Feat: sampah dan pilgub
Beberapa
hari ini terbangun jauh sebelum subuh karena hujan deras mengguyur. Kadang-kadang
disertai angin kencang. Dalam bayangan saya, ada yang sedang menuangkan air
sekaligus dari sebuah ember super besar. Pasti besar sekali embernya, karena
guyurannya tak henti-henti. Untung masih ada genteng dan langit-langit di atas
kepala saya.
Hujan
yang berformalin, karena awet sekali. Walau kadang mereda menjadi gerimis, dan
kemudian tiba-tiba membesar lagi, tapi hujan tak pernah berhenti. Terus-menerus
sepanjang hari. Itu di tempat saya tinggal, Bogor. Rupanya, hujan datang
sekompi. Di Jakarta juga. Di Depok juga. Di Puncak, apalagi.
Berteriaklah
teman-teman saya di Jakarta. Apalagi setelah beredar informasi, Katulampa Siaga
1. 8 jam dari saat itu, diperkirakan air dari Katulampa akan sampai di Jakarta.
“Annis,
mengapa Bogor mengirim air melulu?”
“Maaf
teman, hanya itu yang ada. Mau mengirim macet, Jakarta sudah punya. Banyak.” Tentu,
konteksnya bercanda. Apalagi yang kami bisa lakukan selain itu?
Sejak dulu Bogor sudah dinamai kota hujan. Jadi memang
spesialisasi kami di perhujanan. Tapi, yang disebut wilayah Bogor itu termasuk
Puncak, tempat hulu sungai Ciliwung berada. Bogor kota sendiri posisinya di
pertengahan ketinggian antara Puncak dan Jakarta. Penyumbang debit air terbesar
justru dari Puncak, yang secara alami sebenarnya merupakan wilayah penahan air.
Puncak, dataran tinggi yang sangat cantik. Berbukit-bukit.
Sejauh mata memandang –seharusnya- adalah pepohonan, yang sanggup menahan
banyak air. Seperti yang ada di buku pelajaran, hutan di gunung menerima hujan,
pepohonannya menahan air agar leluasa diserap tanah, dan kelak air tanah itu “rembes”
menuju ke laut. Dia menjadi air tanah yang bisa “dicegat” di perjalanan oleh
penduduk-penduduk untuk kebutuhan hidup mereka. Kelebihan air hujan, akan
dialirkan melalui sungai-sungai, yang juga mengarah ke laut.
Dari sejarahnya, manusia mencari tempat tinggal yang
dekat dengan sumber air. Jadi, manusia yang mendekati sungai dan air tanah yang
sudah lebih dahulu ada.
Ketika 2 hari ini (terulang) banjir besar di Jakarta,
lantas, pantaskah Bogor yang disalahkan? Iya sih, teman-teman bercanda ketika
mengatakan “banjir kiriman” dari Bogor. Tetapi, sebagai warga kotamadya Bogor,
boleh dong saya membela diri (secara bercanda jugalah)?
Pertama, Jakarta punya bakat banjir sendiri. Sering
terjadi, hujan besar di Jakarta, sementara saat itu di Bogor terang benderang. Kemudian
Jakarta banjir. Artinya, tanpa intervensi Bogor, air hujan di Jakarta saja
sudah tak tertampung oleh sistem pengairannya. Entah karena penyempitan dan
pendangkalan sungainya, atau karena kehilangan danau/rawa-nya, atau karena tak
cukup tanah gembur yang mampu menyerap air setelah pepohonan penahan air di
atasnya nyaris habis.
Kedua, berkurang banyaknya peresap air di Puncak. Pada kondisi
hujan turun di semua wilayah, Puncak menyuplai air di atas daya tampung
sungainya. Mengapa? Karena fungsi alami Puncak menyerap sebagian air ke dalam
tanah lebih dulu, tersingkirkan. Puncak telah menjadi wilayah pemukiman. Sebagian
di antaranya adalah bangunan tak berpenghuni rutin. Vila yang ditengok sesekali
saja oleh para pemiliknya. Dan, mayoritas pemilik vila itu adalah penduduk
Jakarta.
Ketiga, budaya membuang sampah. Terutama, membuang sampah
ke sungai. Saya melihat sendiri saat melintasi jembatan di atas sungai
Ciliwung. Seseorang keluar dari rumahnya, membawa kantong kresek menggembung. Berjalan
santai mendekati sungai. Dan melemparkan kantong tersebut ke sungai. Tenang,
karena dia melempar dengan nyaman. Tak tampak kekhawatiran sedikitpun. Artinya apa?
Mereka tak merasa itu perbuatan salah. Jika dia menengok kiri kanan dulu takut
ada yang mengintip dia membuang sampah, berarti kondisinya lumayan. Dia tahu
itu perbuatan salah, tapi dia masih melakukan kesalahan itu. Ini tidak.
Itu baru di satu titik. Padahal, sungai Ciliwung panjang
sekali. Bayangkan jika semua penduduk di “river side residence” melakukan hal
serupa. Berapa banyak paket titipan kilat yang dikirim dengan cara tercepat dan
gratis ongkos kirim ini?
Keempat, perubahan iklim sehingga menghasilkan curah
hujan yang ekstrim. Ini masalah perubahan alam. Pengaruh kita seolah tak
terlihat jika dipandang perorangan. Tetapi, secara warga bumi, akumulasi yang
sedikit-sedikit ini berpengaruh banyak. Mengisi lebih dari 2/3 lahan kita
dengan bangunan permanen, atau menggunakan AC dan lemari es, misalnya.
Penggunaan
gelombang elektromagnetik, perasaan saya sih, juga berpengaruh banyak pada
iklim. Bukan hanya telepon genggam, tetapi televisi dan internet juga
memanfaatkan gelombang ini. Frekuensi aktivitas digital kita sangat tinggi. Walau
tak kasat mata, lalu lintas gelombang elektromagnetik yang luar biasa padat tentu
menjadi gangguan besar bagi kenyamanan alam.
Jadi,
mari kita bersama-sama introspeksi diri sajalah. Seberapa besar sumbangan kita
pada situasi hari ini.
Pesan
Sponsor :) :
Musim
hujan kali ini bersamaan dengan musim kampanye pilgub Jabar.
Banjir
dan longsor menjadi komoditas seksi bagi para kandidat.
Mengetahui
bahwa para bapak dan ibu cagub ini memberi atensi terhadap para korban, saya
ikut bersyukur.
Tetapi,
saya belum mendengar satupun cagub yang menjadikan “pendidikan masyarakat”
untuk pencegahan banjir di masa depan sebagai salah satu programnya.
Bukan
membangun saluran air. Itu mah memang sudah tugas pemerintah.
Saya
merindukan ada calon yang mencanangkan program penerapan “mengelola sampah”
daripada “membuang sampah”. Sederhana saja. Memisahkan sampah basah dan sampah
kering. Dari hilir ke hulu. Dari rumah-rumah, sampah dikeluarkan sudah
terpisah. Gerobak sampah disekat menjadi dua bagian. Sampah-sampah yang sudah
terpisah ini, tetap terpisah di gerobak sampah. Demikian juga di penampungan,
dan seterusnya sampai di TPA. Sampah basahnya dikelola secara alami, sampah
kering bisa didaur ulang. TPA akan menjadi pabrik humus besar. Pupuk yang
dihasilkan dijual atau dijadikan pupuk untuk menyuburkan tanaman-tanaman milik
umum (taman, kebun, hutan).
Itu
saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar