Dalam sehari, membaca dua bahasan yang sama sekali tidak berhubungan, tetapi di kepala saya terangkai dalam satu bingkai.
Di salah satu milis, teman-teman sedang membahas isu rencana pemerintah menyatukan zona waktu di Indonesia. Ada berbagai pendapat. Ada versi profesional, seorang astronom. Ada pendukung, berkaca pada negara lain. Dan banyak lagi. Saya yang biasanya pembaca pasif, kali ini pun tergoda bicara, dalam sudut pandang ibu rumah tangga.
Hingar bingar yang ditimbulkan dari suatu wacana yang dilemparkan pemerintah kepada masyarakat, dalam pandangan saya, bisa seperti bom yang meledak sebelum dirakit. Padahal bom yang direncanakan tersebut belum tentu eksplosif. Energi positif masyarakat dapat terkuras atas sesuatu yang semu.
Menjelang sore, di satu laman berita, terbaca kabar menikah ulangnya Aa Gym dengan Teh Ninih. Dalam sekejap, reaksi masyarakat berhamburan.
Entah bagaimana sel-sel kelabu saya berkomunikasi, tiba-tiba saja terpeta jelas kemungkinan persamaan kasus antara kedua masalah tersebut. Tiba-tiba saja saya ingin memperingatkan pemerintah atas kemungkinan ini. Tetapi, siapalah saya? Hehe... Di warung kopi ini saja ya ngerumpinya...
Sekitar tahun 1987 pertama kali saya mengenal Aa. Saat itu ada pengajian dengan teman-teman SMA yang kuliah di Bandung, di sebuah rumah kontrakan mahasiswa, di dalam gang, di daerah Muararajeun. Da'i muda yang berceramah dengan gaya khas, itu kesan saya.
Tak sampai 10 tahun, Aa telah menjadi ikon da'i secara nasional. Pencapaian yang luar biasa. Betapa kemesraannya dengan teh Ninih menjadikan dia indikator suami teladan bagi para istri. Jamaah tidak terlalu mendengarkan isi ceramah. Bukti sikap Aa saja sudah menjawab segala kebutuhan ummat atas contoh pengejawantahan agama dalam kehidupan berumah tangga.
Sampai hari itu, ketika Teh Ninih dengan pakaian merah marunnya mendampingi Aa mengumumkan pernikahan Aa dengan Teh Rini. Tentu ada proses dan alasan yang benar yang mereka bertiga pertimbangkan, tetapi bagi masyarakat, ini senjata nuklir yang menghancurleburkan kepercayaan kepada Aa.
Tampaknya, Aa sangat yakin dengan langkah menikah lagi. Bahwa ini jalan dakwah, bahwa ini sunnah, dll.
Tapi ternyata masyarakat mempunyai logika berbeda. Aplikasi "pasal" yang ini tidak laku dijual.
Nama Aa semakin tidak populer ketika akhirnya Aa melepas Teh Ninih, bukan teh Rini.
Pernikahan ulang mereka hari ini, tentu atas pertimbangan panjang dan matang. Banyak yang bersyukur, tetapi tak sedikit pula yang sekedar mengangkat sebelah alis. Ada apalagi ke depannya?
Tak pernah mudah membangun kembali rumah utuh dari puing-puing kehancuran.
Analisis emosional seorang istri ---baca: saya, hehe--- menyimpulkan, bahwa pada akhirnya Aa menyadari, Teh Ninih belahan jiwa yang sesungguhnya. Istri yang menentramkan hatinya, sehingga dia bisa optimal berbuat bagi ummat.
Dengan 2 istri dan 8 anak, Aa harus bekerja keras lagi jika ingin mencapai kondisi seperti di saat awal, yaitu saat ummat mempercayainya dari perwujudan nilai-nilai agama dalam hidup keseharian.
Apa relevansinya dengan zona waktu?
Penyatuan 3 zona waktu masih berupa rencana. Bahkan mungkin masih di level wacana. Pemerintah mengungkap alasan dari sisi kemungkinan keuntungan sekian triliun rupiah. Tampaknya, manis sekali.
Sementara, sebagian orang yang waspada, melihat berbagai masalah yang mungkin timbul. Mereka mengungkap alasan ini dan itu yang mendasarinya. Sebagian lagi, yang berpikir positif, menyatakan ini tidak rumit, tak perlu dibesar-besarkan.
Menurut saya, pemerintah cukup berkaca kepada Aa saja. Sebelum mengambil keputusan.
Karena, begitu palu telah diketuk, akan menjadi sesuatu yang telanjur.
Jika memang itu baik, alhamdulillah, tinggal melanjutkan.
Tetapi, jika pembahasannya kurang komprehensif, hanya fokus kepada masalah ekonomi dan kurang mempertimbangkan aspek sosial dan budaya masyarakat yang terbangun lebih dari setengah abad, pemerintah harus siap dengan resiko. Jika bisa bicara tentang keuntungan maksimal, maka terhadap resiko pun harus siap dengan yang terbesar.
Jangan sampai, setelah disatukan, kembali ditigakan lagi. Tak pernah mudah membuat nasi dari bubur kepercayaan.
Reflektif...mungkinkah membuat nasi dari bubur kepercayaan?
BalasHapus