Kata-kata menuju-Mu

Terima kasih berkenan singgah di Ruang Eksplorasi saya. Rumah lintas "bahasa": b.Matematika, b.Literer, b.Kuliner, b.Qolbu, dan, tentu, bahasa seorang ibu. Semoga bermanfaat.

Selasa, 22 Januari 2013

LOGIKA SOAL MATEMATIKA



“Dimana ada ibu-ibu membeli semangka sebanyak 60 buah?” tanya satu murid.
“Di ... soal Matematika!” teman sekelasnya serentak menjawab sambil tertawa.

Saya lupa sumber soalnya dari mana, tapi anak saya menceritakan minggu lalu, bahwa soal Matematika itu dibahas keanehannya oleh Pak Guru di kelas. Selanjutnya, kasus itu menjadi topik candaan anak saya dan teman-temannya. 

Kalau tidak salah, soal lengkapnya adalah: seorang ibu membeli 60 buah semangka, 50 buah rambutan, dan 150 buah stroberi. Buah-buahan itu akan dibagikan kepada sekian anak panti asuhan. Berapa buah yang didapat masing-masing anak?

Keanehannya adalah ketidakmungkinan peristiwa ini terjadi.  Kalaupun ada 60 orang anak panti asuhan, memangnya setiap anak akan makan 1 buah semangka? Kalau jumlah anak lebih dari 150 orang, siapa yang mau makan rambutan setengah buah?

Tampaknya soal ini dibuat sebagai sebuah soal cerita dari topik Faktor Persekutuan Terbesar (FPB). Tujuannya agar anak-anak paham aplikasi teori ke dalam peristiwa. Sayang pembuat soal kurang memperhatikan bahwa, logika adalah nyawa Matematika.

Rumus-rumus diperoleh dari proses berpikir logis dari fakta-fakta lebih sederhana yang sudah terbukti lebih dahulu. Tapi, tidak hanya itu. Penerapan rumus-rumus itu pun harus terhadap sesuatu yang masuk akal. Sehingga semuanya membentuk satu kesatuan pemahaman.

Saat menulis ini, anak saya sedang latihan mengerjakan soal Ujian Nasional tahun sebelumnya dari sebuah buku. Baru saja dia menyodorkan sebuah contoh soal yang membuatnya tertawa, lagi.

Ibu Siti membeli 70 buah pulpen, 60 buah buku gambar, dan 90 buah buku tulis. Barang tersebut dibagikan kepada beberapa siswa. Jika setiap siswa mendapat bagian yang sama baik jumlah maupun jenisnya, jumlah siswa yang mendapat barang tersebut paling banyak ... orang. (UN 2012, redaksi sesuai yang tertulis di buku)

“Banyak amat belanjanya!” kata anak saya. Iya, ya,  pikir saya. Angka-angka itu, FPBnya 10. Artinya, jika 10 orang yang menerima barang, seorang siswa akan mendapat 7 buah pulpen, 6 buku gambar, dan 9 buku tulis. Untuk apa? Apalagi kalau yang menerima barang tidak sampai 10 orang. Setiap siswa akan mendapat barang jauh lebih banyak. Apalagi, dalam soal tidak disebutkan Ibu Siti ini siapa. Apa urusannya ibu Siti dengan para siswa? Andaikan ibu Siti ini guru pun, dalam rangka apa dia berbaik hati membeli barang sebanyak itu kemudian membagikannya begitu saja?

Gara-gara satu soal ini, saya jadi tertarik membaca soal  berikutnya.

Pak Tio membeli 24 pensil 2B, 36 pensil HB, dan 48 pensil B. Pensil-pensil tersebut akan dimasukkan ke dalam kotak. Setiap jenis pensil dalam setiap kotak berjumlah sama banyak. Banyak pensil 2B dalam setiap kotak adalah ... buah.

Mungkin ada kekurangan pengetikan jumlah kotak. Tetapi yang menjadi pertanyaan di sini, sama seperti di atas, banyak amat belanjanya? Bahkan dalam soal ini lebih tidak jelas lagi untuk urusan apa pensil dibagi-bagi ke sekian kotak.

Konteks. Itu yang perlu kita perhatikan dalam membuat soal Matematika, selain topik bahasan, agar anak-anak dapat memahaminya dengan mudah. Anak-anak kita cerdas. Jangan sampai niat membuat mereka lebih paham Matematika, justru berbalik menjadikan Matematika bahan tertawaan mereka.

Melengkapi konteks pada sebuah soal tidak sulit. Banyak hal di sekitar kita yang bisa kita manfaatkan. Pada soal try out di buku ini, topik yang sama dengan soal Pak Tio, diterapkan pada Tino dan kelereng yang dimilikinya, masing-masing 12 kuning, 16 biru, dan 20 hijau. Ini logis, karena anak laki-laki biasanya memang memiliki kelereng dalam jumlah banyak. 

Jika ingin menerapkan soal ke jumlah barang yang besar, bisa kita gunakan toko, pasar, atau pabrik sebagai lokasi. Karena di sana biasanya barang-barang tersedia dalam jumlah banyak. Atau diterapkan ke profesi tertentu. Misalnya jumlah kancing yang dimiliki penjahit, jumlah piring atau bahan makanan suatu catering, atau buku di perpustakaan. Untuk jumlah barang yang lebih sedikit bisa kita pakai rumah sebagai lokasi. Yang penting, masuk akal.

Soal Matematika perlu logika untuk menyelesaikannya. Tetapi jangan lupa, Soal Matematika perlu logika juga saat membuatnya. Hanya peristiwa-peristiwa yang logis saja yang kita jadikan latar penerapan dari sebuah hitung-hitungan yang, juga, logis.
Diposting oleh annis di 06.55 4 komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Matematikanis

Minggu, 20 Januari 2013

MATI RASA



             Teringat suatu hari. Usai menikmati dinginnya Puncak di halaman parkir Rindu Alam, saya bermaksud kembali ke Bogor. Tetapi, petugas parkir menahan. Jalan ditutup, katanya. Sedang searah menuju Puncak, pikir saya. Ternyata tidak. Jalanan kosong untuk waktu yang cukup lama. Lebih dari 10 menit. Tak ada yang melintas dari kedua arah. Orang-orang di parkiran mulai gelisah. Menengok ke kiri dan kanan jalan, tak melihat apa-apa, tapi kami tak boleh lewat.

            Akhirnya kami mulai paham saat terdengar bunyi sirine dari kejauhan. Kemudian lewatlah sebuh motor pengawal. Agak jauh di belakangnya lewat satu motor lagi. Dan jauh di belakangnya baru beberapa mobil pengawal, mobil presiden, dan banyak mobil bagus lainnya sebelum ditutup oleh mobil pengawal, dan beberapa motor. Keesokan harinya di surat kabar saya membaca, bahwa presiden beserta para menteri berakhir pekan di istana Cipanas. Mungkin rapat koordinasi kabinet. Saya tidak ingat persisnya, sekitar tahun 2004 atau 2005, masa awal kepresidenan SBY. 

            Menjelang pernikahan Alya dan Baskoro, dari surat kabar juga saya tahu, mereka pertama kali berkenalan di istana Cipanas pada awal masa jabatan orang tuanya. Saya pun teringat peristiwa malam itu. Rupanya saat itu tak sekedar saling mengenal antar Presiden dan menteri-menteri, tetapi juga dengan keluarga masing-masing. Pantas saja iringan mobil waktu itu panjang sekali.


            Di sisi lain, saya punya teman istri seorang tentara yang pernah menjadi Danrem. Dia bercerita bagaimana perannya sebagai istri banyak digantikan anggota pasukan suaminya. Seragam dan atribut yang melekat saja ada petugas khusus yang menyediakan, apalagi urusan pengawalan. Termasuk pengawal istri dan anak-anaknya, walau sang istri tidak selalu bersedia dikawal. Dia bercerita tentang sebab dan tujuannya. Intinya, agar sang suami fokus pada tanggung jawab sebagai Danrem. Saya menjadi paham bagaimana teraturnya sistem dan hirarki di lembaga ini. Dan terutama, saya semakin menghargai tugas dan peran angkatan bersenjata bagi negara kita tercinta.

Jika seorang Danrem “saja” mendapat perlakuan seperti itu, bagaimana pula dengan seorang Presiden? Tentu jauh lebih detil dan komprehensif. Bahkan sampai menjadi sebuah pasukan khusus, yang anggotanya diseleksi dengan ketat. Tugas mereka sangat mulia, menjaga agar pemimpin tertinggi negara ini terjamin keamanannya sehingga dapat bekerja maksimal bagi negara. Paspampres nama beken pasukan ini.

Tugas utama Paspampres hanya satu, menjaga keamanan Presiden. 

Cakupannya berimbas kepada pengamanan istri dan keluarga, kediaman dan tempat kerja, serta perlindungan setiap aktivitas presiden. 24 jam per hari, 7 hari seminggu. *eh, kok jadi iklan restoran...

Pengamanannya berimbas pada sterilisasi lokasi tempat presiden berkegiatan, termasuk perjalanan menuju ke sana. Dengan mempertimbangkan segala kemungkinan negatif, misalnya bom bunuh diri atau tembakan jarak jauh, Paspampres memeriksa lokasi aktivitas presiden, mengosongkan jalan dari kendaraan lain sebelum presiden lewat, dan lain-lain. Dalam hal ini, Paspampres bekerja sama dengan kepolisian dan aparat setempat.

Pada jabatan sebagai presiden melekat tanggung jawab yang istimewa, maka beliau sangat pantas mendapatkan fasiltas ini. Berbagai agenda terjadwal dalam kesehariannya. Karena itu, kepastian waktu tempuh dari satu tempat ke tempat lain sangat diperhitungkan. Rakyat rela tertahan sesaat untuk memberi ruang gerak leluasa kepada pemimpinnya, karena tahu yang sedang dikerjakan sang pemimpin akan bermanfaat besar bagi rakyat banyak. Setidaknya, dulu saya merasa begitu.

Sekitar 10 tahun terakhir, sirine motor atau mobil pengawal mulai terasa menjengkelkan pengguna jalan. Karena, frekuensinya meningkat pesat, sementara di sisi lain tingkat kepadatan lalu lintas justru sudah semakin tinggi.

Andai masyarakat yakin bahwa setiap sirine meminta jalan itu adalah pejabat yang akan lewat karena ada urusan negara yang sedang dilakukan, jengkelnya hanya sebatas karena macet saja. Masalahnya, kondisinya tidak meyakinkan. 

Belum tentu yang akan lewat itu pejabat. Dan kalaupun pejabat, belum tentu itu untuk urusan penting. Dan kalaupun penting, belum tentu karena memang harus begitu.

Begini....

Yang pertama, pengguna jalan tahu, mobil dinas presiden dan wakilnya adalah RI 1 dan RI 2. Nomor-nomor berikutnya dari seri RI adalah nomor-nomor mobil dinas Menteri atau yang setingkat itu. Jadi, ketika di tengah kemacetan parah di jalan Thamrin, misalnya, ada sirine dari belakang kita, maka kita pun akan sedapat mungkin memberi jalan. Asumsi kita, akan lewat mobil Camry bernomor RI sekian. Ternyata, yang melintas adalah mobil jenis lain, dengan nomor lain. 

Sangat mungkin, isinya adalah menteri. Tetapi, ketika dia tidak sedang menggunakan mobil dinas, asumsinya adalah dia tidak sedang berdinas kan? Dan jika bukan urusan dinas, seharusnya hak dia sama dengan hak pengguna jalan lain.

Yang kedua, pernah menemukan iringan pejabat dan pengawalnya memasuki....gedung pernikahan. Mau menghadiri pesta, rupanya. Apakah yang seperti ini tergolong tugas untuk negara sehingga perlu pengawalan juga? Okelah kalau hanya satu. Tetapi, kan bisa saja dalam satu waktu para menteri ini pergi bersama-sama.  Bisa ke satu tujuan yang sama, tetapi bisa juga ke pesta pernikahan yang berbeda. Bayangkan imbas kemacetan tambahan yang dialami warga karena ini.

Yang ketiga, benar pejabat, benar mau dinas, tapi perpindahannya dari lokasi yang tidak seharusnya.

Kita coba kembali lagi ke Danrem. Mereka mendapat jatah rumah dinas. Rumah dinas disediakan agar sang pejabat tak harus terlambat dengan alasan rumah jauh. Rumah dinas biasanya berlokasi di sekitar gedung kantor utama.

Pada posisi yang lebih tinggi, juga berlaku begitu. Para menteri disediakan rumah dinas oleh negara. Jarak tempuhnya ke gedung kerja mereka relatif dekat. Makanya, jalan yang paling banyak dilalulalangi mobil bernomor RI sekian adalah Saharjo dan Thamrin/Sudirman, karena rumah dinas mereka di Kuningan.

Pengawalan terhadap Presiden dan Wakil Presiden adalah yang paling ketat. Tak sekedar didahului motor pembuka jalan, tetapi jalan yang akan dilalui harus dikosongkan dulu sampai jarak sekian meter. S.O.P-nya memang begitu. Tak ada yang salah. Tetapi, di sisi lain, negara mengantisipasi dengan menyediakan rumah dinas Presiden di dalam kompleks istana kepresidenan. Sehingga, kehebohan yang ditimbulkan karena perjalanan dinas presiden dapat diminimalkan.

Sayangnya, tidak semua presiden merasa perlu tinggal di istana kepresidenan. Hanya Sukarno dan Abdurrahman Wahid. Rumah Bung Karno di daerah Blok M, sedangkan Gus Dur di Ciganjur. Berjarak cukup jauh dari Medan Merdeka Utara. Suharto, BJ Habibie, dan Bu Mega tetap tinggal di rumah pribadi selama menjabat, tetapi rumah mereka dekat ke Istana Presiden. 

Zaman Bu Mega, yang lebih membuat sibuk Paspampres justru Wapresnya. Rumahnya lebih dari satu dan semua ditinggali. Pengamanan dan pengawalan pun berpindah-pindah sesuai ke mana Pak Wapres ingin pulang.

Sebagai warga Bogor, saya numpang senang karena saat itu jalan dari Jagorawi ke rumah beliau yang dekat dengan rumah saya, menjadi bagus dan mulus. Hanya, saat-saat ini juga yang membuat saya mulai terganggu dengan pengawalan pejabat. Perjalanan kita bisa terhambat jika waktunya bertepatan dengan persiapan kedatangan pak Wapres. Tapi, paling senang kalau ada jeda waktu cukup lama antara kedatangan atau kepulangan beliau. Saya akan melewati jalan yang dijaga polisi di setiap 50 meteran. Saya merasa tersanjung, karena sepanjang perjalanan, saya bersikap seolah mereka sedang menjaga saya. :)
Setelah berganti Wapres, jalanan di Bogor menuju rumah saya pun menjadi standar lagi. Gak seru ah :). Keluhan mulai banyak disampaikan teman-teman (dan mungkin orang lain) yang aktivitasnya searah dengan perjalanan Cikeas – Istana Merdeka. Terlalu kerap mondar-mandirnya. Sehingga perjalanan ke tempat kerja atau pulang kerja menjadi lebih lama dari yang seharusnya, jalanan menjadi lebih parah lagi macetnya.

Saat dilewatinya hanya sebentar, benar. Tetapi kan ada persiapan dengan pengosongan jalan, dan setelah dilewati, butuh waktu juga untuk mengurai kemacetan.

Lagi, kita tak menyalahkan Paspamres karena mereka memang bekerja sesuai prosedur. Pengguna jalan sebenarnya hanya berharap ada sedikit empati dari yang dijaga, terhadap efek yang ditimbulkan. Mobilitasnya yang tinggi dari rumah pribadi ke rumah dinas dan kantor, sebenarnya sangat mungkin dikurangi banyak jika ada tenggang rasa kepada rakyat yang mendapat akibat. 

Ketika tenggang rasa itu tak ada, apakah rakyat masih berhak disalahkan karena mati rasa terhadap apapun yang diperbuatnya, benar atau salah?
Diposting oleh annis di 19.49 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Rabu, 16 Januari 2013

BOGOR MENGGUGAT “BANJIR KIRIMAN” :)


 Feat: sampah dan pilgub


Beberapa hari ini terbangun jauh sebelum subuh karena hujan deras mengguyur. Kadang-kadang disertai angin kencang. Dalam bayangan saya, ada yang sedang menuangkan air sekaligus dari sebuah ember super besar. Pasti besar sekali embernya, karena guyurannya tak henti-henti. Untung masih ada genteng dan langit-langit di atas kepala saya.

Hujan yang berformalin, karena awet sekali. Walau kadang mereda menjadi gerimis, dan kemudian tiba-tiba membesar lagi, tapi hujan tak pernah berhenti. Terus-menerus sepanjang hari. Itu di tempat saya tinggal, Bogor. Rupanya, hujan datang sekompi. Di Jakarta juga. Di Depok juga. Di Puncak, apalagi.

Berteriaklah teman-teman saya di Jakarta. Apalagi setelah beredar informasi, Katulampa Siaga 1. 8 jam dari saat itu, diperkirakan air dari Katulampa akan sampai di Jakarta.

“Annis, mengapa Bogor mengirim air melulu?”
“Maaf teman, hanya itu yang ada. Mau mengirim macet, Jakarta sudah punya. Banyak.” Tentu, konteksnya bercanda. Apalagi yang kami bisa lakukan selain itu?

            Sejak dulu Bogor sudah dinamai kota hujan. Jadi memang spesialisasi kami di perhujanan. Tapi, yang disebut wilayah Bogor itu termasuk Puncak, tempat hulu sungai Ciliwung berada. Bogor kota sendiri posisinya di pertengahan ketinggian antara Puncak dan Jakarta. Penyumbang debit air terbesar justru dari Puncak, yang secara alami sebenarnya merupakan wilayah penahan air.

            Puncak, dataran tinggi yang sangat cantik. Berbukit-bukit. Sejauh mata memandang –seharusnya- adalah pepohonan, yang sanggup menahan banyak air. Seperti yang ada di buku pelajaran, hutan di gunung menerima hujan, pepohonannya menahan air agar leluasa diserap tanah, dan kelak air tanah itu “rembes” menuju ke laut. Dia menjadi air tanah yang bisa “dicegat” di perjalanan oleh penduduk-penduduk untuk kebutuhan hidup mereka. Kelebihan air hujan, akan dialirkan melalui sungai-sungai, yang juga mengarah ke laut.

            Dari sejarahnya, manusia mencari tempat tinggal yang dekat dengan sumber air. Jadi, manusia yang mendekati sungai dan air tanah yang sudah lebih dahulu ada. 
            Ketika 2 hari ini (terulang) banjir besar di Jakarta, lantas, pantaskah Bogor yang disalahkan? Iya sih, teman-teman bercanda ketika mengatakan “banjir kiriman” dari Bogor. Tetapi, sebagai warga kotamadya Bogor, boleh dong saya membela diri (secara bercanda jugalah)?
           
            Pertama, Jakarta punya bakat banjir sendiri. Sering terjadi, hujan besar di Jakarta, sementara saat itu di Bogor terang benderang. Kemudian Jakarta banjir. Artinya, tanpa intervensi Bogor, air hujan di Jakarta saja sudah tak tertampung oleh sistem pengairannya. Entah karena penyempitan dan pendangkalan sungainya, atau karena kehilangan danau/rawa-nya, atau karena tak cukup tanah gembur yang mampu menyerap air setelah pepohonan penahan air di atasnya nyaris habis.

            Kedua, berkurang banyaknya peresap air di Puncak. Pada kondisi hujan turun di semua wilayah, Puncak menyuplai air di atas daya tampung sungainya. Mengapa? Karena fungsi alami Puncak menyerap sebagian air ke dalam tanah lebih dulu, tersingkirkan. Puncak telah menjadi wilayah pemukiman. Sebagian di antaranya adalah bangunan tak berpenghuni rutin. Vila yang ditengok sesekali saja oleh para pemiliknya. Dan, mayoritas pemilik vila itu adalah penduduk Jakarta.

            Ketiga, budaya membuang sampah. Terutama, membuang sampah ke sungai. Saya melihat sendiri saat melintasi jembatan di atas sungai Ciliwung. Seseorang keluar dari rumahnya, membawa kantong kresek menggembung. Berjalan santai mendekati sungai. Dan melemparkan kantong tersebut ke sungai. Tenang, karena dia melempar dengan nyaman. Tak tampak kekhawatiran sedikitpun. Artinya apa? Mereka tak merasa itu perbuatan salah. Jika dia menengok kiri kanan dulu takut ada yang mengintip dia membuang sampah, berarti kondisinya lumayan. Dia tahu itu perbuatan salah, tapi dia masih melakukan kesalahan itu. Ini tidak.

            Itu baru di satu titik. Padahal, sungai Ciliwung panjang sekali. Bayangkan jika semua penduduk di “river side residence” melakukan hal serupa. Berapa banyak paket titipan kilat yang dikirim dengan cara tercepat dan gratis ongkos kirim ini?

            Keempat, perubahan iklim sehingga menghasilkan curah hujan yang ekstrim. Ini masalah perubahan alam. Pengaruh kita seolah tak terlihat jika dipandang perorangan. Tetapi, secara warga bumi, akumulasi yang sedikit-sedikit ini berpengaruh banyak. Mengisi lebih dari 2/3 lahan kita dengan bangunan permanen, atau menggunakan AC dan lemari es, misalnya. 

Penggunaan gelombang elektromagnetik, perasaan saya sih, juga berpengaruh banyak pada iklim. Bukan hanya telepon genggam, tetapi televisi dan internet juga memanfaatkan gelombang ini. Frekuensi aktivitas digital kita sangat tinggi. Walau tak kasat mata, lalu lintas gelombang elektromagnetik yang luar biasa padat tentu menjadi gangguan besar bagi kenyamanan alam.

Jadi, mari kita bersama-sama introspeksi diri sajalah. Seberapa besar sumbangan kita pada situasi hari ini.

Pesan Sponsor :) : 

Musim hujan kali ini bersamaan dengan musim kampanye pilgub Jabar.
Banjir dan longsor menjadi komoditas seksi bagi para kandidat.
Mengetahui bahwa para bapak dan ibu cagub ini memberi atensi terhadap para korban, saya ikut bersyukur.
Tetapi, saya belum mendengar satupun cagub yang menjadikan “pendidikan masyarakat” untuk pencegahan banjir di masa depan sebagai salah satu programnya.
Bukan membangun saluran air. Itu mah memang sudah tugas pemerintah.
Saya merindukan ada calon yang mencanangkan program penerapan “mengelola sampah” daripada “membuang sampah”. Sederhana saja. Memisahkan sampah basah dan sampah kering. Dari hilir ke hulu. Dari rumah-rumah, sampah dikeluarkan sudah terpisah. Gerobak sampah disekat menjadi dua bagian. Sampah-sampah yang sudah terpisah ini, tetap terpisah di gerobak sampah. Demikian juga di penampungan, dan seterusnya sampai di TPA. Sampah basahnya dikelola secara alami, sampah kering bisa didaur ulang. TPA akan menjadi pabrik humus besar. Pupuk yang dihasilkan dijual atau dijadikan pupuk untuk menyuburkan tanaman-tanaman milik umum (taman, kebun, hutan).
Itu saja.
Diposting oleh annis di 12.31 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Berlomba dalam Kebaikan

Sabtu, 12 Januari 2013

Cinta Muhammad Kepada Muhammad

Resensi Buku CAHAYA ABADI MUHAMMAD SAW karya Muhammad Fethullah Gulen

dimuat di antaranews.com tanggal 2 Juni 2012

Jakarta (ANTARA News) - “Muhammad Saw. adalah sosok yang akan membuat siapapun jatuh cinta, kapanpun,” demikian sepenggal ungkapan Muhammad Fethullah Gulen dalam tayangan video pada peluncuran buku "Cahaya Abadi Muhammad Saw Kebanggaan Umat Manusia", karyanya. 

“Jika hari ini ada yang membencinya itu bukan salah Muhammad. Itu salah kita, umat yang mengaku mencintainya. Kita belum bersikap seperti beliau sampai orang yang melihat kita akan berkata ‘Benar, pantaslah Muhammad dicintai karena umatnya pun sangat layak dicintai segala tingkah lakunya’,” lanjut Gulen, berurai air mata.


 Tulisan lengkapnya silakan dibaca di :

http://www.antaranews.com/berita/313824/cinta-muhammad-kepada-muhammad
Diposting oleh annis di 15.05 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Perpustakaan, Tulisan saya di Media lain

Rabu, 09 Januari 2013

Dari Habibie ke Ainun



            Sebagai remaja di tahun 80-an, saya termasuk pengagum pak Habibie. Menristek yang lincah, selalu bersemangat dalam segala hal. Apalagi jika bicara tentang pesawat terbang, matanya selalu berbinar-binar. Beliau penggagas berdirinya pabrik pesawat terbang di Bandung. Kurang keren apalagi, coba? Saat itu, sebagai negara agraris, Indonesia sudah bisa mencukupi kebutuhan berasnya. PT Nurtanio akan melengkapi kebanggaan sebagai orang Indonesia dengan membuat pesawat sendiri.

            Sebagai kepala BPPT, Pak Habibie pun membuka peluang sekolah teknik di luar negeri untuk para lulusan SMA. Beasiswa BPPT menjadi tujuan mayoritas siswa laki-laki  berprestasi dari jurusan IPA. Peminat perempuan ada, tapi belum banyak.

            Saya sempat sangat ingin menjadi bagian dari pelajar istimewa itu, tetapi tidak mengetahui prosedurnya. Saya kira akan ada penawaran, ternyata tidak. Saya baru tahu saat teman-teman saya sudah  mendapat panggilan tes tertulis. Terlambat. Rasa tak nyaman itu muncul lagi saat di pertengahan semester 1, beberapa teman kuliah tiba-tiba menghilang. Rupanya mereka lolos sampai seleksi tahap akhir dan mulai mempersiapkan keberangkatan ke negara tujuan masing-masing.

            Beberapa tahun saya menjalani kesibukan sebagai mahasiswa seperti pada umumnya dengan berbagai kehidupan sosial di luar pelajaran. Sampai di tahun keempat, saya membaca penawaran beasiswa BPPT untuk mahasiswa tingkat akhir di dalam negeri. Teringat keinginan dahulu, saya pun melamar. Program yang ini sudah sangat spesifik. Saat mendaftar kita sudah langsung menentukan di instansi mana nanti akan mengabdi. Saya memilih PT IPTN, Industri Pesawat Terbang Nusantara, nama baru dari PT Nurtanio.

            Alhamdulillah, lolos. Bangganya...karena saya akan satu perusahaan dengan Pak Habibie, Dirut PT IPTN. Hanya setahun saya mendapat beasiswa. Lulus. Dan langsung bekerja. Saya ditempatkan di Pusat Komputasi, bagian Analisis Data, dengan ruang kerja di Lantai 6 Hanggar. Dari jendela ruang kerja, tampak pesawat-pesawat keluar masuk hanggar. Walau lutut gemetar karena saya takut ketinggian, saat istirahat saya suka sekali memandang dari jendela ini. Apalagi saya belum pernah naik pesawat terbang.

            Jika waktu shalat Jumat tiba, saya sangat menikmati perjalanan dari gedung Hanggar ke gerbang depan untuk makan siang di luar kantor. Selain karyawati, yang melintas di jalur utama itu adalah para ekspatriat. Saya suka berkhayal sedang berjalan-jalan di Eropa :).  Tahun 1992-1994, ekspatriat masih banyak di IPTN.

            Pekerjaan saya tidak berkaitan langsung dengan pembuatan fisik pesawat. Saya menggali informasi dari berbagai departemen, mempelajari proses kerja dan kebutuhan data mereka. Informasi ini nantinya akan menjadi dasar pemrograman komputer yang terintegrasi.

Berkaitan dengan pekerjaan ini, saya pernah diajak masuk ke lokasi perakitan pesawat. Jeleknyaaa pesawat yang sedang dirakit :). Penuh dengan sekrup yang mengikat lempengan-lempengan kecil yang membentuk badan pesawat. Di IPTN, saya hanya 1/16.000 karyawan saat itu. Tapi, saya bangga menjadi 1 sekrup di industri berteknologi tinggi ini. 

Mimpi saya untuk menjadi seperti Pak Habibie masih hidup. 3 kali seminggu, sepulang kerja di kompleks lanud Husein Sastranegara, saya menuju Goethe di jalan Martadinata untuk belajar bahasa Jerman. Saya memilih kursus bahasa Jerman, karena masih berharap bisa kuliah S2 atau S3 di sana. Lelah dan dinginnya malam sering terlupakan.

            Beberapa kali upacara dipimpin langsung Pak Habibie. Saya selalu antusias mendengar pidato beliau. Dinamis. Optimis. Apalagi saat itu PT IPTN sedang menyiapkan pesawat N-250.

            Motivasi saya sempat terganggu ketika mulai bergaul dengan lebih banyak orang. Mendengar gosip ini itu, menyadarkan saya bahwa dunia kerja bukan prototype hidup, tapi kenyataan. Ada baik buruk, ada positif negatif.

Saya tersemangati lagi saat mendapat sebuah penugasan, berkaitan dengan Rencana Strategis perusahaan. Ada sesi penjelasan 5 tahap alih teknologi yang dicanangkan IPTN/Pak Habibie dari awal. Kurang lebihnya sebagai berikut:

Tahap pertama, menjadi “tukang”. Menerima order membuat bagian-bagian pesawat dari perusahaan pesawat yang sudah mapan. Pemesan sudah menggambarkan spec detilnya, IPTN tinggal membuat. Tujuan tahap pertama ini adalah mengenalkan pabrik ini, sambil kita mempelajari teknologi yang sudah dikuasai perusahaan lain. 

Tahap kedua, membuat pesawat atas nama perusahaan lain. Gambar detil, dibuat pemesan. IPTN merakit. Ibarat tukang jahit, saat itu IPTN hanya menjahit. Pola baju sudah dibuatkan orang lain.

Tahap ketiga, membuat pesawat bekerja sama dengan perusahaan lain. Hasilnya adalah pesawat CN – 235, CN singkatan dari Cassa dan Nurtanio.

Tahap keempat, membuat pesawat hasil desain sendiri. Contohnya N-250. Desain asli di IPTN, badan dibuat di IPTN, tetapi mesin masih dipesan ke pihak ketiga.

Dan tahap kelima adalah, suatu saat akan membuat pesawat dengan seluruh komponen dibuat di Indonesia.

Lima tahap alih teknologi yang luar biasa. Saat awal, tenaga ahli kita belum banyak. Jadi, sambil menyekolahkan generasi muda ke luar negeri di bidang perpesawatan, para ahli dari luar juga dipekerjakan di IPTN. Secara bertahap, ekspatriat ini akan digantikan oleh ahli lokal yang sudah terdidik. 

Lebih jauh lagi, jika teknologi pesawat terbang yang sulit saja sudah terkuasai, diharapkan kepercayaan diri bangsa Indonesia dalam bidang teknologi meningkat. Kemampuan membuat mobil, alat telekomunikasi, dan lain-lain akan menyusul berkembang. Untuk ini, selain IPTN, ada 8 industri strategis lainnya dalam kelompok BPIS.

Impian besarnya, selain swasembada beras, Indonesia suatu saat akan bisa swasembada alat transportasi. Pesawat kecil buatan sendiri yang akan menghubungkan ribuan pulau di negeri ini. Demikian juga produk BPIS lainnya, misalnya kapal laut dan kereta api.

Satu hari di tahun 1994, kebanggaan saya memuncak. Pesawat N250 roll out. Keluar dari ruang produksi. Tinggal mempersiapkan penerbangan perdananya di tahun 1995. Desain dan pembuatan pesawat ini murni di Indonesia, kecuali mesinnya. Konsep Fly By Wire pada  N 250 termasuk mendahului zamannya pada saat itu.

Sesuatu mengubah saya.

Seseorang melamar saya. 
Dan, saya pun tersadar, menjadi istri dan ibu adalah cita-cita tertinggi saya. 

Saya mengundurkan diri dari IPTN, karena kebetulan juga masa ikatan dinas sudah jauh terlewati. Saya pun beralih profesi menjadi dosen di Bogor, mendekat kepada suami yang bekerja di Jakarta. Saya merasa tak berkhianat kepada negara, karena toh berpindah dari karyawan BUMN menjadi PNS. Sama-sama mengabdi kepada negeri.

            Sering saya bercanda, bahwa saya ibu rumah tangga yang nyambi jadi dosen. Karena saya hanya memenuhi syarat wajib sebagai pegawai fungsional. Mengajar. Di luar itu, jika tidak ada tugas administratif, saya pulang. Bahkan persiapan mengajar pun saya lakukan di rumah. Apalagi setelah ada anak.
 Sampai di satu titik. 
Suami yang selama ini bekerja dan berwirausaha di sektor swasta, mendapat amanah di sebuah BUMN. Di sisi lain, saya juga masih ingin punya anak. Ada juga beberapa hal lain yang saling berkaitan.  Akhirnya, saya memutuskan mundur dari dunia kerja di luar rumah. 

Bukan hal mudah, tentu saja, menjalani perubahan kondisi. Dari bekerja, menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Niat mendukung suami apapun yang terjadi, tidak selalu berhasil. 


Lalu, Bu Ainun wafat. Membuat banyak kisahnya tertulis di media. Saya jadi semakin tahu tentang beliau. 

Dan, tiba-tiba saja, saya merasa ada panutan. Saya tidak sendiri. Kondisi yang dihadapi Bu Ainun lebih kompleks. Tetapi semua bersaksi, beliau luar biasa sabar. Saya jadi merasa tak mahir menghadapi kondisi yang jauh lebih ringan. Saya semakin salut kepada beliau mengingat apa yang berhasil dicapai Pak Habibie, suaminya.

Saya belum sempat tuntas membaca buku Habibie dan Ainun, telanjur diputar filmnya. Saat menonton, saya tersenyum sendiri ketika anak saya nyeletuk, “Mamah sering bilang begitu!” pada adegan Bu Ainun marah dan berkata “Saya tidak suka...”

Adegan itu, memanusiakan Bu Ainun di mata saya. Ternyata beliau ada batas sabarnya juga. Ternyata beliau tidak melulu patuh pada suaminya juga. Membuat saya semakin suka, karena beliau tidak berpura-pura menjadi malaikat. 

Yang saya kagumi jadi dua, Pak Habibie dan Bu Ainun.
Tetapi, idola saya bergeser, dari Pak Habibie ke Bu Ainun.

Diposting oleh annis di 06.19 6 komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Profil, Ruang Keluarga
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Langganan: Postingan (Atom)

dream weaver tracking
discount computer sales

Label

  • Berlomba dalam Kebaikan (21)
  • Dapurku (6)
  • Kelas Menulis (15)
  • Matematikanis (6)
  • Perpustakaan (23)
  • Profil (14)
  • Ruang Keluarga (30)

Pengikut

Arsip Blog

  • ►  2017 (13)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2015 (9)
    • ►  Desember (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2014 (30)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Juli (8)
    • ►  Juni (7)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2013 (14)
    • ►  Desember (2)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (2)
    • ▼  Januari (5)
      • LOGIKA SOAL MATEMATIKA
      • MATI RASA
      • BOGOR MENGGUGAT “BANJIR KIRIMAN” :)
      • Cinta Muhammad Kepada Muhammad
      • Dari Habibie ke Ainun
  • ►  2012 (30)
    • ►  Desember (4)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (5)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2011 (3)
    • ►  Oktober (3)
  • ►  2010 (11)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (7)
    • ►  Oktober (3)

Harap

  • Annis D. R.
  • annis
Tema Tanda Air. Diberdayakan oleh Blogger.