Forgiveness
is a form of letting go,
but
they are not the same thing.
Kalimat ini dijadikan judul bab terakhir oleh Gordon
Livingston, M.D., seorang psikiater, dalam bukunya Too Soon Old, Too Late Smart. Katanya, Forgiveness adalah satu dari 30 kebenaran yang harus kita ketahui sekarang, agar kita bisa segera menyiapkan masa depan.
Sejak kemarin
sore, berulang-ulang saya baca bab ini. Antara menyesal dan penasaran.
Menyesal, karena sebetulnya sudah lama saya meminjam buku saku yang tampak
simpel ini dari mbak Iriana. Kemarin suami mengajak mampir ke rumah mbak Iriana
seusai dia mengajar. Buku ini saya bawa untuk dikembalikan, walau belum sempat
dibaca. Selama menunggu suami mengajar, saya menyalin judul-judul bab agar tahu
gambaran isi buku. Tiba di bab terakhir, saya terperangah. Forgiveness! Ini tema yang harus saya tuliskan untuk
#1minggu1cerita.
Sebuah naskah sedang saya siapkan untuk diunggah ke blog
sebelum Minggu malam. Tetapi, magnet Gordon menarik saya. Saya harus paham
sudut pandangnya, untuk menguatkan tulisan saya. Penasaran. Pengulangan membaca
saya lakukan untuk mengerti apa yang dia tulis, baru kemudian memahami makna
yang dia paparkan. Dan… inilah akhirnya,
saya malah menyimpan kisah-setengah-jadi saya, kemudian membuat file baru untuk menuliskan
pandangan Gordon.
Hidup dapat kita lihat sebagai deretan proses
melepaskan sesuatu secara berulang-ulang, sampai pada akhirnya kita bisa
membiarkan hal itu pergi sepenuhnya dari diri. Mengapa sangat sulit bagi
kita untuk terbebas dari masa lalu? Karena, kenangan-kenangan kita, baik atau
buruk, telah memberi kita rasa berkesinambungan dan keterkaitan dengan banyak
orang yang pernah berada sesaat dalam diri kita. Padahal diri ini selalu
berubah dari waktu ke waktu.
Kumpulan dari kebiasaan dan cara merespon sesuatu,
yang menjadi pembentuk tampilan unik dari setiap individu, telah menghidupkan
ruang dugaan respon. Hal ini penting bagi penilaian diri kita sendiri, maupun
bagi orang lain yang ingin tahu tentang kita. Mengingat tindakan-tindakan di masa
lalu juga dapat diibaratkan sebagai sejumlah jangkar. Dia menjanjikan
kestabilan, walau seringkali pada saat yang sama menjadi penghalang kemampuan
adaptasi terhadap situasi baru.
Hanya sebagian kecil dari kita yang memiliki masa
kecil sempurna. Sangat mudah bagi kita saat mengungkapkan jati diri bahwa
trauma pada masa lalulah alasan mengapa hidup kita hari ini tidak seperti yang
kita inginkan. Masalah dari orang yang hidup di masa lalu adalah bahwa dia
terhalang untuk melakukan perubahan, ada kepesimisan tersebar juga di dalamnya.
Adalah benar, bahwa untuk memahami siapa
diri kita tergantung pada bagaimana kita memandang sejarah dari hidup kita
sendiri. Ini menjadi alasan mengapa terapi-terapi psikis yang berhasil selalu ada unsur penceritaan masa lalu. Di antara melupakan dan terjebak di masa lalu,
ada sebuah ruang yang bisa kita pelajari. Tentu saja termasuk kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan.
Integrasikan semua ini ke dalam rencana masa depan kita. Hal ini memaksa kita
melalui satu tahap yang mau tak mau harus dilalui, forgiveness, proses memaafkan. Yaitu,
upaya ikhlas menerima ketidaknyamanan pada sejarah hidup.
Pada umumya orang berbeda memahaminya, antara
melupakan atau berdamai. Kemampuan memaafkan bukan salah satu dari dua hal ini.
Forgiveness bukan sesuatu yang kita
lakukan untuk orang lain. Ini adalah hadiah yang kita berikan pada diri
sendiri. Forgiveness ada pada irisan
antara cinta kasih dan keadilan.
Untuk mengakui bahwa kita telah disakiti tetapi memilih terbebas dari kemarahan atau keinginan membalas
dendam, dibutuhkan kematangan emosi dan etika tingkat tinggi. Ini adalah sebuah
cara memerdekakan diri dari rasa teraniaya dan pada saat yang sama meyakinkan diri
bahwa kita mampu untuk berubah. Sangat mampu. Jika kita bisa melepaskan diri
dari anggapan bahwa semua ini berakar di masa lalu, kita
akan leluasa bersikap terhadap masa kini dan masa depan. Tentu tak
mudah. Butuh keteguhan hati dan kebulatan tekad. Dua hal ini akan mencegah gelisah dan rasa tak berdaya, penyebab
ketidakbahagiaan.
Perenungan menjadi pengantar penerimaan. Bahwa
memang ada peristiwa buruk dan menerimanya sebagai bagian dari sejarah hidup. Cara kita mengolah rasa dan memaknai kisah masa
lalu akan menentukan bagaimana kita menghadapi masa depan. Ini tantangan. Dan, memberi harapan.
Di sekitar kita, ada berbagai cara orang menjaga harapan.
Banyak yang memilih basis religi. Bahwa, kita hidup dalam bimbingan Tuhan, dan dijanjikan kehidupan abadi yang sangat nyaman kelak. Sehingga, selalu dapat menjawab pertanyaan, “Mengapa ini terjadi pada saya?” Religiusitas juga memberi jalan untuk berdamai dengan ketidakpastian dan bahwa segala yang terjadi pada kita ada maksud dan tujuannya. Hal ini mengurangi beban untuk menjawab alasan atas terjadinya sesuatu. Karena, bukankah semua yang dari Tuhan tak bisa kita elakkan?
Bagi kelompok lain yang tidak bisa atau tidak mau
melepaskan pandangan skeptis tentang jawaban sederhana bagi pertanyaan kompleks,
dipersilakan memikirkan hidup dengan ketidakpastian.
Beberapa wujud dari kemampuan memaafkan adalah
berakhirnya kegelisahan atau kesedihan. Gordon menceritakan pengalamannya
kehilangan anak. Putranya wafat di usia 6 tahun saat menjalani transplantasi
sumsum tulang belakang dengan sang ayah sebagai pendonor. Rasa yang pertama-tama muncul
adalah tidak menerima kenyataan. Ini menjadi pengalaman
memaafkan yang sulit. Memaafkan dokter yang memberi usulan tindakan, dan kepada
diri sendiri yang donor sumsumnya menyebabkan kematian.
Setiap diri terbebani oleh kenangan tentang terlukai,
penolakan, atau ketidakadilan. Kadang-kadang kita memelihara rasa sakit ini dengan
keyakinan penuh bahwa orang atau pihak lain yang menjadi penyebabnya.
Jika setiap ketidakberuntungan dapat dibebankan
kesalahannya pada orang lain, kita akan terbebas dari kesulitan menilai
kontribusi kita terhadap kesulitan itu, atau sekedar menerima kenyataan bahwa
hidup memang penuh luka. Dengan menempatkan pihak luar sebagai penanggungjawab
masalah kita, kita kehilangan kesempatan memiliki pengetahuan memperbaiki diri.
Kita menjadi tidak paham bahwa apa yang terjadi pada diri ini sebenarnya sangat
terkait dengan sikap yang kita lakukan saat merespon sesuatu.
Kelalaian, penghinaan, kemarahan, dan mimpi yang tak
tercapai adalah bagian dari setiap manusia. Situasi ini sangat mendukung kita
untuk mengeluh dan mengingat-ingat peristiwanya terus. Jika menyalahkan pihak lain sebagai penyebab luka masa lalu,
kita akan terasing dari pertanyaan mendasar tentang apa yang perlu dilakukan
kita saat ini untuk memperbaiki hidup kita.
Pada banyak orang, masa lalu menjadi semacam hiburan
yang tak pernah berakhir. Jika ada luka, filmnya akan terus dia putar untuk
mengingatkan dirinya atas luka itu, lagi dan lagi. Termasuk di dalamnya semua
penjelasan, kesengsaraan, dan dramatisasi yang menjadikan kita seperti hari
ini. Andai orang lain yang terlibat dalam peristiwa itu menceritakan versi yang
berbeda sekalipun, pandangan kita tetap tak akan berubah. Kita tidak bisa
mengubah apa-apa yang kita anggap dulu tidak begitu. Tapi, apa gunanya memelihara rasa sakit hati dan tidak bahagia?
Menyikapi masa lalu, tak bisa mengelak dari proses
memaafkan, melepaskan. Secara berkesinambungan, ini adalah aksi dari keinginan dan
kepasrahan. Dan, semua tampak mustahil sampai kita telah melakukannya
sendiri.
*Yang saya sajikan adalah pemikiran sang penulis buku tentang Forgiveness. Tentu tak lepas dari latar belakangnya.
Menyikapi masa lalu, tak bisa mengelak dari proses memaafkan, melepaskan. Secara berkesinambungan, ini adalah aksi dari keinginan dan kepasrahan. ---> suka banget sama kalimat ini, hehehe
BalasHapusMemaafkan, memang tidak dapat mengubah masa lalu, tapi memaafkan dapat membukakan pintu bagi masa depan yang lebih baik.
Suka banget sama tulisan dari bukunya Teh..jleb banget..
BalasHapus-Tatat