Minggu pagi yang cerah, secerah
hatiku. Ah, bukan hanya hari ini. Satu bulan terakhir, setiap hari cerah
bagiku. Sejak surat izin cuti di luar tanggungan negara ditandatangani
Rektor Unsyiah, aku bersemangat menyiapkan diri pindah ke Surabaya.
Akhirnya, kami akan berkumpul bertiga seperti keluarga lain.
Karena
bahagia sudah menanti di depan mata, tak apalah aku berbagi rahasia.
Hampir dua tahun aku memendam rasa, sejak awal kenal di Ganesha, sebagai
mahasiswa pasca. Sikapnya yang tak acuh, penampilan yang sesuka hati,
tetapi tak pernah gagal mengurai soal Matematika yang kami pelajari.
Perhatiannya yang samar membuatku tersanjung sekaligus penasaran. Tak
pernah terucap kata suka, tetapi dia selalu ada untuk membantuku
menyelesaikan tugas.
Jawabannya baru jelas sebulan sebelum
sidang tesis. Dia melamarku! Kami pun menikah segera. Di Bandung. Jauh
dari orang tuaku, maupun orang tuanya. Tak ada masalah soal izin mereka,
semua hanya alasan ekonomis semata. Kami di Bandung, orang tuaku di
Banda Aceh, dan orang tuanya di Surabaya. Kakak Ayahku yang tinggal di
Jakarta datang untuk menjadi wali nikah kami di kantor KUA.
Sebulan
yang paling istimewa dalam hidupku. Aku pindah ke kamar kosnya, tidur
di kasur beralaskan tikar. Dinginnya malam tak terasa karena dia suami
yang luar biasa. Tetapi di siang hari aku menemukan hal-hal yang tak
pernah kupikirkan sebelumnya. Kaos kaki di pojok sini, jaket teronggok
di ujung sana.
Hanya satu bulan. Tak lebih. Aku harus kembali ke
Banda Aceh seminggu setelah dinyatakan lulus. Suamiku –ehm, begitu aku
menyebut teman kuliahku ini sekarang- kembali ke Surabaya. Tak akan lama
dia di sana karena di awal tahun ajaran berikutnya dia sudah harus di
Bandung lagi, memulai program doktor.
Seperti biasa, aku pulang
naik bis ALS. Entah karena galau memikirkan jarak yang tiba-tiba menjauh
dari suami, atau pedih karena kehilangan malam-malam yang penuh arti,
perjalanan kali ini sangat menyiksaku. Aku mual dan muntah beberapa
kali. Pusing. Menyesal aku menolak tawarannya menemani perjalananku. Aku
hanya memikirkan biaya saja. Berapa yang harus terbuang jika dia
mengantarku dulu ke Banda Aceh, kemudian menuju Surabaya?
Sesampainya
di rumah orang tua, baru terungkap sebab ketidaknyamananku. Aku hamil!
Aku akan menjadi ibu! Tiba-tiba saja aku merasa tercabik. Kemana bahagia
itu? Inikah yang harus didapat seorang perempuan? Diberi kenikmatan
semalam, untuk menderita 9 bulan. Dua tahun lalu, aku keluar dari rumah
ibuku sebagai seorang gadis singset bermasa depan gemilang. Kini aku
pulang tak hanya membawa gelar, tetapi juga “gembolan”.
Hari-hari
menyiksa menghadangku. Andai tahu begini rasanya, tentu aku berpikir
ulang menerima lamaran. Pernikahan hanya memberi masalah. Gajiku pun harus dicukupkan untuk makanan bergizi. Belum banyak
yang bisa diharapkan dari suami. Gajinya baru cukup untuk biaya hidup
dan menabung agar bisa menengok kami. Komunikasi paling hanya melalui
e-mail. Telepon hanya sesekali karena biaya tinggi. Sabar, itu selalu
yang diucapkan suami. Sabar, memang hanya itu yang bisa kujalani. Ada
lagi?
