalu menyebut nama dirinya adalah Siti.

Saya ladeni saja. Semula saya pikir itu hanya di rumah. Sampai suatu hari gurunya bertanya kepada saya, Siti itu siapa? Rupanya, di tugas-tugas sekolah, dia selalu menuliskan namanya sebagai Siti. Pun saat bercerita tentang diri.

Pada hari pertama masuk SD, setiap murid diminta membawa kalung nama. Saya tanyakan kepada Amira, nama apa yang mau dipakai di SD. Dia bilang, "Amira, tapi di belakangnya Siti". Akhirnya saya tuliskan di karton itu 2 nama. Halaman muka Amira, halaman belakangnya Siti.

Perkenalan dengan teman-teman di kelas berlangsung lancar. Sampai tiba saat permainan mengingat nama teman. Dua anak diminta maju ke tengah lingkaran, kemudian kalung namanya dibalik, dan masing-masing diminta menyebutkan nama teman barunya itu.
Saat giliran Amira maju, Ibu Guru membalik kalung nama Amira. Ternyata, ada nama Siti. Bingunglah beliau. Siti ini siapa?

Dia mengenalkan diri kepada teman-temannya sebagai Siti. Maka semua memanggil Siti. Tetapi, saat diabsen, yang dipanggil adalah Amira.

Peristiwa yang mengelikan pun terjadi pada suatu hari. Saya sedang menunggu Amira di sekolah. Teman-temannya sudah bubar, tetapi Amira belum terlihat. Seorang sahabatnya, Aurrel, mendekat kepada saya dan bertanya,"Mamah Amira, Sitinya mana?"

Lama juga Amira menjadi Siti. Sampai suatu saat dia tiba-tiba tertarik kepada kuda. Entah apa yang berproses di kepalanya, dia menganggap kuda itu temannya, artinya memposisikan dirinya juga sebagai kuda. Jika melihat delman, atau kuda tunggang, dia akan sapa sambil melambaikan tangan,"Halo teman...". Dan kalau dia meringkik....persis kuda. :)

Bahkan, dia pernah meminta untuk memelihara kuda di rumah. Pada saat itu kami sedang menumpang di rumah orang tua saya di Bandung. Rumah di kompleks, dengan halaman terbatas. Saat saya ceritakan bahwa kuda itu butuh ruang luas untuk berlari, melompat, dan berteriak, dia menjawab,"Ya sudah, kita pelihara anak kuda saja."

Jika saya ingat-ingat, ketertarikan kepada kuda ini mungkin berawal dari menonton film Spirit. Film yang menceritakan kuda liar yang tertangkap, kemudian berusaha memerdekakan diri. Saya juga suka film ini. Film yang mengambil sudut pandang dari si kuda, bukan manusia. Seperti juga Lion King, Amira menonton Spirit berkali-kali.

Kelas 3 SD Amira pindah sekolah ke Bogor. Saya sempat menganggap dia akan terus memakai nama aslinya karena di hari pertama dia semangat ke sekolah dan mengenalkan diri sebagai Amira. Tetapi ternyata, di kelas 3 ini dia punya nama panggilan juga. Kopiko. Nama ini julukan dari teman-temannya karena Amira berkulit gelap. Julukan lain dari teman-teman baru di kelas tiga ini berbau fisik, tapi ternyata efektif mengakrabkan Amira yang murid baru dengan mereka yang sudah kenal sejak kelas 1.

Ada yang memanggil Si Pesek atau Muka Rata. Amira dengan santai mengomentari julukan ini dengan, "Berarti aku anak jujur, gak pernah bohong." Memangnya Pinokio...
Ada juga yang menyebut Pantat Capung. Ini karena "parabot calik" Amira yang kurus ini, mantap. Itu sih warisan leluhur.

Kelas 4. Nah, ini. Nama julukannya berderet. Semua pemberian teman. Ada yang memanggil Lombok karena pernah membagikan oleh-oleh sepulang dari Lombok. Ada yang menyebut Tomboy karena tingkah lakunya sama sekali tidak anggun. Ada yang menjuluki Si Ijo karena suka warna hijau. Ada pula yang mengatakan Piku-piku, mungkin karena hobi Amira menggambar komik di setiap kesempatan. Di antara semua itu, nama paling populer dan lama bertahan adalah Om Bip Bip. Bip Bip, mirip dengan karakter Chibi. Om, karena tomboy. Om Bip Bip ini digunakan sahabat-sahabatnya untuk nama panggilan biasa, tidak dalam rangka menggoda. Jadi saat mereka mengobrol atau bertemu di jalan, dengan ringannya mereka memanggil anakku Om Bip Bip.

Kadang saya nelangsa sendiri mendengar panggilan-panggilan bagus ini. Karena, saya sudah menentukan nama Amira, jauh hari sebelum dia lahir. 6 tahun. Ternyata pada perjalanan hidupnya, nama cantik ini jarang dia pakai. Kalah oleh nama-nama kreasinya, maupun nama dari teman-temannya.

Setelah 2 tahun mendapat banyak nama julukan, Amira memperkenalkan nama temuannya sendiri. Sempat dia pakai nama Miyuki. Hanya sebentar. Amira yang sangat nasionalis, mencari nama lain yang menunjukkan identitas kebangsaannya. Bacem. Sampai hari ini.

O ya, suatu hari, kami pernah bertemu dengan Kak Agus D.S. di Cianjur secara tidak sengaja. Amira memberi salam, Kak Agus ingat dan menyapanya, "Apa kabar, Simba?" kemudian dengan wajah serba salah beliau melanjutkan,"Duh, saya malah lupa nama asli kamu..."

2 komentar:

  1. hihi..terima kasih ya utk menuliskan kisah nama kecil ini dengan indahnya..

    BalasHapus
  2. Salam dari Bandung, Amira, eh Bacem. Kalau ini artikel thn 2012, berarti Amira sudah SMA? Semoga jadi komikus suskes...

    BalasHapus