“Dimana
ada ibu-ibu membeli semangka sebanyak 60 buah?” tanya satu murid.
“Di
... soal Matematika!” teman sekelasnya serentak menjawab sambil tertawa.
Saya
lupa sumber soalnya dari mana, tapi anak saya menceritakan minggu lalu, bahwa soal
Matematika itu dibahas keanehannya oleh Pak Guru di kelas. Selanjutnya, kasus
itu menjadi topik candaan anak saya dan teman-temannya.
Kalau
tidak salah, soal lengkapnya adalah: seorang ibu membeli 60 buah semangka, 50
buah rambutan, dan 150 buah stroberi. Buah-buahan itu akan dibagikan kepada
sekian anak panti asuhan. Berapa buah yang didapat masing-masing anak?
Keanehannya
adalah ketidakmungkinan peristiwa ini terjadi.
Kalaupun ada 60 orang anak panti asuhan, memangnya setiap anak akan
makan 1 buah semangka? Kalau jumlah anak lebih dari 150 orang, siapa yang mau
makan rambutan setengah buah?
Tampaknya
soal ini dibuat sebagai sebuah soal cerita dari topik Faktor Persekutuan Terbesar
(FPB). Tujuannya agar anak-anak paham aplikasi teori ke dalam peristiwa. Sayang
pembuat soal kurang memperhatikan bahwa, logika adalah nyawa Matematika.
Rumus-rumus
diperoleh dari proses berpikir logis dari fakta-fakta lebih sederhana yang
sudah terbukti lebih dahulu. Tapi, tidak hanya itu. Penerapan rumus-rumus itu
pun harus terhadap sesuatu yang masuk akal. Sehingga semuanya membentuk satu
kesatuan pemahaman.
Saat
menulis ini, anak saya sedang latihan mengerjakan soal Ujian Nasional tahun
sebelumnya dari sebuah buku. Baru saja dia menyodorkan sebuah contoh soal yang
membuatnya tertawa, lagi.
Ibu
Siti membeli 70 buah pulpen, 60 buah buku gambar, dan 90 buah buku tulis. Barang
tersebut dibagikan kepada beberapa siswa. Jika setiap siswa mendapat bagian
yang sama baik jumlah maupun jenisnya, jumlah siswa yang mendapat barang
tersebut paling banyak ... orang. (UN 2012, redaksi sesuai yang tertulis di
buku)
“Banyak
amat belanjanya!” kata anak saya. Iya, ya,
pikir saya. Angka-angka itu, FPBnya 10. Artinya, jika 10 orang yang
menerima barang, seorang siswa akan mendapat 7 buah pulpen, 6 buku gambar, dan
9 buku tulis. Untuk apa? Apalagi kalau yang menerima barang tidak sampai 10
orang. Setiap siswa akan mendapat barang jauh lebih banyak. Apalagi, dalam soal
tidak disebutkan Ibu Siti ini siapa. Apa urusannya ibu Siti dengan para siswa? Andaikan
ibu Siti ini guru pun, dalam rangka apa dia berbaik hati membeli barang sebanyak
itu kemudian membagikannya begitu saja?
Gara-gara
satu soal ini, saya jadi tertarik membaca soal
berikutnya.
Pak
Tio membeli 24 pensil 2B, 36 pensil HB, dan 48 pensil B. Pensil-pensil tersebut
akan dimasukkan ke dalam kotak. Setiap jenis pensil dalam setiap kotak
berjumlah sama banyak. Banyak pensil 2B dalam setiap kotak adalah ... buah.
Mungkin
ada kekurangan pengetikan jumlah kotak. Tetapi yang menjadi pertanyaan di sini,
sama seperti di atas, banyak amat belanjanya? Bahkan dalam soal ini lebih tidak
jelas lagi untuk urusan apa pensil dibagi-bagi ke sekian kotak.
Konteks.
Itu yang perlu kita perhatikan dalam membuat soal Matematika, selain topik
bahasan, agar anak-anak dapat memahaminya dengan mudah. Anak-anak kita cerdas. Jangan
sampai niat membuat mereka lebih paham Matematika, justru berbalik menjadikan
Matematika bahan tertawaan mereka.
Melengkapi
konteks pada sebuah soal tidak sulit. Banyak hal di sekitar kita yang bisa kita
manfaatkan. Pada soal try out di buku ini, topik yang sama dengan soal Pak Tio,
diterapkan pada Tino dan kelereng yang dimilikinya, masing-masing 12 kuning, 16
biru, dan 20 hijau. Ini logis, karena anak laki-laki biasanya memang memiliki
kelereng dalam jumlah banyak.
Jika
ingin menerapkan soal ke jumlah barang yang besar, bisa kita gunakan toko, pasar,
atau pabrik sebagai lokasi. Karena di sana biasanya barang-barang tersedia
dalam jumlah banyak. Atau diterapkan ke profesi tertentu. Misalnya jumlah
kancing yang dimiliki penjahit, jumlah piring atau bahan makanan suatu
catering, atau buku di perpustakaan. Untuk jumlah barang yang lebih sedikit
bisa kita pakai rumah sebagai lokasi. Yang penting, masuk akal.
Soal
Matematika perlu logika untuk menyelesaikannya. Tetapi jangan lupa, Soal
Matematika perlu logika juga saat membuatnya. Hanya peristiwa-peristiwa yang
logis saja yang kita jadikan latar penerapan dari sebuah hitung-hitungan yang,
juga, logis.