Selasa, 24 Juli 2012

R1433H : Hikmah dari hari ke-4


Sesaat sebelum pergi ke sekolah, saya tanya Amira, ingin apa untuk buka puasa. “Bandeng presto.” Sayurannya? “Brokoli atau kangkung.” Mudah, saya bisa belanja siang nanti.
Pagi ini saya akan menyeleksi buku dulu. Sahabat saya, Elia Rahmi dan Sofie Naufal, akan mengunjungi perpustakaan binaannya di desa Munjul, Ciampea. Saya ingin sedikit mengurangi beban lemari buku, mereka perlu tambahan bacaan. Pas. Simbiosis mutualisma. Saling menguntungkan.
Sekitar pukul 9 pagi mereka datang. Kami duduk-duduk dulu, mengobrol. Di meja makan. Masih tersaji sisa-sisa sahur, bandeng presto oleh-oleh dari sahabat saya yang lain, Herru. Terucaplah permohonan Amira tadi pagi. Tanpa diduga, Sofie langsung menuju mobilnya, dan mengeluarkan beberapa bandeng presto. Rupanya dia baru membeli sesaat sebelum ke rumah saya. “Silakan saja untuk Amira. Saya tadi beli banyak,” katanya. Alhamdulillah... tinggal mencari brokoli atau kangkung ke tukang sayur.
“Ikut saja yuk ke Munjul... tidak lama kok,” rayu Elia dan Sofie.
Setrika-eun kumaha?” kata saya sambil menatap haru hamparan lipatan pakaian yang menutupi karpet kamar, saat hendak berganti baju.
“Itu mah urusan kamu,” Elia menjawab dengan sadis J
Saya tahu siapa yang menang ketika sepuluh menit kemudian kami bertiga sudah di dalam mobil, menuju Ciampea. Di depan kompleks rumah, Mas Topik sudah menanti. Beliau yang akan mengantar sekaligus mengemudikan mobil menuju Ciampea.
Perjalanan sekitar setengah jam ini membawa saya ke ruang baru. Terlempar ke sebuah desa yang dilempar teknologi.
Di pertigaan utama Ciampea, kami ke kanan, arah ke situs purbakala Ciaruteun. Sekian ratus tahun lalu, Pangeran Mulawarwan melarikan diri dari kerajaan Tarumanagara di Kalimantan, dan bersemedi di desa Ciaruteun ini. Beliau menunggang gajah. Baik Mulawarman, maupun si gajah, ukurannya benar-benar jumbo. Tampak dari jejak telapak keduanya. Jika jejak telapaknya saja sebesar itu, bagaimana pula besarnya si gajah. Begitu pula dengan jejak Mulawarman, ukuran sepatu nomor 45, mungkin.
Sesaat sebelum lokasi situs tersebut, Mas Topik belok kanan agak menanjak, dan berhenti. Saya sempat bertanya-tanya dalam hati. Mobil diputar sehingga sekarang kepalanya yang menghadap jalan. “Salah jalankah?” tanya saya polos.
“Tidak. Ini memang tujuan kita.”
Saya bingung. Untuk apa putar balik? Kalau ini tujuan, dimana perpustakaannya? Karena di sekitar hanya ada sawah membentang. Di seberang jalan, hanya ada semacam tembok beton miring sekitar 45 derajat. Mau kemana kita? (jadi teringat Dora).
Rupanya, tembok itu yang akan kami lalui. Putar balik di seberangnya berfungsi sebagai ancang-ancang. Tembok beton miring adalah jalan penghubung ke desa tujuan. Lebar paspasan. Posisi berbelok tajam jika dari arah semula. Jujur, saya degdegan...
Berhasil melewati tanjakan beton, urusan belum selesai. Jalan berikutnya berbatu, dan hanya selebar mobil. Ada 2 jembatan yang harus dilalui. Sama sempitnya, dan tidak berpagar. Kiri kanan curam. Bahkan salah satu jembatan posisinya persis di tikungan. Salah berhitung sedikit, terjungkal kemudian. Berbagai doa dilantunkan, bukan karena peningkatan ibadah Ramadhan, melainkan sekedar upaya penyelamatan batin, menjaga agar lutut tidak enyur-enyuran.
