Jumat, 21 Desember 2012

PARKIR Bersama di JORR


Baru saja membaca sebuah tautan tentang hasil penelitian di Amerika pada pecandu sosialisasi di dunia maya. Dikatakan bahwa rata-rata mereka mempunyai kontrol diri yang rendah. Tapi, saya melihat, justru keaktifan di media sosial malah menyelamatkan banyak orang dari frustasi yang tak tersalurkan. Khususnya, bagi penikmat lalu lintas di Jakarta.

Mencermati ungkapan teman-teman, sangat menarik.

Selama beberapa tahun terakhir, istilah yang awalnya dipopulerkan sebuah radio swasta, biasa dipakai untuk menggambarkan lalu lintas di Jakarta. Diantaranya: Padat Merayap, atau Ramai Lancar. Ungkapan ini sering dimodifikasi sedemikian sehingga menarik perhatian. PAdat MERayap tanPA HArapan. Atau PAdat MERayap sampai Pengen NangIS. Mungkin juga memberi istilah untuk menyalurkan kekesalan karena urusannya terhambat macet.

Beberapa bulan terakhir, kemacetan semakin parah dan tak mengenal tempat dan waktu. Bisa dimana saja dan jam berapa saja. Yang istimewa, justru semakin sedikit teman yang menulis status: macetttt.

Sebagian mungkin sudah melihat macet sebagai aktivitas harian yang tidak istimewa lagi untuk dilaporkan kepada khalayak. Sebagian lagi mungkin tidak sempat update status karena sedang mengemudi. Sebagian lagi...memilih sudut pandang lain :)
 
Mereka yang memilih sudut pandang .lain, tetap membayar pajak, tetap beraktivitas, dan tetap eksis di media sosial. Hanya sekarang “fokus” mereka sudah berubah. Semoga terasa perbedaannya saat yang terbaca adalah:

“Parkir bersama di JORR. Tarif flat, Rp 7.500, tanpa batasan waktu.”
“Tumben Jakarta tertib. Tak ada yang kebut-kebutan. Tak ada yang main salib seenaknya. Semua antri dengan teratur. Dengan kecepatan 2 km/jam.”
“Menikmati pajak yang kita bayarkan kepada negara. Menyusuri jalan sepuas-puasnya, tanpa diburu waktu.”
“Telah dibuka lapangan parkir baru. Gratis. Di seputar Bundaran HI.”
“Lowongan kerja: dicari sopir yang bisa menjalankan kendaraan 1 km/jam ++. +sabar, +humoris, biar gak bete di jalan.”
Bahkan,” Pak SBY kalau mau lewat cepetan dong, kami sudah menunggu lama lho di Cibubur... :)
           
            Sudah bisakah kita simpulkan, bahwa masyarakat sudah melewati ambang emosi wajarnya menghadapi kemacetan ini? Hampir tak ada lagi sumpah serapah, semua tampaknya pasrah. Masih untung, ada telepon pintar di tangan. Asal tidak habis batere, kejengkelan bisa disalurkan.

            Saya tidak menghitung dan mencari tahu, tetapi cukup yakin, bahwa aktivitas media sosial di Indonesia menempati ranking tinggi di antara banyak negara lain. Salah satu penyebabnya adalah, banyak orang yang mempunyai banyak waktu untuk bersosialisi. Tidak hanya yang menyampaikan kemacetan dengan cara masing-masing, tetapi juga yang mengisi masa tunggu itu untuk menyampaikan ide-idenya. Apapun. Apalagi untuk orang-orang yang jenis pekerjaannya lebih membutuhkan hasil karya daripada kehadiran. Jam kerja bisa dimulai sejak keluar rumah, bukan saat tiba di kantor. Kirim-kirim e-mail, sms, bbm, telepon, dan lain-lain. Macet pun tak terlihat :)

            Jadi, begitulah. Kesan pembiaran dari pihak berwenang, memunculkan tanya: Presiden dan jajarannya tahu tidak ya bahwa “ada” kemacetan? Kan kemanapun beliau pergi, jalan dikosongkan, mobilnya melaju dengan lancar jaya...

NB: Kutipan berasal dari status BB, FB, maupun Twitter beberapa kawan. Semoga tak digugat karena saya lupa sebagian namanya. .

1 komentar:

  1. Akhirnya, makin banyak orang yg memilih tindakan yg lebih "sehat" utk dirinya sendiri dlm mengatasi kemacetan di Jakarta yg makin menjadi2.

    BalasHapus