Lima tahun berikutnya berjalan bagai mimpi. Anak menjadi
pelipur lara sekaligus pelampiasan kemarahanku pada keadaan. Tak sampai
sepuluh kali suamiku menengok selama itu. Biasanya saat dia libur
semester. Untungnya Salsabila tak lupa pada ayahnya.
Kedatangan
suami yang terakhir melambungkan bahagiaku. Januari 2005 dia akan sidang
terbuka. Dia mengajak kami pindah ke Surabaya setelahnya. Aku sudah
leluasa karena masa ikatan dinas sudah usai. Setiap hari sejak dia
kembali ke Bandung, aku mengumpulkan ini itu, memilih dan memilah barang
untuk dibawa pindah. Seperti yang kulakukan pagi ini.
Lantai
bergetar hebat. Tumpukan kardus di samping pintu kamarku berjatuhan. Aku
sempat kesal karena hasil kerjaku menjadi berantakan, sebelum tiba-tiba
sadar. Ini gempa. Kencang sekali. “Salsa....!” teriakku panik sambil
berlari keluar kamar. Aku menemukan Salsa diam ketakutan di samping TV
sambil memeluk boneka kesayangannya. Aku raih dia dan kubawa ke luar.
Aku
terduduk di dekat pagar rumah. Menenangkan tangisan Salsa, dan
menenangkan diriku sendiri. Kulihat ibu di jalan, berkumpul dengan
tetangga. Tetapi tak kulihat ayah. “Ayah sedang di kamar mandi,” ucap
ibu menjawab tatapanku.
Setelah tangisnya reda, Salsa bertanya
tentang gempa. Aku sedang memikirkan kalimat sederhana untuk menjawab
pertanyaan Salsa ketika mataku tertumbuk pada gerombolan orang yang
berlari berkejaran dari arah pantai yang terletak sekitar 1 km dari
rumahku. “Air...air...,” teriak mereka. Aku bingung apa maksudnya. Tapi
jantungku berdetak lebih cepat, aku merasa ada sesuatu yang tak terduga
sedang terjadi. Gemuruh kaki-kaki yang berkejaran menimbulkan suara
mencekam. Gemuruh kaki-kaki? Bukan begitu seharusnya. Lantas suara
apakah itu?
Aku masih bertanya-tanya sambil memeluk erat Salsa.
Aku lihat ibu dan para tetangga sudah ikut berlari. Tapi kakiku serasa
terpaku. Berat sekali untuk dilangkahkan. Aku menatap orang-orang yang
berlari itu. Aku merasa sudah ikut berlari juga, walau pada kenyataannya
aku masih diam di tempat. Langit tiba-tiba menghitam. Ah, bukan! Bukan
langit, tetapi sesuatu yang hitam besar bergerak ke atas. Meninggi dan
maju seolah hendak menerkam orang-orang itu. Air laut! Ya Tuhan, lambat
sekali kesadaran ini datang. Aku pun segera menyusul mereka berlari. Aku
berusaha berlari sekencang-kencangnya. Aku ingin lari lebih cepat dari
degup jantungku. Tetapi andai ada yang sempat memperhatikan, mereka akan
melihat aku hanya berjalan pelan menggendong Salsa yang gemuk lucu itu.
Hantaman
keras ke punggung tidak membuatku terjerembab, tetapi justru
mendorongku meluncur jauh di gelombang air hitam. Salsa terlepas dari
pelukan. Aku terantuk-antuk berbagai benda. Mungkin itu lemari, panci,
atau bahkan ibuku sendiri. Tak lama aku terombang-ambing. Kala udara
yang kucari tak jua terhirup, aku temukan diriku sedang dibimbing Salsa
di suatu ruang hening putih. Dengan bergegas dia membawaku melintasi
lorong tak tembus waktu, menuju namanya, Salsabila Adnia, sungai yang
mengalir di surga.
*Untuk Novi dan putrinya, dan orang-orang yang pulang saat tsunami melanda.
*Ditulis Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar