Teringat suatu hari. Usai menikmati dinginnya Puncak di
halaman parkir Rindu Alam, saya bermaksud kembali ke Bogor. Tetapi, petugas
parkir menahan. Jalan ditutup, katanya. Sedang searah menuju Puncak, pikir
saya. Ternyata tidak. Jalanan kosong untuk waktu yang cukup lama. Lebih dari 10
menit. Tak ada yang melintas dari kedua arah. Orang-orang di parkiran mulai
gelisah. Menengok ke kiri dan kanan jalan, tak melihat apa-apa, tapi kami tak
boleh lewat.
Akhirnya kami mulai paham saat terdengar bunyi sirine
dari kejauhan. Kemudian lewatlah sebuh motor pengawal. Agak jauh di belakangnya
lewat satu motor lagi. Dan jauh di belakangnya baru beberapa mobil pengawal,
mobil presiden, dan banyak mobil bagus lainnya sebelum ditutup oleh mobil
pengawal, dan beberapa motor. Keesokan harinya di surat kabar saya membaca,
bahwa presiden beserta para menteri berakhir pekan di istana Cipanas. Mungkin
rapat koordinasi kabinet. Saya tidak ingat persisnya, sekitar tahun 2004 atau
2005, masa awal kepresidenan SBY.
Menjelang pernikahan Alya dan Baskoro, dari surat kabar
juga saya tahu, mereka pertama kali berkenalan di istana Cipanas pada awal masa
jabatan orang tuanya. Saya pun teringat peristiwa malam itu. Rupanya saat itu
tak sekedar saling mengenal antar Presiden dan menteri-menteri, tetapi juga
dengan keluarga masing-masing. Pantas saja iringan mobil waktu itu panjang
sekali.
Di sisi lain, saya punya teman istri seorang tentara yang
pernah menjadi Danrem. Dia bercerita bagaimana perannya sebagai istri banyak
digantikan anggota pasukan suaminya. Seragam dan atribut yang melekat saja ada
petugas khusus yang menyediakan, apalagi urusan pengawalan. Termasuk pengawal
istri dan anak-anaknya, walau sang istri tidak selalu bersedia dikawal. Dia
bercerita tentang sebab dan tujuannya. Intinya, agar sang suami fokus pada
tanggung jawab sebagai Danrem. Saya menjadi paham bagaimana teraturnya sistem
dan hirarki di lembaga ini. Dan terutama, saya semakin menghargai tugas dan
peran angkatan bersenjata bagi negara kita tercinta.
Jika
seorang Danrem “saja” mendapat perlakuan seperti itu, bagaimana pula dengan
seorang Presiden? Tentu jauh lebih detil dan komprehensif. Bahkan sampai
menjadi sebuah pasukan khusus, yang anggotanya diseleksi dengan ketat. Tugas
mereka sangat mulia, menjaga agar pemimpin tertinggi negara ini terjamin
keamanannya sehingga dapat bekerja maksimal bagi negara. Paspampres nama beken
pasukan ini.
Tugas
utama Paspampres hanya satu, menjaga keamanan Presiden.
Cakupannya
berimbas kepada pengamanan istri dan keluarga, kediaman dan tempat kerja, serta
perlindungan setiap aktivitas presiden. 24 jam per hari, 7 hari seminggu. *eh,
kok jadi iklan restoran...
Pengamanannya
berimbas pada sterilisasi lokasi tempat presiden berkegiatan, termasuk
perjalanan menuju ke sana. Dengan mempertimbangkan segala kemungkinan negatif,
misalnya bom bunuh diri atau tembakan jarak jauh, Paspampres memeriksa lokasi
aktivitas presiden, mengosongkan jalan dari kendaraan lain sebelum presiden
lewat, dan lain-lain. Dalam hal ini, Paspampres bekerja sama dengan kepolisian
dan aparat setempat.
Pada
jabatan sebagai presiden melekat tanggung jawab yang istimewa, maka beliau
sangat pantas mendapatkan fasiltas ini. Berbagai agenda terjadwal dalam
kesehariannya. Karena itu, kepastian waktu tempuh dari satu tempat ke tempat
lain sangat diperhitungkan. Rakyat rela tertahan sesaat untuk memberi ruang
gerak leluasa kepada pemimpinnya, karena tahu yang sedang dikerjakan sang
pemimpin akan bermanfaat besar bagi rakyat banyak. Setidaknya, dulu saya merasa
begitu.
Sekitar
10 tahun terakhir, sirine motor atau mobil pengawal mulai terasa menjengkelkan
pengguna jalan. Karena, frekuensinya meningkat pesat, sementara di sisi lain
tingkat kepadatan lalu lintas justru sudah semakin tinggi.
Andai
masyarakat yakin bahwa setiap sirine meminta jalan itu adalah pejabat yang akan
lewat karena ada urusan negara yang sedang dilakukan, jengkelnya hanya sebatas
karena macet saja. Masalahnya, kondisinya tidak meyakinkan.
Belum
tentu yang akan lewat itu pejabat. Dan kalaupun pejabat, belum tentu itu untuk
urusan penting. Dan kalaupun penting, belum tentu karena memang harus begitu.
Begini....
Yang
pertama, pengguna jalan tahu, mobil dinas presiden dan wakilnya adalah RI 1 dan
RI 2. Nomor-nomor berikutnya dari seri RI adalah nomor-nomor mobil dinas Menteri
atau yang setingkat itu. Jadi, ketika di tengah kemacetan parah di jalan
Thamrin, misalnya, ada sirine dari belakang kita, maka kita pun akan sedapat
mungkin memberi jalan. Asumsi kita, akan lewat mobil Camry bernomor RI sekian. Ternyata,
yang melintas adalah mobil jenis lain, dengan nomor lain.
Sangat
mungkin, isinya adalah menteri. Tetapi, ketika dia tidak sedang menggunakan
mobil dinas, asumsinya adalah dia tidak sedang berdinas kan? Dan jika bukan
urusan dinas, seharusnya hak dia sama dengan hak pengguna jalan lain.
Yang
kedua, pernah menemukan iringan pejabat dan pengawalnya memasuki....gedung
pernikahan. Mau menghadiri pesta, rupanya. Apakah yang seperti ini tergolong
tugas untuk negara sehingga perlu pengawalan juga? Okelah kalau hanya satu. Tetapi,
kan bisa saja dalam satu waktu para menteri ini pergi bersama-sama. Bisa ke satu tujuan yang sama, tetapi bisa
juga ke pesta pernikahan yang berbeda. Bayangkan imbas kemacetan tambahan yang
dialami warga karena ini.
Yang
ketiga, benar pejabat, benar mau dinas, tapi perpindahannya dari lokasi yang
tidak seharusnya.
Kita
coba kembali lagi ke Danrem. Mereka mendapat jatah rumah dinas. Rumah dinas
disediakan agar sang pejabat tak harus terlambat dengan alasan rumah jauh. Rumah
dinas biasanya berlokasi di sekitar gedung kantor utama.
Pada
posisi yang lebih tinggi, juga berlaku begitu. Para menteri disediakan rumah
dinas oleh negara. Jarak tempuhnya ke gedung kerja mereka relatif dekat. Makanya,
jalan yang paling banyak dilalulalangi mobil bernomor RI sekian adalah Saharjo
dan Thamrin/Sudirman, karena rumah dinas mereka di Kuningan.
Pengawalan
terhadap Presiden dan Wakil Presiden adalah yang paling ketat. Tak sekedar
didahului motor pembuka jalan, tetapi jalan yang akan dilalui harus dikosongkan
dulu sampai jarak sekian meter. S.O.P-nya memang begitu. Tak ada yang salah. Tetapi,
di sisi lain, negara mengantisipasi dengan menyediakan rumah dinas Presiden di
dalam kompleks istana kepresidenan. Sehingga, kehebohan yang ditimbulkan karena
perjalanan dinas presiden dapat diminimalkan.
Sayangnya,
tidak semua presiden merasa perlu tinggal di istana kepresidenan. Hanya Sukarno
dan Abdurrahman Wahid. Rumah Bung Karno di daerah Blok M, sedangkan Gus Dur di
Ciganjur. Berjarak cukup jauh dari Medan Merdeka Utara. Suharto, BJ Habibie,
dan Bu Mega tetap tinggal di rumah pribadi selama menjabat, tetapi rumah mereka
dekat ke Istana Presiden.
Zaman
Bu Mega, yang lebih membuat sibuk Paspampres justru Wapresnya. Rumahnya lebih
dari satu dan semua ditinggali. Pengamanan dan pengawalan pun berpindah-pindah
sesuai ke mana Pak Wapres ingin pulang.
Sebagai
warga Bogor, saya numpang senang karena saat itu jalan dari Jagorawi ke rumah
beliau yang dekat dengan rumah saya, menjadi bagus dan mulus. Hanya, saat-saat
ini juga yang membuat saya mulai terganggu dengan pengawalan pejabat. Perjalanan
kita bisa terhambat jika waktunya bertepatan dengan persiapan kedatangan pak
Wapres. Tapi, paling senang kalau ada jeda waktu cukup lama antara kedatangan
atau kepulangan beliau. Saya akan melewati jalan yang dijaga polisi di setiap
50 meteran. Saya merasa tersanjung, karena sepanjang perjalanan, saya bersikap seolah mereka sedang menjaga saya. :)
Setelah
berganti Wapres, jalanan di Bogor menuju rumah saya pun menjadi standar lagi. Gak
seru ah :). Keluhan mulai banyak disampaikan teman-teman (dan
mungkin orang lain) yang aktivitasnya searah dengan perjalanan Cikeas – Istana Merdeka.
Terlalu kerap mondar-mandirnya. Sehingga perjalanan ke tempat kerja atau pulang
kerja menjadi lebih lama dari yang seharusnya, jalanan menjadi lebih parah lagi
macetnya.
Saat
dilewatinya hanya sebentar, benar. Tetapi kan ada persiapan dengan pengosongan
jalan, dan setelah dilewati, butuh waktu juga untuk mengurai kemacetan.
Lagi,
kita tak menyalahkan Paspamres karena mereka memang bekerja sesuai prosedur. Pengguna jalan
sebenarnya hanya berharap ada sedikit empati dari yang dijaga, terhadap efek
yang ditimbulkan. Mobilitasnya yang tinggi dari rumah pribadi ke rumah dinas
dan kantor, sebenarnya sangat mungkin dikurangi banyak jika ada tenggang rasa
kepada rakyat yang mendapat akibat.
Ketika
tenggang rasa itu tak ada, apakah rakyat masih berhak disalahkan karena mati
rasa terhadap apapun yang diperbuatnya, benar atau salah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar