Mulai bulan September, kami
melakukan renovasi rumah. Atap dan kusen yang hancur oleh rayap, kami ganti.
Untuk itu, semua barang dan kehidupan di rumah lama, kami pindahkan ke rumah
sebelah. Jika untuk perbaiki atap di rumah seluas 55 m2 saja kami harus pindah,
bagaimana pula dengan pembongkaran dinding dan 3 lantai kemudian membangun
baru? Ternyata, aktivitas di dalamnya tetap berlangsung.
Begitulah yang terjadi di
Masjidil Haram. Pembongkaran dan pembangunan besar-besaran boleh saja
dilakukan, tapi aktivitas ratusan ribu, bahkan jutaan, orang didalamnya tetap
berlangsung seperti biasa.
Suami saya pernah membaca
komentar seorang kontraktor bangunan. Katanya, proyek perluasan Masjidil Haram
ini secara teknis paling sulit, karena kehidupan di dalamnya tak boleh
terganggu. Pemerintah Saudi tak bisa melarang orang beribadah. Mereka hanya
dapat mengurangi volume saja. Membatasi izin umroh dan haji dari setiap negara,
sehingga secara total jumlah orang tak terlalu banyak.
Saya tak yakin jumlah orang
berkurang. Hampir semua peziarah, tak hanya ke Makkah. Mereka mampir juga ke
Madinah. Jumlah orang yang shalat di Masjid Nabawi, selalu berlimpah. Bahkan
ada askar perempuan yang berkata bahwa dia melihat yang umroh kali ini lebih
banyak daripada saat musim haji lalu.
Di bandara Doha saat antri
boarding, saya mendengar 2 laki-laki berbincang. Yang satu menanyakan kepada
yang lain. Dari rambutnya, saya yakin dia baru umroh juga seperti kami. Dia
berkata, bahwa dalam analisisnya, kapasitas Masjidil Haram saat ini hanya 45%
yang bisa dipakai ibadah.
Bisa jadi.
Jika tak mencermati, jamaah
mungkin tak menyadari bahwa banyak bagian masjid yang tak bisa dipakai. Mereka
hanya akan melihat itu sebagai dinding pembatas saja. Ya, bagian yang sedang
dibongkar/diperbaiki dan bagian yang dipakai, dibatasi dinding penuh sampai
atas dan dicat rapi. Seolah-olah memang begitu adanya.
Teringat ziarah saya yang
pertama tahun 2000. Masjidil haram adalah masjid terbuka yang sangat luas,
melingkari Ka’bah. Melihat ke depan, ke belakang, ke kiri dan ke kanan, tempat
shalat semata diselang-seling jajaran tiang. Dinding belakang adalah dinding
terluar, tempat pintu melekat.
Shalat di bagian manapun, di
depan kita adalah Ka’bah. Kini, sebagian besar tempat shalat, berhadapan dengan
dinding. Sensasi shalat di Masjidil Haramnya tak terlalu terasa.
Saya ingat saat-saat norak dulu
tahun 2000. Ka’bah adalah bangunan yang selalu dibayangkan, muncul dalam
mimpi-mimpi, terlihat di tempat sujud. Mengunjungi Baitullah adalah cita-cita
tertinggi. Jadi, saat bangunan Ka’bah ada di hadapan mata, saya tak lepas
terkesima. Saat shalat, seringkali pandangan tak tertuju ke tempat sujud, tapi ke depan,
menatap Ka’bah. Alasan logisnya, saat shalat di Indonesia, saya menatap Ka’bah
di sajadah. Jadi, ketika Ka’bahnya di hadapan, kenapa saya hanya menatap
lantai? Hampura, mungkin ini
kelemahan haji di usia muda. Semangat dan tenaga berlimpah, kedalaman pemahaman
agama belum sempurna.
Belakangan, sajadah semakin
beragam. Kebanyakan malah tak menampilkan gambar Ka’bah lagi di tempat sujud.
Jangan-jangan ini hasil investigasi para ulama, bahwa banyak ummat yang salah
kaprah seperti saya.
Memang, shalat menghadap kiblat, dengan
posisi Ka’bah sebagai penentu arah. Tapi, dalam tata tertib shalat, pandangan selalu
tertuju kepada satu titik di tempat sujud, agar mata tak liar kemana-mana, lebih
khusyuk.
Kondisi bulan Desember 2014, tempat shalat –khususnya
bagi perempuan- yang berhadapan dengan Ka’bah, hanya di satu sisi ka’bah
sebelum rukun yamani, di bawah tempat tawaf darurat. Askar membatasi dengan
tali wilayah khusus perempuan.
Tempat lain adalah di depan
Multazam, lantai 1.
Tempat shalat lain bagi
perempuan ada di bagian belakang di sebagian wilayah. Baik itu di lantai 1
maupun di lantai 2 di dalam masjid. Disini, wilayah yang diperuntukkan bagi
perempuan dibatasi oleh rak Al Qur’an yang diletakkan berjajar membentuk wilayah persegi tertutup.
Ada 2 persegi besar di lantai 1 dan 2 tempat besar di lantai 2.
Tempat shalat di lantai 1 dan
di lantai dasar depan Ka’bah selalu cepat sekali penuh. Mungkin karena lebih
mudah dicapai, dan usai shalat bisa langsung ke tempat tawaf. Sementara, di
lantai 2, kita hanya bisa shalat. Usai shalat, jika ingin tawaf harus turun
dulu, keluar masjid, dan masuk lagi melalui pintu lain untuk menuju Ka’bah.
Biasanya, jika shalat baru usai, yang akan masuk dihalangi petugas. Mereka
mendahulukan yang akan keluar usai shalat.
Kecuali yang di depan Ka’bah
lantai dasar, saya pernah mencoba shalat wajib di tempat-tempat lainnya. Paling
nyaman buat saya adalah di lantai 2. Karena persaingan tak seketat di bawah.
Begitupun, kita tetap harus sudah menuju masjid sekitar 1 jam sebelum waktu
shalat agar masih bisa mencari tempat yang enak. Untuk subuh dan dzuhur, 2-3
jam sebelum waktu adzan, lebih memuaskan. Kita masih bisa memilih posisi paling
kosong. Saya suka mengambil tempat paling depan dan pojok, sehingga shalat kita
tak diganggu lalu lalang orang kemudian.
Ada banyak shalat yang bisa
kita lakukan sambil menunggu shalat wajib, selain tahajud atau dhuha. Shalat hajat, shalat istikharah,
shalat taubat, bahkan shalat sunnah mutlak. Kalau tidak salah, shalat sunnah
mutlak itu bisa diterjemahkan sebagai, shalat sunnah saja, just a pray. Jumlah rakaat tak dibatasi, tapi kita lakukan
2rakaat–2rakaat.
Menjelang subuh, jangan terkecoh
oleh adzan. Di Makkah dan Madinah, adzan subuh dikumandangkan 2 kali. Adzan
pertama, lebih ke ajakan untuk shalat tahajud atau membangunkan yang masih
tidur. Satu jam-an dari situ, baru akan adzan Subuh untuk shalat. Jadi, jika
kita sedang nikmat tahajud, atau shalat sunnah lainnya, tak perlu buru-buru
menutup dengan shalat Witir kala adzan terdengar. Tenang saja. Masih bisa
beberapa kali shalat 2 rakaat.
Indikator shalat subuh sudah
dekat biasanya justru berupa...keramaian. Saat kita menoleh dan tiba-tiba
sekitar kita sudah penuh orang, itu berarti sudah mepet waktu shalat.
Masuk mesjid lebih dini, juga
menenangkan hati. Memangnya enak masuk mesjid kala sebagian besar lokasi sudah
terisi? Selain mata lihat kiri kanan jauh dekat mencari tempat yang masih
kosong, kita juga harus memperhatikan langkah, jangan sampai menginjak properti
orang, atau bahkan menginjak kepala orang yang sedang sujud.
Beberapa kali saya mengalami,
masih ada banyak tempat kosong di sekitar, tapi di luar rak Al Qur’an yang
menjadi pembatas wilayah perempuan, sudah tampak berdesakan orang mencari
tempat tersisa. Ternyata, saya sempat alami juga telat datang ke mesjid, ada batas waktu tertentu askar menutup akses ke dalam lokasi perempuan. Jika dia lihat
sekilas sudah penuh, dan sudah banyak orang yang enggan mencari sampai ke
dalam langsung gelar sajadah di jalanan, maka orang-orang yang datang
berikutnya akan diarahkan ke tempat shalat lain yang lebih masuk ke dalam
mesjid, atau bahkan diminta cari tempat lain di luar saja.
Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi, memiliki banyak sekali tiang. Jika kita sudah tak kebagian posisi pojok depan, maka posisi paling nyaman berikutnya adalah di belakang tiang. Bukan di samping. Kalau sudah kebagian lokasi ini, benar-benar bikin Pe-We. Mau shalat, ngaji, wirid sampai tiba saat shalat wajib, tak akan ada yang tiba-tiba andeprok di depan kita.