Membiasakan anak untuk berpikir positif adalah proses seru.
Mudah, karena pada dasarnya seorang anak memang baik. Berpikir positif bukan hal baru yang kita ajarkan kepada anak. Itu hanya sebuah usaha mempertahankan apa yang sudah menjadi bawaan mereka sejak lahir.
Kesulitan justru ada di pihak kita sebagai orangtua. Andaipun setiap bangun tidur kita jejali anak dengan perintah untuk berpikir positif, itu tak akan berarti jika kita tidak memberi contoh. Sebagai orang yang terbiasa memperhitungkan segala kemungkinan dari setiap peristiwa, pikiran saya tidak hanya memunculkan pertimbangan positif, tetapi juga peluang kejadian negatif. Menurut suami saya yang beraliran positif, apa yang saya lakukan bukan berpikir negatif, tetapi suatu bentuk kewaspadaan. Sikap hati-hati. Dan, itu perlu.
Tuh kan, beliau tetap berpikir positif...
Yang menjadikan proses ini seru adalah ketakterdugaan aplikasinya. Kita tidak tahu kapan dan bagaimana anak akan menerapkan hal ini.
Keterkejutan pertama yang saya ingat adalah saat dia taman kanak-kanak. Hari itu adalah hari bahasa. Ada berbagai lomba. Diantaranya mewarnai dan bercerita. Anak saya dan sahabatnya ikut lomba bercerita. Dan dua-duanya kalah. Sambil berjalan menuju gerbang keluar, Ibu sahabatnya menegur sang anak. Katanya, andai saja kamu menuruti saran Ibu untuk ikut lomba mewarnai, Ibu yakin kamu bisa menang. Anak saya yang tak sengaja mendengar, langsung berkomentar,"Seharusnya Tante bersyukur dong anaknya sudah mau ikut lomba." Saat itu justru saya yang bersyukur, dalam hati. Boleh juga nih pemikiran anak saya. Matang.
Tapi, dua contoh di bawah ini, adalah penerapan ilmu berpikir positif di kelas, versi lain dari anak yang sama.
Saat pengambilan rapot di semester 1 kelas 4, wali kelas menceritakan perilaku anak saya. Pernah ada pembagian berkas ulangan. Setiap anak dipanggil ke depan kelas untuk mengambil berkasnya. Anak pertama, mendapat nilai 97. Kembali ke kursi dengan wajah tegang, karena biasanya dia mendapat 100. Anak kedua, mendapat nilai 90. Kepalanya langsung tertunduk kecewa. Giliran anak saya, nilainya 71. Dengan tenang dia bertanya, "KKMnya berapa, Bu?". "70," jawab Ibu Guru. Anak saya? Berlari ke tempat duduk sambil mengacungkan berkas ulangan dan berteriak, "Horeeee, di atas KKM!"
Minggu lalu, sepulang sekolah anak saya bercerita dengan semangat. Pada materi pengayaan IPA, setiap anak diminta mengerjakan 5 soal. Anak saya hanya sempat mengerjakan 4. Dia tidak menceritakan mengapa tidak selesai. Dugaan saya, dia bercanda dengan teman, karena dia mengatakan bahwa ibu guru yang biasanya paling asyik dan sabar, menegur dia dengan ekspresi menahan marah.
"Mengapa kamu tidak mengerjakan soal-soal itu?"
"Kata siapa saya tidak mengerjakan?" Anak saya balas bertanya dengan ringan karena merasa sudah mengerjakan, walau tidak semua.
"Ibu melihat sendiri kamu tidak mengerjakan."
Respon anak saya adalah...
"Alhamdulillah Ibu masih bisa melihat..."
Bu guru pun kehilangan kata.
Nak, nak...salut pada refleks berpikir positifmu. Tapi kalau Mamah jadi guru kamu, bisa kurus kering
Semoga Amira eh Bacem dapat selalu menjaga dan mempertahankan sifat positifnya didunia yang penuh dinamika ini didampingi Ibu yang menyayanginya ...
BalasHapusAmiin... Makasih, Mas Totok.
BalasHapus