Maaf, judulnya agak lebay. Saya hanya sedang mencoba memaknai yang saya lihat sehari-hari dari sudut pandang yang berbeda.
Jalur rutin saya saat ini adalah Jl. Soleh Iskandar, yang lebih terkenal sebagai jalan baru, dan jalan raya di depan kompleks rumah, Jl. Abdullah bin Nuh.
Kedua jalan utama yang selalu saya lalui ini adalah jalan besar dengan pembatas antara dua arah yang berlawanan. Artinya, pada satu saat, saya hanya akan mengemudi di satu sisi jalan yang searah. Tidak perlu mempertimbangkan kendaraan dari arah yang berlawanan. Ini sangat memudahkan ketika saya keluar dari jalan kecil tempat sekolah dan tempat les anak, ataupun dari halaman Bogor Indah Plaza, tempat dapur, gudang, brankas, ruang rias, jogging track, dan lemari buku saya berada :). Pun ketika saya akan berputar arah, saya hanya tinggal membelokkan mobil pada tempat yang disediakan, dan memperhatikan kondisi dari sebelah kiri jalur yang akan saya masuki. Tidak ada kesulitan sama sekali.
Tetapi, apa yang selalu saya temui dan mengganggu kenyamanan mengemudi? "Pak Ogah" di setiap tempat. Di setiap tempat putar balik, selalu ada 1-2 orang yang sibuk meniup peluit dan melambai-lambaikan tangan seperti menyetop kendaraan lain agar saya bisa lewat. Urusan putar balik itu sederhana. Kita pasti bisa melakukan itu tanpa kesulitan, tanpa perlu mereka sibuk. Keberadaan mereka malah menghambat. Kadang-kadang mereka berdiri di posisi yang mempersulit gerak kendaraan kita.
Kendaraan yang akan memberi uang kepada mereka, tentu akan beberapa detik memperlambat lajunya, atau bahkan berhenti sejenak. Jika sedang ramai, ini berefek pada kemacetan di belakang, dan bahkan justru menutup peluang mobil di belakang untuk berputar pada saat itu.
Posisi tempat putar balik di depan Dinas Pemadam Kebakaran Yasmin, yang mau tidak mau harus saya lewati setiap akan pulang ke rumah, sangat unik. Tak jauh dari situ ada perempatan dengan lampu lalu-lintas. Sangat wajar, ketika lampu sedang hijau untuk yang dari arah Bubulak, kendaraan akan padat. Itu tidak akan lama. Begitu di sana lampu merah, jalur pun akan sangat kosong. Jadi, lengangnya jalur bukan karena peluit mereka selama padat. Tak ada jasa mereka sama sekali dalam hal ini. Tetapi mereka selalu berdiri di posisi tempat mobil akan lewat. Kadang pikiran iseng muncul, bagaimana kalau saya tabrak saja. Resminya kan dia yang salah karena menghalangi jalan. Untung anggota tubuh yang lain masih baik. Menolak mengikuti pikiran :).
Di tempat lain, sama. Selalu ada yang berisik meniup peluit. Sehingga ketika kita lewat dengan aman itu seolah-olah karena jasanya. Padahal, hanya belok kiri memasuki jalan searah. Beberapa oknum bahkan sering mengomel jika kita lewat tanpa memberi satu rupiahpun atas jasa yang bukan jasa itu.
Sampai pagi itu.
Kami sarapan tentang kemandirian bangsa di meja makan berdasarkan topik utama surat kabar yang membahas tokoh-tokoh muda kreatif. Sebagian dari mereka berjaya di usia muda dengan berbisnis kuliner. Baba Rafi, misalnya. Kebab Turki itu dari namanya saja jelas bukan makanan asli Indonesia. Tadinya tidak ada. Dan, kita pun tidak perlu makan itu untuk bertahan hidup. Tetapi, sang pemilik "menciptakan" jenis makanan ini, dan membuat kita membutuhkannya.
Keripik Ma Icih. Tiba-tiba saja generasi muda merasa kuno jika belum pernah mencicipi keripik yang memiliki berbagai level kepedasan ini. Rasa? Biasa, menurut saya yang bukan pecinta keripik. Gizi? Minim. Harga? Mahal. Tapi, laku keras. Ternyata, di balik kehebohan yang diciptakan Ma Icih, ada sosok kreatif yang mencoba memikirkan sesuatu yang baru dari yang sudah ada. Menciptakan kebutuhan untuk makan keripik pedas.
Ada banyak lagi sosok kreatif yang akhir-akhir ini banyak diekspos media. Mereka adalah orang-orang yang menciptakan lapangan kerja. Bukan mencari pekerjaan.
Apakah hanya sosok-sosok populer ini yang kreatif?
Tiba-tiba saya teringat mereka. Yang berdiri di setiap tikungan dan tempat putar balik, di sepanjang jalan yang saya lalui. Bukankah yang mereka lakukan juga sama? Menciptakan lapangan kerja dengan menciptakan kebutuhan dari orang-orang yang sebenarnya tidak butuh.
Saat ini, banyak di antara kita yang refleks mengambil uang receh saat hendak putar arah. Artinya, mereka berhasil mempengaruhi bawah sadar kita, bahwa keberadaan mereka di ujung jalan itu memang diperlukan. Dari pengaruh tersebut, mereka mengumpulkan rupiah. Ini menjadi pekerjaan mandiri mereka. Ini bukti kreativitas mereka.
Jadi, bangsa ini tenang sajalah.
Pasti akan sanggup bertahan hidup, karena penghuninya adalah orang-orang kreatif, dalam berbagai tingkat "kepedasan"nya.
Konon, sektor informal ini yg membuat ekonomi kita tumbuh relatif dan katup sosial di tengah melambungnya harga sembako akhir2 ini. Semoga makin banyak kreativitas positif lain yg tak merugikan orang lain.
BalasHapus