Sebagai remaja di tahun 80-an, saya termasuk pengagum pak
Habibie. Menristek yang lincah, selalu bersemangat dalam segala hal. Apalagi
jika bicara tentang pesawat terbang, matanya selalu berbinar-binar. Beliau
penggagas berdirinya pabrik pesawat terbang di Bandung. Kurang keren apalagi,
coba? Saat itu, sebagai negara agraris, Indonesia sudah bisa mencukupi
kebutuhan berasnya. PT Nurtanio akan melengkapi kebanggaan sebagai orang
Indonesia dengan membuat pesawat sendiri.
Sebagai kepala BPPT, Pak Habibie pun membuka peluang
sekolah teknik di luar negeri untuk para lulusan SMA. Beasiswa BPPT menjadi
tujuan mayoritas siswa laki-laki
berprestasi dari jurusan IPA. Peminat perempuan ada, tapi belum banyak.
Saya sempat sangat ingin menjadi bagian dari pelajar
istimewa itu, tetapi tidak mengetahui prosedurnya. Saya kira akan ada
penawaran, ternyata tidak. Saya baru tahu saat teman-teman saya sudah mendapat panggilan tes tertulis. Terlambat. Rasa
tak nyaman itu muncul lagi saat di pertengahan semester 1, beberapa teman
kuliah tiba-tiba menghilang. Rupanya mereka lolos sampai seleksi tahap akhir
dan mulai mempersiapkan keberangkatan ke negara tujuan masing-masing.
Beberapa tahun saya menjalani kesibukan sebagai mahasiswa
seperti pada umumnya dengan berbagai kehidupan sosial di luar pelajaran. Sampai
di tahun keempat, saya membaca penawaran beasiswa BPPT untuk mahasiswa tingkat
akhir di dalam negeri. Teringat keinginan dahulu, saya pun melamar. Program
yang ini sudah sangat spesifik. Saat mendaftar kita sudah langsung menentukan
di instansi mana nanti akan mengabdi. Saya memilih PT IPTN, Industri Pesawat
Terbang Nusantara, nama baru dari PT Nurtanio.
Alhamdulillah, lolos. Bangganya...karena saya akan satu
perusahaan dengan Pak Habibie, Dirut PT IPTN. Hanya setahun saya mendapat
beasiswa. Lulus. Dan langsung bekerja. Saya ditempatkan di Pusat Komputasi,
bagian Analisis Data, dengan ruang kerja di Lantai 6 Hanggar. Dari jendela
ruang kerja, tampak pesawat-pesawat keluar masuk hanggar. Walau lutut gemetar
karena saya takut ketinggian, saat istirahat saya suka sekali memandang dari
jendela ini. Apalagi saya belum pernah naik pesawat terbang.
Jika waktu shalat Jumat tiba, saya sangat menikmati
perjalanan dari gedung Hanggar ke gerbang depan untuk makan siang di luar
kantor. Selain karyawati, yang melintas di jalur utama itu adalah para ekspatriat.
Saya suka berkhayal sedang berjalan-jalan di Eropa :). Tahun 1992-1994,
ekspatriat masih banyak di IPTN.
Pekerjaan saya tidak berkaitan langsung dengan pembuatan
fisik pesawat. Saya menggali informasi dari berbagai departemen, mempelajari
proses kerja dan kebutuhan data mereka. Informasi ini nantinya akan menjadi
dasar pemrograman komputer yang terintegrasi.
Berkaitan
dengan pekerjaan ini, saya pernah diajak masuk ke lokasi perakitan pesawat.
Jeleknyaaa pesawat yang sedang dirakit :).
Penuh dengan sekrup yang mengikat lempengan-lempengan kecil yang membentuk
badan pesawat. Di IPTN, saya hanya 1/16.000 karyawan saat itu. Tapi, saya
bangga menjadi 1 sekrup di industri berteknologi tinggi ini.
Mimpi
saya untuk menjadi seperti Pak Habibie masih hidup. 3 kali seminggu, sepulang
kerja di kompleks lanud Husein Sastranegara, saya menuju Goethe di jalan
Martadinata untuk belajar bahasa Jerman. Saya memilih kursus bahasa Jerman,
karena masih berharap bisa kuliah S2 atau S3 di sana. Lelah dan dinginnya malam
sering terlupakan.
Beberapa kali upacara dipimpin langsung Pak Habibie. Saya
selalu antusias mendengar pidato beliau. Dinamis. Optimis. Apalagi saat itu PT
IPTN sedang menyiapkan pesawat N-250.
Motivasi saya sempat terganggu ketika mulai bergaul
dengan lebih banyak orang. Mendengar gosip ini itu, menyadarkan saya bahwa
dunia kerja bukan prototype hidup, tapi kenyataan. Ada baik buruk, ada positif
negatif.
Saya
tersemangati lagi saat mendapat sebuah penugasan, berkaitan dengan Rencana
Strategis perusahaan. Ada sesi penjelasan 5 tahap alih teknologi yang
dicanangkan IPTN/Pak Habibie dari awal. Kurang lebihnya sebagai berikut:
Tahap
pertama, menjadi “tukang”. Menerima order membuat bagian-bagian pesawat dari
perusahaan pesawat yang sudah mapan. Pemesan sudah menggambarkan spec detilnya, IPTN tinggal membuat.
Tujuan tahap pertama ini adalah mengenalkan pabrik ini, sambil kita mempelajari
teknologi yang sudah dikuasai perusahaan lain.
Tahap
kedua, membuat pesawat atas nama perusahaan lain. Gambar detil, dibuat pemesan.
IPTN merakit. Ibarat tukang jahit, saat itu IPTN hanya menjahit. Pola baju
sudah dibuatkan orang lain.
Tahap
ketiga, membuat pesawat bekerja sama dengan perusahaan lain. Hasilnya adalah
pesawat CN – 235, CN singkatan dari Cassa dan Nurtanio.
Tahap
keempat, membuat pesawat hasil desain sendiri. Contohnya N-250. Desain asli di
IPTN, badan dibuat di IPTN, tetapi mesin masih dipesan ke pihak ketiga.
Dan
tahap kelima adalah, suatu saat akan membuat pesawat dengan seluruh komponen
dibuat di Indonesia.
Lima
tahap alih teknologi yang luar biasa. Saat awal, tenaga ahli kita belum banyak.
Jadi, sambil menyekolahkan generasi muda ke luar negeri di bidang perpesawatan,
para ahli dari luar juga dipekerjakan di IPTN. Secara bertahap, ekspatriat ini
akan digantikan oleh ahli lokal yang sudah terdidik.
Lebih
jauh lagi, jika teknologi pesawat terbang yang sulit saja sudah terkuasai,
diharapkan kepercayaan diri bangsa Indonesia dalam bidang teknologi meningkat.
Kemampuan membuat mobil, alat telekomunikasi, dan lain-lain akan menyusul
berkembang. Untuk ini, selain IPTN, ada 8 industri strategis lainnya dalam
kelompok BPIS.
Impian
besarnya, selain swasembada beras, Indonesia suatu saat akan bisa swasembada
alat transportasi. Pesawat kecil buatan sendiri yang akan menghubungkan ribuan
pulau di negeri ini. Demikian juga produk BPIS lainnya, misalnya kapal laut dan
kereta api.
Satu
hari di tahun 1994, kebanggaan saya memuncak. Pesawat N250 roll out. Keluar
dari ruang produksi. Tinggal mempersiapkan penerbangan perdananya di tahun
1995. Desain dan pembuatan pesawat ini murni di Indonesia, kecuali mesinnya. Konsep
Fly By Wire pada N 250 termasuk
mendahului zamannya pada saat itu.
Sesuatu
mengubah saya.
Seseorang
melamar saya.
Dan, saya pun tersadar, menjadi istri dan ibu adalah cita-cita
tertinggi saya.
Saya
mengundurkan diri dari IPTN, karena kebetulan juga masa ikatan dinas sudah jauh
terlewati. Saya pun beralih profesi menjadi dosen di Bogor, mendekat kepada
suami yang bekerja di Jakarta. Saya merasa tak berkhianat kepada negara, karena
toh berpindah dari karyawan BUMN menjadi PNS. Sama-sama mengabdi kepada negeri.
Sampai
di satu titik.
Suami yang selama ini bekerja dan berwirausaha di sektor swasta,
mendapat amanah di sebuah BUMN. Di sisi lain, saya juga masih ingin punya anak.
Ada juga beberapa hal lain yang saling berkaitan. Akhirnya, saya memutuskan mundur dari dunia
kerja di luar rumah.
Bukan
hal mudah, tentu saja, menjalani perubahan kondisi. Dari bekerja, menjadi ibu
rumah tangga sepenuhnya. Niat mendukung suami apapun yang terjadi, tidak selalu
berhasil.
Lalu,
Bu Ainun wafat. Membuat banyak kisahnya tertulis di media. Saya jadi semakin
tahu tentang beliau.
Dan,
tiba-tiba saja, saya merasa ada panutan. Saya tidak sendiri. Kondisi yang
dihadapi Bu Ainun lebih kompleks. Tetapi semua bersaksi, beliau luar biasa
sabar. Saya jadi merasa tak mahir menghadapi kondisi yang jauh lebih ringan.
Saya semakin salut kepada beliau mengingat apa yang berhasil dicapai Pak
Habibie, suaminya.
Saya
belum sempat tuntas membaca buku Habibie dan Ainun, telanjur diputar filmnya.
Saat menonton, saya tersenyum sendiri ketika anak saya nyeletuk, “Mamah sering
bilang begitu!” pada adegan Bu Ainun marah dan berkata “Saya tidak suka...”
Adegan
itu, memanusiakan Bu Ainun di mata saya. Ternyata beliau ada batas sabarnya
juga. Ternyata beliau tidak melulu patuh pada suaminya juga. Membuat saya
semakin suka, karena beliau tidak berpura-pura menjadi malaikat.
Yang
saya kagumi jadi dua, Pak Habibie dan Bu Ainun.
Tetapi, idola saya bergeser, dari Pak Habibie ke Bu
Ainun.
Iya Nis, baca tulisan mu ini, aku serasa napak tilas. Teringat waktu tugas akhir. Sayang banget ya PT.DI berakhir dg begini, hiks...
BalasHapusAkan tetapi yg di bawah ini Annis banget deh,...
"memanusiakan Bu Ainun,..."
Ayoooo, tulis lagiii,....
Salam tuk Mas dan Amira,....
Hehe, makasih ya sudah mampir. Insya Allah salamnya nanti saya sampaikan.
HapusSaat nonton film HnA, saya lebih ikut sedih dengan Pak Habibie yang menangis di hanggar tanpa aktivitas daripada saat Bu Ainun wafat. Saya saja yang "numpang lewat" turut berduka, apalagi beliau yang mempertaruhkan seluruh hidup dan masa depannya demi kemandirian bangsa suatu saat nanti.
Mba... tulisannya bagus... suka. :)
BalasHapusTerima kasih, Santi. Alhamdulillah.
Hapusaku belom nonton filmnya mak, nunggu nongol di tip, hihihi ngga modal yak
BalasHapusBaca bukunya saja:)
Hapus