Perebutan Kursi Kosong
Penulis : J.K. Rowling
Penerjemah: Esti A.
Budihabsari, Andityas Prabantoro, dan Rini Nurul Badariah
Penerbit edisi bahasa
Indonesia: Qanita
Cetakan pertama: 2012 (asli dan
terjemahan)
Katagori: NOVEL DEWASA
Pertama-tama, saya ingin menekankan posisi novel ini
sebagai novel dewasa. Karena nama J.K. Rowling telanjur identik dengan kisah
Harry Potter, novel anak-anak yang fenomenal. Selama 11 tahun, 1997 – 2007,
Rowling menuliskan ke-7 bukunya. Gemanya berlanjut jauh setelah itu karena
novel-novel ini kemudian difilmkan. Jangan sampai orang tua terjebak
menghadiahkan novel ini untuk anak-anak maupun remajanya.
Saya suka pembukaan novel ini. Langsung ke tujuan.
Peristiwa kematian seorang anggota Dewan Kota cemerlang pada usia awal 40-an,
Barry Fairbrother.
Kemudian
berhamburan banyak nama dalam 64 halaman pertama. Saya membaca lambat disini,
karena sambil membuat catatan ringkas. Catatan yang sangat menolong saat
membaca bagian-bagian berikutnya. Nama-nama, hubungan satu sama lain, profesi,
alamat rumah, dan posisi rumah mereka di Pagford, sebuah kota kecil di dekat
kota Yarvil, Inggris.
Tebaran
nama ini menarik untuk saya, karena secara teori, sebuah novel sebaiknya tidak
melibatkan terlalu banyak tokoh utama. Rowling dengan sengaja menampilkan tokoh
sebanyak itu. Ditumpahkan di bagian awal semua pula. Saya merasa, ini akan
istimewa. Membuat saya tak berhenti membaca, ingin tahu apa yang terjadi
selanjutnya.
Beberapa
bab berikutnya, membuat saya paham mengapa nama sebanyak itu disebut. Rupanya
kematian Barry memang informasi “seksi”. Ada kursi kosong di Dewan Kota. Dan
sungguh tak terduga ternyata banyak yang merasa layak menggantikan Barry dan lebih
banyak lagi yang merasa berkepentingan dengan urusan pemilihan ini.
Sampai
sini, inti kisah rasanya sudah saya genggam. Tapi mengapa halaman yang tersisa
masih banyak? Perkembangan cerita sungguh di luar dugaan. Interaksi antara para
tokoh, membuat ingin menyelesaikan novel ini dalam satu kali duduk. Masalahnya,
buku ini tak sekedar berukuran besar, tapi juga tebal :( .
Saya
membeli Kamis malam. Dan Senin malam tamat. Ketika saya menyampaikan terima
kasih kepada suami dan anak karena mengizinkan saya memantau pilkada di Pagford
sampai usai :), anak saya nyeletuk
“Iya, mamah hari ini nyebelin.”
Hihi... maaf ya, Nak. Tulisan ini sebagai wujud tanggung jawab saya atas
ketidakpedulian kepada lingkungan selama beberapa hari, khususnya hari Senin
ini. Saya memaksakan diri menuntaskannya, agar besok bisa melakukan urusan
lain.
Selama
terlibat kisah seru di Pagford, saya hanya mengikuti berita nasional dari
judul-judulnya saja. Entah mengapa, pengunduran diri Andi Mallarangeng sebagai
Menpora, membuat saya menganalogikannya dengan peristiwa kematian Barry.
Rowling
berhasil mengajak saya ke Pagford, menikmati suasana sebuah kota kecil yang
asri khas Inggris. Saya seperti sedang duduk-duduk di alun-alun di dekat tukang
koran, dan mendengarkan gosip tentang orang-orang yang tinggal di sana.
Penduduk asli yang aristokrat, sangat menjaga sikap. Warga pendatang yang
membawa aura egaliter. Remaja-remaja yang sedang mencoba eksis. Termasuk juga
para penghuni flat di Fields, yang awalnya merupakan penampungan para tuna
wisma Yarvil, orang-orang yang hidupnya ditunjang negara.
Saya
sangat suka penggambaran bahwa Pagford dipenuhi rumah-rumah lama. Rumah-rumah
khas, dengan usia tua. Mereka memelihara keaslian itu. Rumah-rumah itu
dijualbelikan, tetapi bangunannya tidak diusik. Salah satu contoh, Barry kecil
tinggal di Fields dan pernah menghadiri sebuah pesta ulang tahun di sebuah
rumah berhalaman luas di Pagford. Kelak, rumah itu dibeli Barry, dan dia tinggali
sampai wafatnya.
Suasananya
Inggris banget. Seperti gambaran yang
saya dapatkan dari Edensor-nya Andrea Hirata, ataupun jauh sebelumnya dari
kisah-kisah yang ditulis Enid Blyton. Saya belum pernah ke Inggris, dan di buku
Atlas yang saya punya, Yarvil tidak tercatat. Saya pun bertanya kepada paman Google, apakah Yarvil ini nama
kota yang benar-benar ada atau karangan Rowling saja. Ada banyak hasil yang
saya dapat. Tetapi, sampai 10 halaman pertama, saya belum menemukan jawabannya.
Karena, beberapa menunjukkan Yarvil yang nama orang, dan sisanya: Yarvil benar
sebagai kota besar terdekat dari Pagford...dalam The Casual Vacancy! Saya tidak
melanjutkan pencarian. Jadi, tak peduli apakah ini fiktif atau nyata, biarlah
Pagford dan Yarvil terbayang seperti yang saat ini ada di benak saya saja.
Penggambaran
karakter para tokoh juga sangat hidup dan manusiawi. Semua sempurna sebagai
manusia, karena mempunyai sisi baik dan sisi buruk. Salut pada riset dan
persiapan menulisnya. Data yang lengkap dan biodata tokoh yang detil, sehingga
seolah-olah semua riil.
Sesuai
pakem, tokoh dalam kisah fiksi itu mengalami perubahan. Apapun bentuknya. Di novel
ini, semua berubah. Paling jelas, dari penduduk biasa, menjadi anggota Dewan
Kota, menggantikan posisi Barry. ini hanya pada satu orang saja. Yang lainnya,
macam-macam. Dari sehat ke sakit, dari sibuk ke banyak waktu luang, dari iseng
ke bertanggung jawab, bahkan dari hidup ke mati. Tak hanya yang kasat mata. Ada
juga yang berubah di penilaian pembaca terhadap si tokoh.
Untuk
saya yang mempunyai anak menjelang remaja, novel ini pun memberi peringatan. Jangan
terlalu tinggi menilai anak, jangan pula terlalu merendahkan. Kita harus
hati-hati bersikap, agar anak dapat kita “baca” dengan benar.
Begitu
halaman 593 usai terbaca, saya agak kecewa. Begini saja akhirnya? Tetapi,
setelah 24 jam berlalu, saya lebih adil mencerna. Banyak “Ooh...” atas
penggalan kisah dan penyelesaiannya. Bahkan “Ooh...” atas apa yang ingin
disampaikan Rowling kepada kita, pembacanya. Salut.
Review yang sangat bagus :)
BalasHapusYg pernah saya dengar, Pagford, Yarvil itu memang benar2 nama daerah baru yang diciptakan oleh Rowling. Luar biasa yah ^^
Terima kasih, Pak.
Hapus