Bismillahirrahmaanirrahim
Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah
Irji’ii ilaa robbiki roodhiatammardiyyah
Fadkhulii fii ‘ibaadii
Wadkhulii jannatii
Wahai jiwa yang tenang
Kembalilah kepada Tuhanmu
dengan hati yang ridho dan diridhoi-Nya
Maka masuklah ke dalam golongan
hamba-hamba-Ku
Dan masuklah ke dalam surga-Ku
(QS Al Fajr 27-30)
Sekitar tahun 80-an akhir, ayat
ini pernah beken. Adalah Emha Ainun Najib yang membacakannya sebagai bagian
akhir puisi panjang. Intonasi mumpuni, membuat getar diri, menguatkan arti. Emha
membacakannya dalam sebuah panggung. Saya hanya mendengar kaset rekamannya.
Sebagai gambaran, saat itu
komunikasi tak secanggih sekarang. Tape recorder menjadi andalan. Ponsel,
boro-boro. Telepon rumah tak banyak. Jadi, bisa mendengarkan rekaman kasetnya
saja sudah sangat menyenangkan.
Emha dengan penuh penekanan
suara membakar semangat berislam anak muda. Termasuk saya. Menjadi mahasiswa di
Bandung, terlibat dalam geliat Mesjid Salman, dan berani hijrah penampilan adalah bentuk syukur
atas sebuah niscaya, pemuda (pemudi) yang rajin mengaji ilmu agama, kelak surga
akan suka cita menerima.
Ayat ini, menghidupkan rindu. Akan
cara menghadapi maut.
Jiwa yang tenang... hati yang ridho... dan Ridho Ilahi
atas semua yang terpatri, jejak kita di bumi.
Ayat ini, membangkitkan nyali. Tantangan
bukan penghalang, karena kita di dalam barisan yang dijanjikan antrian pasti, alamat
kebenaran-Nya.
Ayat ini, memberi prediksi. Gelora
muda yang berapi-api pada saatnya akan berganti menjadi kedamaian hakiki, siap
kembali kepada Ilahi.
Saat itu, semangat membuncah,
percaya, diri sudah berada pada jalur yang benar. Tinggal melanjutkan.
Hari bergulir. Waktu bergerak. Sangat
mulus.
Sampai tak terasa, diri sudah
di ambang pintu.
Raga berteriak memberi tahu. Uban,
maju satu demi satu.
Diri tak terima. Tak mungkin
sudah sampai di situ.
Diri mencari-cari kartu antri. Jiwa
yang tenang itu. Hati yang ridho itu. Tak ketemu.
Tertohok. Termenung. Terkejut.
Panik.
Kapan jalan mulai tak lurus,
sehingga langkahku tak fokus?
Bagaimana semangat menggebu
layu bagai angin lalu?
Malam ini, malam tahun baru.
Berharap. Sangat. Menemukan lagi
kunci.
Untuk kembali, ke antrian
jiwa-yang-tenang-hati-yang-ridho-dan-diridhoiNya.
Gema Chairil Anwar pun berkumandang,
Tuhan,
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tak bisa berpaling
Tidak ada komentar:
Posting Komentar