Manajemen waktu. Ini introspeksi utama saya hari ini.
Hari ulang tahun. Seharusnya menjadi puncak
kebahagiaan saya jika rencana sejak beberapa bulan lalu saya disiplini, saya
jalankan dengan disiplin. Okelah itu lewat, ternyata tetap ada masalah lain. Deadline tulisan. Draft yang sudah saya tulis tapi belum tuntas itu akhirnya saya
tinggalkan untuk menulis ini. Ulang tahun dikejar deadline emang enak…
Rencana menuntaskan draft pagi ini buyar karena ada banyak teman yang menurut saya
lebih pantas saya hargai daripada target pribadi. Alhamdulillah dari pagi
sahabat dan kerabat seperti berlomba ingin menyenangkan saya, mendoakan saya
dengan berbagai doa indah. Doa-doa mereka menguatkan saya untuk lebih keras
lagi berusaha memperbaiki diri.
Mengingat tema tulisan minggu ini tentang Arti Nama pada
hari ulang tahun, saya merasa terarahkan pada beban makna nama yang saya
sandang. Annis Diniati Raksanagara. Jika melihat ejaan, nama saya sering
dijadikan candaan. Diniati. Dengan niat. Bukan by accident, hehe. Sesungguhnyalah, pemilihan nama itu berdasar Bahasa
Arab. Dinniyah. Beragama. Annis-nya dari An Nisa, perempuan. Perempuan beragama.
Mmm… berat. Tentu itu diberikan dengan niat baik. Tapi semakin saya banyak
belajar, semakin paham tak mudahnya mewujudkan itu semua.
Mengapa ejaan nama saya tingak ngarab? Katanya, karena ingin lebih nasionalis. Tidak terlalu
kearab-araban. Tampaknya, ini ngaruh
juga dalam sikap saya. Saya berusaha menjalankan nilai-nilai agama Islam saja. Sampai
saat ini, saya belum siap untuk terlalu masuk pada hal yang menurut saya sudah
berbau Arab. Ini debatable… tapi ini
tulisan saya, sikap saya, bukan ngajak debat, hehe.
Terkait hal ini, jadi ingat beberapa tahun lalu. Saya masih
sangat ingin menjadi Doktor walau sudah tidak menjadi dosen lagi. Peluang pertama
dulu di Bandung saya tinggalkan. Saya balik ke Bogor. Sekolah dan pekerjaan
saya lepas dengan alasan anak. Jadi, kalau sekarang mau sekolah lagi ya tetap
harus dengan pertimbangan itu. Kampus terdekat yang bisa dijangkau dalam 15
sampai 30 menit saja adalah sebuah Universitas Islam. Mereka menerima calon
mahasiswa dari berbagai latar belakang. Program doktornya adalah mendalami
ajaran-ajaran Islam sesuai dengan latar belakang mahasiswa. Pas nih… Dalam
bayangan saya, saya bisa mengeksplorasi kaidah-kaidah Matematika dalam konteks
Islami. Kemudian saya mendapat penjelasan bahwa gelar yang akan didapat adalah
Doktor Agama Islam. Oh tidak…. Serem amat judulnya. Saya tidak, maksudnya
belum, berencana mendalami agama sedemikian sehingga saya menyandang gelar
seberat itu. Gelarnya bermakna dalem
banget. Saya pun mundur teratur. Tidak
disini. Saya cari tempat lain, waktu lain, saja.
Nama baik saya dijaga juga oleh kakek. Jadi ceritanya,
saat saya lahir, karena bulan Maret, nenek saya langsung mengusulkan nama
Martini. Annis Martini. Simpel dan manis sih. Tapi kakek saya protes. Itu nama
minuman keras, katanya. Nenek pun ngalah.
Kakek dari ibu lain lagi. Beliau tidak memberi nama. Tapi
mendoakan, nanti kamu belajar ke Al Azhar. Aamiin. Tentu, maksudnya saat itu
adalah agar saya kelak sekolah agama ke Universitas Al Azhar Kairo. Apa daya nyangkutnya di Al Azhar lokal, masjid dekat
rumah di Bandung. Di situlah saya cukup banyak bergaul dan bersama-sama menjadi
panitia Ramadhan dengan teman-teman, di masa kuliah.
Nama ketiga adalah nama bawaan dari ayah. Karena tercantum
di Akte kelahiran, jadi saya bawa-bawa terus di ijazah maupun KTP. Menyandang nama
keluarga itu membawa kebanggaan tapi juga beban tersendiri. Apa yang kita
lakukan, tak hanya melekat pada diri kita, tapi juga akan disandingkan pada
saudara-saudara kita. Nama ini menjadi dorongan untuk selalu berbuat baik dan
terbaik pada setiap saat. Tapi nama ini membebani. Ada masa kita butuh berkembang
sebagai diri sendiri. Selain itu, nama panjang merepotkan saat melingkari kolom
nama di lembar ujian, hehe.
Mungkin karena itu, saya sejak gadis hanya ingin memberi
nama anak dua kata saja. Itu pun kata sederhana. Toh nama ayahnya akan melekat
otomatis di bin atau binti dari anak kita. Tidak perlu rancu,
pleonasme. Selain mudah diucapkan, mudah juga saat dia ujian.
Mencari nama yang mudah diucap, baik di makna, dan ringan
dieja, tidak mudah. Apalagi, juga, harus diperhatikan peran nama anak bagi masa
depan keluarga. Nama yang memenuhi tiga kriteria pertama, gugur pada tahap awal
karena saya dan suami sama-sama punya masa lalu. Demi keamanan keluarga di masa
depan, sejak awal nikah kami bersepakat, anak laki-laki dinamai ayah, anak
perempuan dinamai ibu. You know what I
mean lah. Hehe.
Jadinya, saya sibuk mencari nama anak perempuan. Dapat.
Sejak awal, saya naksir nama Amira. Sederhana, mudah dieja, bermakna bagus,
tapi unik. Tak ada yang pakai. Hari berganti hari, nama sudah ada tapi hamilnya
tidak. Hari berganti bulan. Bulan menjadi tahun. 6 tahun dari ijab kabul, barulah
bayi merahku lahir. Perempuan. Alhamdulillah. Nama Amira pun terpakai indah.
Saya sangat suka. Bagi saya, anak sebaiknya dipanggil
dengan nama aslinya. Jadi doa kita atas nama itu terus menerus terjaga. Makanya,
sejak bayi saya sangat menekankan pemanggilan nama Amira secara lengkap dan
benar. Varian Amia, Mia, Ami, Rara, Iya… apapun, baik berupa panggilan atau
usulan dari keluarga, selalu saya koreksi. Namanya Amira. Titik. Bahwa dia
belum bisa mengucap namanya dengan benar, gak
masalah. Bukankah sebagai orang dewasa kita sudah bisa mengucapkan nama Amira
dengan benar secara mudah?
Amira nama yang unik dan cantik. Senang saja
mengucapkannya. Nama mudah yang jarang dipakai. Sampai tiba masa Amira harus
sekolah. Saya masukkan ke sebuah TK. Ada mobil jemputannya. Hari pertama
sekolah. Membaca daftar nama pengguna mobil itu. Dari sekitar 9-11 siswa, ada 3
nama Amira. Yaaah… tak seunik 6 tahun lalu, rupanya. Tak apa, bagi saya, Amira
yang ini yang terunik, tercantik, terbaik. Ya iyalah, saya ibunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar