Baru
saja membaca sebuah tautan tentang hasil penelitian di Amerika pada pecandu sosialisasi
di dunia maya. Dikatakan bahwa rata-rata mereka mempunyai kontrol diri yang
rendah. Tapi, saya melihat, justru keaktifan di media sosial malah
menyelamatkan banyak orang dari frustasi yang tak tersalurkan. Khususnya, bagi
penikmat lalu lintas di Jakarta.
Mencermati
ungkapan teman-teman, sangat menarik.
Selama
beberapa tahun terakhir, istilah yang awalnya dipopulerkan sebuah radio swasta,
biasa dipakai untuk menggambarkan lalu lintas di Jakarta. Diantaranya: Padat
Merayap, atau Ramai Lancar. Ungkapan ini sering dimodifikasi sedemikian
sehingga menarik perhatian. PAdat MERayap tanPA HArapan. Atau PAdat MERayap
sampai Pengen NangIS. Mungkin juga memberi istilah untuk menyalurkan kekesalan
karena urusannya terhambat macet.
Beberapa
bulan terakhir, kemacetan semakin parah dan tak mengenal tempat dan waktu. Bisa
dimana saja dan jam berapa saja. Yang istimewa, justru semakin sedikit teman
yang menulis status: macetttt.
Sebagian
mungkin sudah melihat macet sebagai aktivitas harian yang tidak istimewa lagi
untuk dilaporkan kepada khalayak. Sebagian lagi mungkin tidak sempat update status karena sedang mengemudi. Sebagian
lagi...memilih sudut pandang lain :)
Mereka
yang memilih sudut pandang .lain, tetap membayar pajak, tetap beraktivitas, dan
tetap eksis di media sosial. Hanya sekarang “fokus” mereka sudah berubah. Semoga
terasa perbedaannya saat yang terbaca adalah:
“Parkir
bersama di JORR. Tarif flat, Rp 7.500, tanpa batasan waktu.”
“Tumben
Jakarta tertib. Tak ada yang kebut-kebutan. Tak ada yang main salib seenaknya.
Semua antri dengan teratur. Dengan kecepatan 2 km/jam.”
“Menikmati
pajak yang kita bayarkan kepada negara. Menyusuri jalan sepuas-puasnya, tanpa
diburu waktu.”
“Telah
dibuka lapangan parkir baru. Gratis. Di seputar Bundaran HI.”
“Lowongan
kerja: dicari sopir yang bisa menjalankan kendaraan 1 km/jam ++. +sabar,
+humoris, biar gak bete di jalan.”
Bahkan,”
Pak SBY kalau mau lewat cepetan dong, kami sudah menunggu lama lho di
Cibubur... :) “
Sudah bisakah kita simpulkan, bahwa masyarakat sudah melewati
ambang emosi wajarnya menghadapi kemacetan ini? Hampir tak ada lagi sumpah
serapah, semua tampaknya pasrah. Masih untung, ada telepon pintar di tangan. Asal
tidak habis batere, kejengkelan bisa disalurkan.
Saya tidak menghitung dan mencari tahu, tetapi cukup
yakin, bahwa aktivitas media sosial di Indonesia menempati ranking tinggi di
antara banyak negara lain. Salah satu penyebabnya adalah, banyak orang yang
mempunyai banyak waktu untuk bersosialisi. Tidak hanya yang menyampaikan
kemacetan dengan cara masing-masing, tetapi juga yang mengisi masa tunggu itu
untuk menyampaikan ide-idenya. Apapun. Apalagi untuk orang-orang yang jenis
pekerjaannya lebih membutuhkan hasil karya daripada kehadiran. Jam kerja bisa
dimulai sejak keluar rumah, bukan saat tiba di kantor. Kirim-kirim e-mail, sms,
bbm, telepon, dan lain-lain. Macet pun tak terlihat :)
Jadi, begitulah. Kesan pembiaran dari pihak berwenang,
memunculkan tanya: Presiden dan jajarannya tahu tidak ya bahwa “ada” kemacetan?
Kan kemanapun beliau pergi, jalan dikosongkan, mobilnya melaju dengan lancar
jaya...
NB: Kutipan berasal dari status BB, FB, maupun Twitter beberapa kawan. Semoga tak digugat karena saya lupa sebagian namanya. .
NB: Kutipan berasal dari status BB, FB, maupun Twitter beberapa kawan. Semoga tak digugat karena saya lupa sebagian namanya. .
Akhirnya, makin banyak orang yg memilih tindakan yg lebih "sehat" utk dirinya sendiri dlm mengatasi kemacetan di Jakarta yg makin menjadi2.
BalasHapus