Minggu, 26 Februari 2012

Nikah Siri saja!

Mitsaqan Ghalidza, perjanjian yang amat kuat. Itu yang dinyatakan Allah tentang pernikahan dalam Qur'an surat An Nisa ayat 21.

Ijab qabul yang hanya sesaat diucapkan, mengubah banyak sekali hubungan. Yang semula haram menjadi halal. Yang tadinya dosa menjadi pahala.

Saya yakin, pada awalnya, semua manusia dewasa pasti bermimpi menikah sekali saja seumur hidup. Dan untuk menyempurnakan rumah tangga satu-satunya itu, tentu masing-masing berusaha yang terbaik.

Menyiapkan diri menjadi pribadi terbaik, dan berusaha menemukan pasangan terbaik.

Perjalanan hidup, membuat semua mulai lebih realistis.
Menyadari diri tak kunjung sempurna, membuat kita lebih toleran terhadap kekurangan pasangan.

Satu hal, kehormatan, selalu menjadi prioritas penjagaan.

Ketika akhirnya berhasil masuk ke gerbang pernikahan dengan catatan kosong, kebahagiaan yang didapat menjadi berlipat. Suami adalah orang pertama yang mendapatkan segalanya. Istri adalah perempuan terbaik yang menerima perlindungan abadi. Bahu membahu memulai semua dari titik awal, baik itu semangat, pengertian, ataupun materi.

Waktu bergerak, menggulung, mengguling, dan menggulirkan semua variabel. Bagai satu titik di bola salju, setiap faktor mengalami perubahan posisi dan pertambahan ketebalan. Ekonomi naik turun. Untungnya, kesepahaman pun begitu. Sehingga semua hal tetap bisa kembali kepada rel semula, mengarah ke tujuan akhir, menjaga keluarga yang dibina sekuat tenaga.

Semua dapat tetap harmonis karena ada landasan kuat. Pernikahan. Tepatnya, pernikahan tercatat oleh negara.

Selama ini saya merasa sangat aman dan nyaman atas pernikahan yang tercatat di KUA. Saya merasa buku nikah yang saya punya adalah buku sakti, yang membuat saya cukup bersyukur saja atas segala yang dialami. Saya tinggal memberi kepercayaan kepada suami, menjalankan kewajiban saya sebagai istri, dan membesarkan anak dengan kapasitas maksimal saya. Titik. Toh suami juga melakukan hal yang sama, bekerja sebaik mungkin demi kebahagiaan kami semua.

Lebih dari 17 tahun bola salju tadi bergulir, diameter yang semakin tebal membawa banyak kedalaman urusan. Alhamdulillah rezeki selalu tepat, karena kami berprinsip cukup dengan merasa cukup. Tidak berkeinginan di luar kemampuan.

Tiba-tiba saja saya teringat pada bola salju lain. Keluarga yang sudah menggelinding bersama bertahun-tahun. Sang istri telah mendampingi si suami di banyak puncak bola, yang semakin lama semakin tinggi. Tetapi, jangan lupa, sang istri ini pula yang tetap menemani si suami saat berada di dasar bola, yang semakin lama semakin dalam, semakin jauh jarak dari pusat dan puncak.

Saat sang suami berada di titik puncak bola salju yang telah bergulir panjang, ada pihak yang memandangnya dengan silau karena dia berada seolah-olah di tempat sangat tinggi. Sangat menjanjikan kenyamanan perlindungan. Sementara lelaki di puncak bola yang bergerak pun tentu mudah tergelincir. Bola salju besar pun retak dan terdiam.

Sang suami pun bergulir dengan sang pengagum, tidak dari titik awal. Bahkan, mereka tidak membentuk bola salju, hanya berseluncur di lapisan es setinggi puncak bola. Buktinya, ketika ritme sang lelaki mulai bergerak turun, sang pemuja tak turut serta. Mereka berpisah begitu saja. Seorang anak tak berdaya, telanjur ada.

Bola pertama telah retak. Itu saja sudah cukup membuat sang istri berteriak dalam hening. Berpuluh tahun.

Ditinggal kepala keluarga tanpa dicerai saja sudah malapetaka. Kini, tiba-tiba, negara memukulkan palu raksasa kepada bola yang telah retak itu. Anak dari pencuri kebahagiaan itu berhak atas nama suami di belakang namanya.

Dan, walau tak tertulis, akibat dari penggunaan nama pun jelas, hak waris.

