Selasa, 07 Februari 2012

JUJUR Itu Hebat!

Sticker dan pin dengan tulisan "Jujur Itu Hebat" menjadi oleh-oleh yang dibawa pulang anak saya usai pelatihan jurnalistik sehari di KPK. Bersama sekitar 60 siswa SD dari berbagai sekolah dia diberi materi jurnalistik oleh Antara dan penguatan untuk bersikap jujur dari KPK. Dua hari kemudian, ketua KPK saat itu mengadakan konferensi pers yang hanya dihadiri ke-60 wartawan cilik ini.

Peristiwa itu teringat kembali ketika minggu lalu anak saya bercerita tentang obrolan teman-temannya di kelas. Entah apa pemicunya, para siswa kelas 5 ini kemudian saling mengungkapkan pengetahuan mereka tentang koruptor kelas kakap. Tentu tak luput dibumbui pendapat pribadi dan dilengkapi kata-kata "penyeru", kata-kata yang membuat cerita menjadi semakin seru :) . Misalnya, "Gile ya, masa koruptor X punya rumah sekian," kata si A. "Lebih parah koruptor Y, kemarin aku lihat di TV katanya begini begitu di penjara," timpal si B. Membayangkan suasana kelas berdasarkan cerita anak saya, saya langsung teringat kuis "Are you smarter than the 5th grader?". Anak-anak yang sedang merasa di puncak kepandaian beradu argumen. Pasti seru.

Sungguh, saya kaget dan miris mendengar obrolan tentang korupsi masuk ke ruang pembicaraan anak SD dengan cara seperti ini.

"Lantas, apa komentar kamu?" tanya saya pada anak.

"Ya dengerin aja. Aku kan gak ngerti yang mereka omongin," jawabnya polos. Terbayang, anak saya tidak bisa masuk ke topik pembicaraan karena TV di rumah kami jarang sekali mengganggu kenyamanan telinga dan matanya.

"Menurut kamu, korupsi itu apa?"

"Apa ya? Nyuri?"

"Itu salah satunya. Kalian ngomongin koruptor, tapi tidak tahu korupsi itu apa," ujar saya sambil tersenyum. "Mau tahu apa itu korupsi?" Anak saya mengangguk.

" Kalian ngobrol di kelas, itu korupsi. Tugas anak sekolah selama jam pelajaran adalah belajar. Korupsi waktu, tidak benar. Apalagi dipakai untuk membicarakan koruptor. Menjadi ironis, kan? Menyalahkan orang lain, tapi diri sendiri melakukan."

"Iya juga ya, Mah."

"Kamu cukup jujur dan ingat Allah setiap saat. Itu saja." saya menutup pembicaraan.


Sebenarnya, saya justru memulai pembahasan dalam diri. Geregetan. Bagaimana usaha melawan korupsi justru berakibat semakin populernya si korupsi itu sendiri? Sudah dua digit tahun kita gunakan untuk memberantas korupsi. Mengapa seolah korupsi tak jua henti?

Menurut saya, pemilihan jargon kampanye anti negatif menjadi salah satu sebab. Silakan telusuri jalanan, atau media iklan lain. Pandang kampanye yang dilakukan oleh lembaga antikorupsi, pemerintah, parpol, maupun jargon kampanye calon kepala daerah. Apa yang paling banyak mereka tulis?

Anti korupsi-kah? Lawan korupsi-kah? Jauhi korupsi-kah? Bukan! Yang paling banyak adalah TULISAN korupsi. Apapun kata depannya, kata belakangnya adalah "korupsi". Dengan font yang jauh lebih besar pula dibandingkan kata pendahulunya.

Ingatkah ketika anak-anak kita baru bisa membaca? Mereka antusias sekali membaca semua tulisan, termasuk yang ada di pinggir jalan. Bayangkan, dalam kendaraan yang bergerak, apa yang terbaca? Tulisan yang paling menonjol. Huruf-huruf terbesar dan warna yang menyolok. Jauhi narkoba-kah atau narkoba-nya saja? Lawan Korupsi-kah atau korupsi-nya saja?

Ketika dia telah semakin lancar membaca, seluruh frase terbaca tuntas. Bagaimana database di kepalanya? Setelah membaca antikorupsi, lawan korupsi, jauhi korupsi, tercatat dalam memorinya: anti=1, lawan=1, jauhi=1, dan korupsi=3!

Korupsi pun menjadi trendsetter di memori anak.

Okelah, dia akan sering mendengar dan membaca bahwa korupsi itu salah. Buktinya, koruptor ditangkap karena urusan sekian milyar. Dia tahu itu. Tapi, apakah dia sudah tahu juga, bahwa menggunakan sebagian uang kembalian membeli telur untuk mendapatkan sebungkus permen tanpa izin ibu sebagai pemberi tugas, termasuk bibit korupsi?

Apakah terhadap anak-anak, kita sudah cukup memberi contoh dan informasi tentang perbuatan yang benar?

Apakah kita sendiri tahu, bahwa yang benar adalah ini, ini, dan ini, sedangkan yang termasuk katagori korupsi atau dapat berkembang menjadi korupsi adalah itu, itu, dan itu?

Jika menyanyikan lagu Indonesia Raya saat upacara saja perlu menyamakan suara, maka tampaknya perlu juga kita samakan definisi korupsi. Agar suasana tidak hiruk pikuk seperti saat ini. Ada pihak yang menuduh seseorang korupsi dengan alasan ini itu, sementara pihak yang dituduh membantahnya dengan alasan yang kuat pula terhadap data yang sama, bahwa itu bukan korupsi.

Eh, terlalu jauh. Intinya, saya merasa, kampanye KPK seperti pada judul tulisan, perlu diperbanyak. Ajakan untuk berbuat benar, bukan untuk menghindari yang salah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar