Minggu, 30 Desember 2012

Andai Saya Dahlan Iskan

            Sebagai Menteri BUMN, saya mempunyai nilai lebih. Saya mempunyai kewenangan mengambil keputusan. Saya juga mempunyai keuntungan dari sisi keberpihakan masyarakat kepada segala tingkah laku saya. Selain itu, saya punya pendukung yang kuat, media massa.

            Sebagai Menteri, saya menjadi sorotan. Menteri adalah posisi sangat tinggi. Dibayar oleh negara, berdasarkan pembayaran pajak masyarakat. Tugasnya sangat mulia. Turut menjalankan pemerintahan. Ikut mewarnai merah putihnya bangsa ini. Ibadah yang bernilai luar biasa tinggi di mata-Nya.

            Saya sudah melakukan banyak langkah spektakuler sepanjang menjadi menteri. Saya pernah membebaskan antrian di sebuah pintu tol dalam kota. Saya pernah menaiki KRL Jakarta Bogor dan dilanjut dengan menggunakan ojeg. Saya pernah inspeksi mendadak di pintu tol Cikarang Utama dan ruang kontrol bandara Soetta. 

            Dan, semua tahu, saya tidak mencapai posisi ini dari warisan. Saya anak miskin yang harus mengikatkan sarung kencang-kencang untuk menahan lapar di saat muda.

            Jadi:
Saya paham macetnya Jakarta, di jalan biasa ataupun di tol. Saya juga paham ketergantungan masyarakat pada keberadaan KRL, transportasi termurah. Dan, terutama, saya sangat paham bagaimana rasanya menjadi orang dengan kemampuan ekonomi terbatas. 

Sebagai mantan wartawan dan pemilik media besar, saya juga mengikuti berita nasional. Jika tak sempat membaca sendiri, staf saya bisa membuatkan resume dari berbagai peristiwa di negeri ini, khususnya di Jakarta, kota tempat saya tinggal sekarang.

Saya tinggal duduk manis. Bukan melamun dan bersantai, itu gak gue banget. Tetapi, merenungkan bagaimana kewenangan yang saya miliki bisa menjadi solusi bagi banyak hal yang seolah tidak berhubungan.
Saya lihat di televisi, mas Jokowi sedang mencoba mengurai dan menggulung ulang benang masalah di Jakarta, si kembar siam macet dan banjir. Saya juga membaca teriakan para orang tua atas tingginya biaya pendidikan. Saya ikut mendengar jebolnya APBN untuk subsidi premium. Saya tahu juga berita terbaru, PT KAI segera menghapuskan KRL Ekonomi. 

Jika Minggu pukul 5 pagi saya gunakan untuk rapat dengan direksi BUMN, maka pada hari Senin s.d. Jumat pukul 5 saya keluar rumah. Berjalan atau berlari menuju Monas, kemudian mengelilinginya beberapa kali. Segar dan menyehatkan. Biasanya, setelah cukup berkeringat, saya tinggal menyeberang ke kantor, mandi, dan langsung menjalankan tugas-tugas  sebagai menteri.

Menghirup udara pagi sambil melihat perubahan cepat lalu lalang kendaraan dan pejalan kaki di seputar Monas menjelang jam 7 pagi, tiba-tiba menyalakan lampu pijar 5 cm di atas kepala saya. Saya yakin sekali apa yang harus segera saya lakukan.

Saya akan memanggil Dirut PT KAI. Saya akan memaksanya membatalkan rencana penghapusan KRL Ekonomi. Harus! Benar bahwa KRL Ekonomi tidak ekonomis bagi perusahaan. Tapi PT KAI adalah sebuah BUMN. BU, tapi MN. Badan Usaha, tapi Milik Negara. Dan UUD mengamanatkan, negara diselenggarakan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

Sebagai penyelenggara negara, saya belum bisa memakmurkan rakyat dalam waktu singkat. Tetapi, saya bisa, perlu, dan harus membuat mereka tidak menjadi lebih sengsara dari sebelumnya.

Hiruk pikuk Jakarta tidak hanya disebabkan kaum menengah ke atas. Pembuat keramaian di pagi hari justru para pekerja fisik. Misalnya, office boy. Mereka harus datang lebih pagi dari jam kerja karyawan kantor, dan pulang setelah yang lembur usai. Hanya sedikit saja penduduk sekitar perkantoran, selebihnya mereka adalah orang-orang yang berjarak dari tempat kerja. Banyak yang berasal dari sekitar Jabodetabek. 

Selama ini, mereka rela berdesakan, di KRL Ekonomi. Karena, hanya itu alat transportasi yang bisa membawanya ke tempat kerja sesuai kemampuan mereka. Bogor-Jakarta hanya Rp 2.000 saja! Turun di Gondangdia atau Cikini, misalnya, untuk melanjutkan dengan berjalan kaki ke kawasan perkantoran seputar Monas. 

(Commuter Line padat oleh kelompok lain, karena penggunanya karyawan berpenghasilan jauh di atas UMR. Membeli tiket Rp 9.000. Dan masih sanggup membayar ojeg atau bajaj minimal Rp 10.000 untuk sampai ke kantor.)

Pengguna KRL Ekonomi yang lain adalah pemilik warung, pedagang asongan, pelayan, atau penjual jasa apapun di seputar perkantoran. Mereka menyokong kenyamanan para karyawan ini. Sarapannya, minumnya, pijat refleksinya, dan lain-lain. Mereka dibutuhkan, tetapi mereka harus berhitung untuk mengatur pengeluaran. Dan tarif Commuter Line (CL) jauh di atas anggaran mereka.

Dengan biaya transportasi yang ringan, para pemakai KRL Ekonomi masih bisa menyisihkan penghasilannya untuk memenuhi gizi keluarga, pendidikan anak, dan kebutuhan utama lain. Sehingga, peningkatan kesejahteraan rakyat bisa diwujudkan pada generasi berikutnya, anak-anak mereka. Ayah dan ibunya rela berpeluh tanpa mengeluh, agar anak mereka tetap sekolah. Pun, orang-orang ini bisa fokus pada pekerjaannya sehingga peran mereka walau “kecil” tetap optimal.

Di KRL Ekonomi pula, banyak orang menggantungkan hidupnya. Pedagang asongan segala macam barang melihat para penumpang ini sebagai target pasar mereka. Saat naik KRL, saya melihat ironi. Berapa banyak orang yang rela mengeluarkan uang lagi untuk kebutuhan tersier (tisu, gantungan kunci, masker, dll.), jika untuk kebutuhan utama mereka (transportasi ke tempat kerja) saja, mereka hanya sanggup membayar yang termurah? Tetapi para pedagang ini tetap ada. Berarti, apa yang mereka lakukan cukup memberi penghidupan.

Jika KRL Ekonomi dihapus, bagaimana para pekerja ini ke Jakarta? Apalagi tarif CL sedang dalam proses dinaikkan. Naik bis? Hampir semahal CL. Dan masih harus dilanjut dengan angkot atau kendaraan lain. Bike to Work? Yang benar saja! Dari Bogor gitu lho. Kapan sampai kantornya? Paling masuk akal adalah mengetatkan ikat pinggang untuk membeli motor. 

Terbayang, mas Jokowi akan tambah pusing dengan serbuan motor ke Jakarta. Ruang yang dipakai motor di jalan ataupun di tempat parkir jauh lebih kecil daripada mobil, tetapi jika jumlahnya jauh lebih banyak? Sekarang motor menjadi alternatif kendaraan dibandingkan mobil karena bebas macet, maka, kelak, motor pun akan ikut terjebak macet. Jika sekarang saja jalur busway atau trotoar bisa dilalui pemotor tanpa merasa berdosa, bukan tak mungkin nanti mereka akan merasa berhak menerobos jalan tol agar bisa lepas dari kemacetan di jalan biasa.

Dan, nasib APBN karena peningkatan konsumsi premium... Pemborosan uang rakyat untuk dibuang di tengah kemacetan.

Dan, karena dananya untuk cicilan motor serta biaya transportasi, sekolah anak ditangguhkan serta pilihan makanan disederhanakan.

Dan, rasa terbatas membuat orang mencari-cari alternatif pemasukan. Bekerja pun tidak fokus pada tugas utama. Secara massal, kinerja menurun. 

Padahal, ada yang disebut PSO dan CSR. 

Public Service Obligation. Dari namanya, seharusnya jalur PSO ini bisa menjadi alasan keberadaan KRL Ekonomi. Agar tidak menjadi pembuat merah rapot kinerja PT KAI, masukkan saja kereta ekonomi ini ke PSO. Dana PSO dari negara ini bisa sepenuhnya digunakan untuk masyarakat, bukan untuk masyarakat dalam saja, tambahan penghasilan bagi karyawan. 

Masyarakat tetap membayar walau dibawah biaya operasional. Ini penting untuk harga diri pemakai. Dan rasa tanggung jawab atas kenyamanan bersama. PSO untuk menggenapkan kekurangan pembayaran penumpang ini. 

Dana CSRnya bisa digunakan untuk edukasi penumpang, terutama berkaitan dengan sikap di kereta, atau untuk penyediaan tempat-tempat sampah. Lagipula, CSR yang seperti ini lebih sesuai lembaga. Daripada dananya diberikan kepada pengusaha manisan pala, misalnya. Membantu masyarakat sih, tetapi masih ada para penumpang kereta yang lebih langsung hubungannya dengan perusahaan.

Ya, saya yakin, memaksa agar KRL Ekonomi tetap ada, akan menjadi amal jariah jangka panjang. Saya belum mampu menyelesaikan semua persoalan. Tetapi, setidaknya, saya tidak menambah masalah lagi bagi bangsa ini. 

Jika keputusan menghentikan operasional KRL Ekonomi diambil para petinggi PT KAI karena mereka tidak bisa berempati pada yang lemah, maka saya bisa membatalkannya dengan 2 alasan. Saya menteri BUMN, saya punya kewenangan melakukan yang terbaik. Dan, saya pernah menjadi rakyat yang di bawah. Tak sekedar empati yang saya punya, tetapi saya tahu bagaimana rasanya ada di sana. 

Ini saatnya saya membuktikan, tak salah mereka mengagumi saya.

1 komentar:

  1. seandainya saya DIRUT KAI saya akan menghapuskan jurusan bogor jakarta kenapa? karena rute itu mendapat komplain terparah dan semakin parah, maka saya akan hilang dari semua komplain dari krlmania, mengingat dari segi bisnis rugi, dari segi komplain sangat tinggi maka jalur ini layak di stop,
    tapi syukurlah ide saya sudah dijawab sama pak dahlan

    http://dahlaniskan.wordpress.com/2012/12/31/tahun-2013-yang-juga-tahun-permen/#comments

    BalasHapus