Inikah yang namanya adil? Atas nama hak asasi anak, asalkan bisa membuktikan kesamaan DNA, atau yang sejenisnya, si anak terhubung secara perdata dengan ayahnya. Hubungan yang berakibat pada hak penggunaan nama sang ayah. Tapi tidak itu saja, dia akan berhak mendapatkan akta kelahiran dengan nama ayah dan ibunya. Dan akta, pada akhirnya akan dapat digunakan untuk meminta hak waris.

Betul bahwa tak ada lagi yang seperti nabi Isa, lahir tanpa ayah. Tetapi, dalam aturan agama pun jelas tercantum, anak dari luar pernikahan hanya tercatat dalam garis keturunan ibunya.

Hanya satu pertanyaan saya, mengapa negara -dalam hal ini MK- tidak menyoroti dari sisi nikahnya saja?

Selama anak itu lahir dari suatu pernikahan yang sah, dia sah sebagai anak dari ibu dan ayahnya.

Pernikahan yang benar dan tercatat di KUA, sudah cukup.

Bagaimana jika pernikahannya benar tetapi tidak tercatat di KUA?
Nikah siri, atau nikah tak tercatat di KUA, adalah pernikahan yang sah secara Islam, ASAL syarat-syarat sah nikah terpenuhi. Yaitu, ada calon mempelai yang memenuhi syarat, ada wali, ada 2 saksi, ada mahar, dan ada ijab qabul.
Andai karena berbagai alasan pernikahan ini tidak dipublikasikan, dan suatu saat ada masalah yang berkaitan dengan hukum, negara bisa meminta sumpah dari saksi pernikahan, dan kemudian mencatat/menerima pernikahan itu sebagai kebenaran. Sebagai akibat, anak dari pernikahan ini pun akan diakui, dan akibat berikutnya mengikuti.

Jika aturan yang dikenakan dimulai dari keberadaan anak, menurut saya, agak riskan. Karena, anak yang mana pun akan terkena. Tak peduli apakah hubungan ibu dan ayahnya itu sah atau tidak. Agama saja sudah mengatakan, anak hasil zina tidak ada hubungan dengan ayahnya.

Bagaimana jika nikah siri tanpa saksi?
Nah, ini dia, negara harus mensosialisasikan definisi nikah siri yang benar.
Tak ada pernikahan tanpa saksi.
Tak bisa sepasang perempuan dan laki-laki menikah tanpa ada saksi.


Semua pendukung keputusan ini beralasan, tak ada anak haram, yang ada orang tuanya yang berdosa. Sehingga, keputusan ini adalah kemenangan para anak haram ini. Padahal, jika nikah sirinya yang diakui, anak dari nikah siri ini tidak disebut sebagai anak haram. Semua akan di jalur halal, meskipun tetap akan menyakitkan bagi keluarga resmi.

Baiklah. Atas nama kemanusiaan, saya turut memberi selamat.
Semoga para lelaki hidung belang tersadarkan karena resiko yang berat di belakang perbuatan.

Tapi, sejauh ini, saya belum mendengar antisipasi pembuat aturan untuk mengatasi para perempuan instan, perempuan yang ingin hidup nyaman secara cepat. Jika para lelaki nakal akan berpikir dua kali untuk berbuat, maka para perempuan seperti ini sekarang tidak perlu berpikir lagi untuk beraksi. Mereka bisa memalingkan perhatian seorang laki-laki dari keluarganya kapan saja. Jika tak hamil, mereka mendapat kesenangan. Jika hamil, tak perlu pusing masalah tanggungan.

Bagaimana pula dengan anak halal? Anak hasil pernikahan resmi mempunyai hak penuh atas perhatian ayahnya. Gangguan dari perempuan yang bukan ibunya, berpotensi mengurangi waktu sang ayah untuknya. Dan, kini, berpeluang pula memberinya banyak saudara :)
Aturan yang menguntungkan anak haram ini, merugikan anak halal.

1 komentar:

  1. ya begitulah....bersyukurlah karena masih memiliki rasa gerah dan gelisah.Artinya, bersyukur karena kita masih memiliki keperdulian pada wanita lain.
    Setidaknya, saya akan katakan pada anak saya: "Nak, hati-hatilah dengan nikah siri." Di permukaannya indah, tetapi di dalamnya banyak mengundang masalah."

    Selamat menggali lebih dalam....

    BalasHapus