Rabu, 26 Desember 2012

Banda Aceh, 26 Desember 2004

Minggu pagi yang cerah, secerah hatiku. Ah, bukan hanya hari ini. Satu bulan terakhir, setiap hari cerah bagiku. Sejak surat izin cuti di luar tanggungan negara ditandatangani Rektor Unsyiah, aku bersemangat menyiapkan diri pindah ke Surabaya. Akhirnya, kami akan berkumpul bertiga seperti keluarga lain.

Karena bahagia sudah menanti di depan mata, tak apalah aku berbagi rahasia. Hampir dua tahun aku memendam rasa, sejak awal kenal di Ganesha, sebagai mahasiswa pasca. Sikapnya yang tak acuh, penampilan yang sesuka hati, tetapi tak pernah gagal mengurai soal Matematika yang kami pelajari. Perhatiannya yang samar membuatku tersanjung sekaligus penasaran. Tak pernah terucap kata suka, tetapi dia selalu ada untuk membantuku menyelesaikan tugas.

Jawabannya baru jelas sebulan sebelum sidang tesis. Dia melamarku! Kami pun menikah segera. Di Bandung. Jauh dari orang tuaku, maupun orang tuanya. Tak ada masalah soal izin mereka, semua hanya alasan ekonomis semata. Kami di Bandung, orang tuaku di Banda Aceh, dan orang tuanya di Surabaya. Kakak Ayahku yang tinggal di Jakarta datang untuk menjadi wali nikah kami di kantor KUA.

Sebulan yang paling istimewa dalam hidupku. Aku pindah ke kamar kosnya, tidur di kasur beralaskan tikar. Dinginnya malam tak terasa karena dia suami yang luar biasa. Tetapi di siang hari aku menemukan hal-hal yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Kaos kaki di pojok sini, jaket teronggok di ujung sana.

Hanya satu bulan. Tak lebih. Aku harus kembali ke Banda Aceh seminggu setelah dinyatakan lulus. Suamiku –ehm, begitu aku menyebut teman kuliahku ini sekarang- kembali ke Surabaya. Tak akan lama dia di sana karena di awal tahun ajaran berikutnya dia sudah harus di Bandung lagi, memulai program doktor.

Seperti biasa, aku pulang naik bis ALS. Entah karena galau memikirkan jarak yang tiba-tiba menjauh dari suami, atau pedih karena kehilangan malam-malam yang penuh arti, perjalanan kali ini sangat menyiksaku. Aku mual dan muntah beberapa kali. Pusing. Menyesal aku menolak tawarannya menemani perjalananku. Aku hanya memikirkan biaya saja. Berapa yang harus terbuang jika dia mengantarku dulu ke Banda Aceh, kemudian menuju Surabaya?

Sesampainya di rumah orang tua, baru terungkap sebab ketidaknyamananku. Aku hamil! Aku akan menjadi ibu! Tiba-tiba saja aku merasa tercabik. Kemana bahagia itu? Inikah yang harus didapat seorang perempuan? Diberi kenikmatan semalam, untuk menderita 9 bulan. Dua tahun lalu, aku keluar dari rumah ibuku sebagai seorang gadis singset bermasa depan gemilang. Kini aku pulang tak hanya membawa gelar, tetapi juga “gembolan”.

Hari-hari menyiksa menghadangku. Andai tahu begini rasanya, tentu aku berpikir ulang menerima lamaran. Pernikahan hanya memberi masalah. Gajiku pun harus dicukupkan untuk makanan bergizi. Belum banyak  yang bisa diharapkan dari suami. Gajinya baru cukup untuk biaya hidup dan menabung agar bisa menengok kami. Komunikasi paling hanya melalui e-mail. Telepon hanya sesekali karena biaya tinggi. Sabar, itu selalu yang diucapkan suami. Sabar, memang hanya itu yang bisa kujalani. Ada lagi?

Lima tahun berikutnya berjalan bagai mimpi. Anak menjadi pelipur lara sekaligus pelampiasan kemarahanku pada keadaan. Tak sampai sepuluh kali suamiku menengok selama itu. Biasanya saat dia libur semester. Untungnya Salsabila tak lupa pada ayahnya.

Kedatangan suami yang terakhir melambungkan bahagiaku. Januari 2005 dia akan sidang terbuka. Dia mengajak kami pindah ke Surabaya setelahnya. Aku sudah leluasa karena masa ikatan dinas sudah usai. Setiap hari sejak dia kembali ke Bandung, aku mengumpulkan ini itu, memilih dan memilah barang untuk dibawa pindah. Seperti yang kulakukan pagi ini.

Lantai bergetar hebat. Tumpukan kardus di samping pintu kamarku berjatuhan. Aku sempat kesal karena hasil kerjaku menjadi berantakan, sebelum tiba-tiba sadar. Ini gempa. Kencang sekali. “Salsa....!” teriakku panik sambil berlari keluar kamar. Aku menemukan Salsa diam ketakutan di samping TV sambil memeluk boneka kesayangannya. Aku raih dia dan kubawa ke luar.

Aku terduduk di dekat pagar rumah. Menenangkan tangisan Salsa, dan menenangkan diriku sendiri. Kulihat ibu di jalan, berkumpul dengan tetangga. Tetapi tak kulihat ayah. “Ayah sedang di kamar mandi,” ucap ibu menjawab tatapanku.

Setelah tangisnya reda, Salsa bertanya tentang gempa. Aku sedang memikirkan kalimat sederhana untuk menjawab pertanyaan Salsa ketika mataku tertumbuk pada gerombolan orang yang berlari berkejaran dari arah pantai yang terletak sekitar 1 km dari rumahku. “Air...air...,” teriak mereka. Aku bingung apa maksudnya. Tapi jantungku berdetak lebih cepat, aku merasa ada sesuatu yang tak terduga sedang terjadi. Gemuruh kaki-kaki yang berkejaran menimbulkan suara mencekam. Gemuruh kaki-kaki? Bukan begitu seharusnya. Lantas suara apakah itu?

Aku masih bertanya-tanya sambil memeluk erat Salsa. Aku lihat ibu dan para tetangga sudah ikut berlari. Tapi kakiku serasa terpaku. Berat sekali untuk dilangkahkan. Aku menatap orang-orang yang berlari itu. Aku merasa sudah ikut berlari juga, walau pada kenyataannya aku masih diam di tempat. Langit tiba-tiba menghitam. Ah, bukan! Bukan langit, tetapi sesuatu yang hitam besar bergerak ke atas. Meninggi dan maju seolah hendak menerkam orang-orang itu. Air laut! Ya Tuhan, lambat sekali kesadaran ini datang. Aku pun segera menyusul mereka berlari. Aku berusaha berlari sekencang-kencangnya. Aku ingin lari lebih cepat dari degup jantungku. Tetapi andai ada yang sempat memperhatikan, mereka akan melihat aku hanya berjalan pelan menggendong Salsa yang gemuk lucu itu.

Hantaman keras ke punggung tidak membuatku terjerembab, tetapi justru mendorongku meluncur jauh di gelombang air hitam. Salsa terlepas dari pelukan. Aku terantuk-antuk berbagai benda. Mungkin itu lemari, panci, atau bahkan ibuku sendiri. Tak lama aku terombang-ambing. Kala udara yang kucari tak jua terhirup, aku temukan diriku sedang dibimbing Salsa di suatu ruang hening putih. Dengan bergegas dia membawaku melintasi lorong tak tembus waktu, menuju namanya, Salsabila Adnia, sungai yang mengalir di surga.

*Untuk Novi dan putrinya, dan orang-orang yang pulang saat tsunami melanda.

*Ditulis Juni 2011 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar