Sebagai Menteri, saya menjadi sorotan. Menteri adalah
posisi sangat tinggi. Dibayar oleh negara, berdasarkan pembayaran pajak
masyarakat. Tugasnya sangat mulia. Turut menjalankan pemerintahan. Ikut mewarnai
merah putihnya bangsa ini. Ibadah yang bernilai luar biasa tinggi di mata-Nya.
Saya sudah melakukan banyak langkah spektakuler sepanjang
menjadi menteri. Saya pernah membebaskan antrian di sebuah pintu tol dalam kota.
Saya pernah menaiki KRL Jakarta Bogor dan dilanjut dengan menggunakan ojeg. Saya
pernah inspeksi mendadak di pintu tol Cikarang Utama dan ruang kontrol bandara
Soetta.
Dan, semua tahu, saya tidak mencapai posisi ini dari
warisan. Saya anak miskin yang harus mengikatkan sarung kencang-kencang untuk
menahan lapar di saat muda.
Jadi:
Saya
paham macetnya Jakarta, di jalan biasa ataupun di tol. Saya juga paham
ketergantungan masyarakat pada keberadaan KRL, transportasi termurah. Dan,
terutama, saya sangat paham bagaimana rasanya menjadi orang dengan kemampuan
ekonomi terbatas.
Sebagai
mantan wartawan dan pemilik media besar, saya juga mengikuti berita nasional. Jika
tak sempat membaca sendiri, staf saya bisa membuatkan resume dari berbagai
peristiwa di negeri ini, khususnya di Jakarta, kota tempat saya tinggal
sekarang.
Saya
tinggal duduk manis. Bukan melamun dan bersantai, itu gak gue banget. Tetapi, merenungkan bagaimana kewenangan yang saya
miliki bisa menjadi solusi bagi banyak hal yang seolah tidak berhubungan.
Saya
lihat di televisi, mas Jokowi sedang mencoba mengurai dan menggulung ulang
benang masalah di Jakarta, si kembar siam macet dan banjir. Saya juga membaca
teriakan para orang tua atas tingginya biaya pendidikan. Saya ikut mendengar
jebolnya APBN untuk subsidi premium. Saya tahu juga berita terbaru, PT KAI
segera menghapuskan KRL Ekonomi.
Jika
Minggu pukul 5 pagi saya gunakan untuk rapat dengan direksi BUMN, maka pada
hari Senin s.d. Jumat pukul 5 saya keluar rumah. Berjalan atau berlari menuju
Monas, kemudian mengelilinginya beberapa kali. Segar dan menyehatkan. Biasanya,
setelah cukup berkeringat, saya tinggal menyeberang ke kantor, mandi, dan
langsung menjalankan tugas-tugas sebagai
menteri.
Menghirup
udara pagi sambil melihat perubahan cepat lalu lalang kendaraan dan pejalan
kaki di seputar Monas menjelang jam 7 pagi, tiba-tiba menyalakan lampu pijar 5
cm di atas kepala saya. Saya yakin sekali apa yang harus segera saya lakukan.
Saya
akan memanggil Dirut PT KAI. Saya akan memaksanya membatalkan rencana
penghapusan KRL Ekonomi. Harus! Benar bahwa KRL Ekonomi tidak ekonomis bagi
perusahaan. Tapi PT KAI adalah sebuah BUMN. BU, tapi MN. Badan Usaha, tapi
Milik Negara. Dan UUD mengamanatkan, negara diselenggarakan demi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sebagai
penyelenggara negara, saya belum bisa memakmurkan rakyat dalam waktu singkat. Tetapi,
saya bisa, perlu, dan harus membuat mereka tidak menjadi lebih sengsara dari
sebelumnya.
Hiruk
pikuk Jakarta tidak hanya disebabkan kaum menengah ke atas. Pembuat keramaian
di pagi hari justru para pekerja fisik. Misalnya, office boy. Mereka harus
datang lebih pagi dari jam kerja karyawan kantor, dan pulang setelah yang lembur
usai. Hanya sedikit saja penduduk sekitar perkantoran, selebihnya mereka adalah
orang-orang yang berjarak dari tempat kerja. Banyak yang berasal dari sekitar
Jabodetabek.
Selama
ini, mereka rela berdesakan, di KRL Ekonomi. Karena, hanya itu alat
transportasi yang bisa membawanya ke tempat kerja sesuai kemampuan mereka.
Bogor-Jakarta hanya Rp 2.000 saja! Turun di Gondangdia atau Cikini, misalnya,
untuk melanjutkan dengan berjalan kaki ke kawasan perkantoran seputar Monas.
(Commuter
Line padat oleh kelompok lain, karena penggunanya karyawan berpenghasilan jauh
di atas UMR. Membeli tiket Rp 9.000. Dan masih sanggup membayar ojeg atau bajaj
minimal Rp 10.000 untuk sampai ke kantor.)
Pengguna
KRL Ekonomi yang lain adalah pemilik warung, pedagang asongan, pelayan, atau
penjual jasa apapun di seputar perkantoran. Mereka menyokong kenyamanan para
karyawan ini. Sarapannya, minumnya, pijat refleksinya, dan lain-lain. Mereka dibutuhkan,
tetapi mereka harus berhitung untuk mengatur pengeluaran. Dan tarif Commuter
Line (CL) jauh di atas anggaran mereka.
Dengan
biaya transportasi yang ringan, para pemakai KRL Ekonomi masih bisa menyisihkan
penghasilannya untuk memenuhi gizi keluarga, pendidikan anak, dan kebutuhan
utama lain. Sehingga, peningkatan kesejahteraan rakyat bisa diwujudkan pada
generasi berikutnya, anak-anak mereka. Ayah dan ibunya rela berpeluh tanpa mengeluh,
agar anak mereka tetap sekolah. Pun, orang-orang ini bisa fokus pada
pekerjaannya sehingga peran mereka walau “kecil” tetap optimal.
Di
KRL Ekonomi pula, banyak orang menggantungkan hidupnya. Pedagang asongan segala
macam barang melihat para penumpang ini sebagai target pasar mereka. Saat naik
KRL, saya melihat ironi. Berapa banyak orang yang rela mengeluarkan uang lagi
untuk kebutuhan tersier (tisu, gantungan kunci, masker, dll.), jika untuk
kebutuhan utama mereka (transportasi ke tempat kerja) saja, mereka hanya
sanggup membayar yang termurah? Tetapi para pedagang ini tetap ada. Berarti,
apa yang mereka lakukan cukup memberi penghidupan.
Jika
KRL Ekonomi dihapus, bagaimana para pekerja ini ke Jakarta? Apalagi tarif CL
sedang dalam proses dinaikkan. Naik bis? Hampir semahal CL. Dan masih harus
dilanjut dengan angkot atau kendaraan lain. Bike to Work? Yang benar saja! Dari
Bogor gitu lho. Kapan sampai kantornya? Paling masuk akal adalah mengetatkan
ikat pinggang untuk membeli motor.
Terbayang,
mas Jokowi akan tambah pusing dengan serbuan motor ke Jakarta. Ruang yang
dipakai motor di jalan ataupun di tempat parkir jauh lebih kecil daripada
mobil, tetapi jika jumlahnya jauh lebih banyak? Sekarang motor menjadi
alternatif kendaraan dibandingkan mobil karena bebas macet, maka, kelak, motor
pun akan ikut terjebak macet. Jika sekarang saja jalur busway atau trotoar bisa
dilalui pemotor tanpa merasa berdosa, bukan tak mungkin nanti mereka akan
merasa berhak menerobos jalan tol agar bisa lepas dari kemacetan di jalan
biasa.
Dan,
nasib APBN karena peningkatan konsumsi premium... Pemborosan uang rakyat untuk
dibuang di tengah kemacetan.
Dan,
karena dananya untuk cicilan motor serta biaya transportasi, sekolah anak
ditangguhkan serta pilihan makanan disederhanakan.
Dan,
rasa terbatas membuat orang mencari-cari alternatif pemasukan. Bekerja pun
tidak fokus pada tugas utama. Secara massal, kinerja menurun.
Padahal,
ada yang disebut PSO dan CSR.
Public
Service Obligation. Dari namanya, seharusnya jalur PSO ini bisa menjadi alasan
keberadaan KRL Ekonomi. Agar tidak menjadi pembuat merah rapot kinerja PT KAI,
masukkan saja kereta ekonomi ini ke PSO. Dana PSO dari negara ini bisa
sepenuhnya digunakan untuk masyarakat, bukan untuk masyarakat dalam saja,
tambahan penghasilan bagi karyawan.
Masyarakat
tetap membayar walau dibawah biaya operasional. Ini penting untuk harga diri
pemakai. Dan rasa tanggung jawab atas kenyamanan bersama. PSO untuk
menggenapkan kekurangan pembayaran penumpang ini.
Dana
CSRnya bisa digunakan untuk edukasi penumpang, terutama berkaitan dengan sikap
di kereta, atau untuk penyediaan tempat-tempat sampah. Lagipula, CSR yang
seperti ini lebih sesuai lembaga. Daripada dananya diberikan kepada pengusaha
manisan pala, misalnya. Membantu masyarakat sih, tetapi masih ada para
penumpang kereta yang lebih langsung hubungannya dengan perusahaan.
Ya,
saya yakin, memaksa agar KRL Ekonomi tetap ada, akan menjadi amal jariah jangka
panjang. Saya belum mampu menyelesaikan semua persoalan. Tetapi, setidaknya,
saya tidak menambah masalah lagi bagi bangsa ini.
Jika
keputusan menghentikan operasional KRL Ekonomi diambil para petinggi PT KAI
karena mereka tidak bisa berempati pada yang lemah, maka saya bisa
membatalkannya dengan 2 alasan. Saya menteri BUMN, saya punya kewenangan
melakukan yang terbaik. Dan, saya pernah menjadi rakyat yang di bawah. Tak sekedar
empati yang saya punya, tetapi saya tahu bagaimana rasanya ada di sana.
Ini
saatnya saya membuktikan, tak salah mereka mengagumi saya.