Rabu, 09 Januari 2013

Dari Habibie ke Ainun



            Sebagai remaja di tahun 80-an, saya termasuk pengagum pak Habibie. Menristek yang lincah, selalu bersemangat dalam segala hal. Apalagi jika bicara tentang pesawat terbang, matanya selalu berbinar-binar. Beliau penggagas berdirinya pabrik pesawat terbang di Bandung. Kurang keren apalagi, coba? Saat itu, sebagai negara agraris, Indonesia sudah bisa mencukupi kebutuhan berasnya. PT Nurtanio akan melengkapi kebanggaan sebagai orang Indonesia dengan membuat pesawat sendiri.

            Sebagai kepala BPPT, Pak Habibie pun membuka peluang sekolah teknik di luar negeri untuk para lulusan SMA. Beasiswa BPPT menjadi tujuan mayoritas siswa laki-laki  berprestasi dari jurusan IPA. Peminat perempuan ada, tapi belum banyak.

            Saya sempat sangat ingin menjadi bagian dari pelajar istimewa itu, tetapi tidak mengetahui prosedurnya. Saya kira akan ada penawaran, ternyata tidak. Saya baru tahu saat teman-teman saya sudah  mendapat panggilan tes tertulis. Terlambat. Rasa tak nyaman itu muncul lagi saat di pertengahan semester 1, beberapa teman kuliah tiba-tiba menghilang. Rupanya mereka lolos sampai seleksi tahap akhir dan mulai mempersiapkan keberangkatan ke negara tujuan masing-masing.

            Beberapa tahun saya menjalani kesibukan sebagai mahasiswa seperti pada umumnya dengan berbagai kehidupan sosial di luar pelajaran. Sampai di tahun keempat, saya membaca penawaran beasiswa BPPT untuk mahasiswa tingkat akhir di dalam negeri. Teringat keinginan dahulu, saya pun melamar. Program yang ini sudah sangat spesifik. Saat mendaftar kita sudah langsung menentukan di instansi mana nanti akan mengabdi. Saya memilih PT IPTN, Industri Pesawat Terbang Nusantara, nama baru dari PT Nurtanio.

            Alhamdulillah, lolos. Bangganya...karena saya akan satu perusahaan dengan Pak Habibie, Dirut PT IPTN. Hanya setahun saya mendapat beasiswa. Lulus. Dan langsung bekerja. Saya ditempatkan di Pusat Komputasi, bagian Analisis Data, dengan ruang kerja di Lantai 6 Hanggar. Dari jendela ruang kerja, tampak pesawat-pesawat keluar masuk hanggar. Walau lutut gemetar karena saya takut ketinggian, saat istirahat saya suka sekali memandang dari jendela ini. Apalagi saya belum pernah naik pesawat terbang.

            Jika waktu shalat Jumat tiba, saya sangat menikmati perjalanan dari gedung Hanggar ke gerbang depan untuk makan siang di luar kantor. Selain karyawati, yang melintas di jalur utama itu adalah para ekspatriat. Saya suka berkhayal sedang berjalan-jalan di Eropa :).  Tahun 1992-1994, ekspatriat masih banyak di IPTN.

            Pekerjaan saya tidak berkaitan langsung dengan pembuatan fisik pesawat. Saya menggali informasi dari berbagai departemen, mempelajari proses kerja dan kebutuhan data mereka. Informasi ini nantinya akan menjadi dasar pemrograman komputer yang terintegrasi.

Berkaitan dengan pekerjaan ini, saya pernah diajak masuk ke lokasi perakitan pesawat. Jeleknyaaa pesawat yang sedang dirakit :). Penuh dengan sekrup yang mengikat lempengan-lempengan kecil yang membentuk badan pesawat. Di IPTN, saya hanya 1/16.000 karyawan saat itu. Tapi, saya bangga menjadi 1 sekrup di industri berteknologi tinggi ini. 

Mimpi saya untuk menjadi seperti Pak Habibie masih hidup. 3 kali seminggu, sepulang kerja di kompleks lanud Husein Sastranegara, saya menuju Goethe di jalan Martadinata untuk belajar bahasa Jerman. Saya memilih kursus bahasa Jerman, karena masih berharap bisa kuliah S2 atau S3 di sana. Lelah dan dinginnya malam sering terlupakan.

            Beberapa kali upacara dipimpin langsung Pak Habibie. Saya selalu antusias mendengar pidato beliau. Dinamis. Optimis. Apalagi saat itu PT IPTN sedang menyiapkan pesawat N-250.

            Motivasi saya sempat terganggu ketika mulai bergaul dengan lebih banyak orang. Mendengar gosip ini itu, menyadarkan saya bahwa dunia kerja bukan prototype hidup, tapi kenyataan. Ada baik buruk, ada positif negatif.

Saya tersemangati lagi saat mendapat sebuah penugasan, berkaitan dengan Rencana Strategis perusahaan. Ada sesi penjelasan 5 tahap alih teknologi yang dicanangkan IPTN/Pak Habibie dari awal. Kurang lebihnya sebagai berikut:

Tahap pertama, menjadi “tukang”. Menerima order membuat bagian-bagian pesawat dari perusahaan pesawat yang sudah mapan. Pemesan sudah menggambarkan spec detilnya, IPTN tinggal membuat. Tujuan tahap pertama ini adalah mengenalkan pabrik ini, sambil kita mempelajari teknologi yang sudah dikuasai perusahaan lain. 

Tahap kedua, membuat pesawat atas nama perusahaan lain. Gambar detil, dibuat pemesan. IPTN merakit. Ibarat tukang jahit, saat itu IPTN hanya menjahit. Pola baju sudah dibuatkan orang lain.

Tahap ketiga, membuat pesawat bekerja sama dengan perusahaan lain. Hasilnya adalah pesawat CN – 235, CN singkatan dari Cassa dan Nurtanio.

Tahap keempat, membuat pesawat hasil desain sendiri. Contohnya N-250. Desain asli di IPTN, badan dibuat di IPTN, tetapi mesin masih dipesan ke pihak ketiga.

Dan tahap kelima adalah, suatu saat akan membuat pesawat dengan seluruh komponen dibuat di Indonesia.

Lima tahap alih teknologi yang luar biasa. Saat awal, tenaga ahli kita belum banyak. Jadi, sambil menyekolahkan generasi muda ke luar negeri di bidang perpesawatan, para ahli dari luar juga dipekerjakan di IPTN. Secara bertahap, ekspatriat ini akan digantikan oleh ahli lokal yang sudah terdidik. 

Lebih jauh lagi, jika teknologi pesawat terbang yang sulit saja sudah terkuasai, diharapkan kepercayaan diri bangsa Indonesia dalam bidang teknologi meningkat. Kemampuan membuat mobil, alat telekomunikasi, dan lain-lain akan menyusul berkembang. Untuk ini, selain IPTN, ada 8 industri strategis lainnya dalam kelompok BPIS.

Impian besarnya, selain swasembada beras, Indonesia suatu saat akan bisa swasembada alat transportasi. Pesawat kecil buatan sendiri yang akan menghubungkan ribuan pulau di negeri ini. Demikian juga produk BPIS lainnya, misalnya kapal laut dan kereta api.

Satu hari di tahun 1994, kebanggaan saya memuncak. Pesawat N250 roll out. Keluar dari ruang produksi. Tinggal mempersiapkan penerbangan perdananya di tahun 1995. Desain dan pembuatan pesawat ini murni di Indonesia, kecuali mesinnya. Konsep Fly By Wire pada  N 250 termasuk mendahului zamannya pada saat itu.

Sesuatu mengubah saya.

Seseorang melamar saya. 
Dan, saya pun tersadar, menjadi istri dan ibu adalah cita-cita tertinggi saya. 

Saya mengundurkan diri dari IPTN, karena kebetulan juga masa ikatan dinas sudah jauh terlewati. Saya pun beralih profesi menjadi dosen di Bogor, mendekat kepada suami yang bekerja di Jakarta. Saya merasa tak berkhianat kepada negara, karena toh berpindah dari karyawan BUMN menjadi PNS. Sama-sama mengabdi kepada negeri.

            Sering saya bercanda, bahwa saya ibu rumah tangga yang nyambi jadi dosen. Karena saya hanya memenuhi syarat wajib sebagai pegawai fungsional. Mengajar. Di luar itu, jika tidak ada tugas administratif, saya pulang. Bahkan persiapan mengajar pun saya lakukan di rumah. Apalagi setelah ada anak.
 Sampai di satu titik. 
Suami yang selama ini bekerja dan berwirausaha di sektor swasta, mendapat amanah di sebuah BUMN. Di sisi lain, saya juga masih ingin punya anak. Ada juga beberapa hal lain yang saling berkaitan.  Akhirnya, saya memutuskan mundur dari dunia kerja di luar rumah. 

Bukan hal mudah, tentu saja, menjalani perubahan kondisi. Dari bekerja, menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Niat mendukung suami apapun yang terjadi, tidak selalu berhasil. 


Lalu, Bu Ainun wafat. Membuat banyak kisahnya tertulis di media. Saya jadi semakin tahu tentang beliau. 

Dan, tiba-tiba saja, saya merasa ada panutan. Saya tidak sendiri. Kondisi yang dihadapi Bu Ainun lebih kompleks. Tetapi semua bersaksi, beliau luar biasa sabar. Saya jadi merasa tak mahir menghadapi kondisi yang jauh lebih ringan. Saya semakin salut kepada beliau mengingat apa yang berhasil dicapai Pak Habibie, suaminya.

Saya belum sempat tuntas membaca buku Habibie dan Ainun, telanjur diputar filmnya. Saat menonton, saya tersenyum sendiri ketika anak saya nyeletuk, “Mamah sering bilang begitu!” pada adegan Bu Ainun marah dan berkata “Saya tidak suka...”

Adegan itu, memanusiakan Bu Ainun di mata saya. Ternyata beliau ada batas sabarnya juga. Ternyata beliau tidak melulu patuh pada suaminya juga. Membuat saya semakin suka, karena beliau tidak berpura-pura menjadi malaikat. 

Yang saya kagumi jadi dua, Pak Habibie dan Bu Ainun.
Tetapi, idola saya bergeser, dari Pak Habibie ke Bu Ainun.

6 komentar:

  1. Iya Nis, baca tulisan mu ini, aku serasa napak tilas. Teringat waktu tugas akhir. Sayang banget ya PT.DI berakhir dg begini, hiks...

    Akan tetapi yg di bawah ini Annis banget deh,...
    "memanusiakan Bu Ainun,..."

    Ayoooo, tulis lagiii,....

    Salam tuk Mas dan Amira,....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe, makasih ya sudah mampir. Insya Allah salamnya nanti saya sampaikan.

      Saat nonton film HnA, saya lebih ikut sedih dengan Pak Habibie yang menangis di hanggar tanpa aktivitas daripada saat Bu Ainun wafat. Saya saja yang "numpang lewat" turut berduka, apalagi beliau yang mempertaruhkan seluruh hidup dan masa depannya demi kemandirian bangsa suatu saat nanti.

      Hapus
  2. Mba... tulisannya bagus... suka. :)

    BalasHapus
  3. aku belom nonton filmnya mak, nunggu nongol di tip, hihihi ngga modal yak

    BalasHapus