Jika berpapasan dengan sepeda motor, salah satu dari kami harus berhenti dulu, mempersilakan yang lain lewat. Tak terbayang jika berpapasan dengan mobil lain, kemana kami harus menyingkir?
Sampailah kami di satu titik. Kami menurunkan buku-buku. Dari sini, kami berjalan kaki untuk sampai ke tujuan. Sekitar 200 meter. Jalan setapak. Ada yang semen, berbatu, atau masih tanah. Di kiri kanan jalan, pepohonan kecil yang ditanam acak, dan ada pula bagian becek, air menggenang bercampur sampah. Sangat alamiah J .
Aroma alam berganti dengan aroma lain. Kambing. Saya sudah hampir menutup hidung saat melihat kandang kambing di depan karena baunya semakin menyengat. Tidak jadi. Karena ternyata... perpustakaan tujuan kami ada tepat di depan kandang kambing ini. Akan sangat tidak sopan jika sepanjang kunjungan ke sana saya menutup hidung. Perlahan-lahan saya mencoba berdamai dengan kenyataan. Tak mudah, tapi sangat mungkin membayangkan aroma melati di setiap tarikan napas J .
Yang luar biasa... di tengah kondisi “masa lalu” yang saya temui, saat mengintip ponsel saya terkejut karena ternyata disitu sinyal sangat kuat. Saya membayangkan, bagaimana suatu masyarakat yang masih harus dikenalkan dengan budaya membaca, sudah terlingkupi oleh budaya seluler yang makin menggurita. Sempat terpikir bagaimana gegar budaya yang terjadi. Semoga itu hanya pikiran liar saya saja, karena hal-hal lain yang saya temui menunjukkan nilai-nilai kemasyarakatan yang menakjubkan. Sangat Indonesia!
Belakangan saya baru tahu, bangunan panggung beratap dan separuhnya berdinding ini dibangun di tanah Ketua RT, satu-satunya yang masih punya lahan agak luas. Saya mulai salut. Bangunan hasil gabungan dana dari sebuah yayasan dan tabungan masyarakat ini tiang utamanya dari batang pohon. Ya, batang pohon. Masih berkulit. Hanya dibuang ranting, daun, dan akar. Ditanam pada  fondasi semen. Dihubungkan dengan kayu. Alasnya dari bambu, dan atap asbes.
Bangunan seluas 5 x 10 meter persegi ini baru sebulan berdiri. Ada beberapa buku dan sebuah televisi. Rupanya, masyarakat memang sudah sangat membutuhkan bangunan sejenis. Sejak kehadirannya, setiap malam para bapak melepas lelah,  ngobrol, ngopi di sana. Anak-anak membaca, bermain, atau menonton TV. Aroma di seberang bangunan sama sekali tidak mengganggu karena itu bagian dari keseharian mereka, selain bertanam sayur mayur.
Mendengar kisah dari Elia, saya semakin salut. Bangunan-bangunan tembok beratap genteng sepanjang yang saya lewati tadi belum lama berdiri. Baru sekitar 10 tahun terakhir. Sebelumnya, rumah bilik beratap rumbia. Apakah mereka mempunyai pekerjaan baru?
Ternyata tidak. Mereka dari dulu petani sayuran. Dan itu masih berlangsung sampai hari ini. Yang membedakan, ada semacam kesadaran, yang dikembangkan bersama yayasan Pramu, untuk menabung.
Mereka petani pekerja keras. Mereka nyaman dengan yang mereka lakukan, dan mereka puas dengan hasil yang didapatkan. Bahwa rumahnya beralas tanah, ya tidak apa-apa, itu kondisi realnya kok. Bahwa anak-anak hanya sekolah sampai SD, ya tidak masalah, segitu kesanggupannya kok.
Yayasan Pramu yang salah satu ponggawanya adalah Mas Topik, mengenalkan program menabung. Setiap rumah diberi celengan terkunci, kuncinya dibawa petugas yayasan. Mereka diminta menabung semampunya setiap hari. Rp 1000 – Rp 2.000. Setelah waktu tertentu, petugas Pramu datang membawa kunci. Membuka celengan bersama-sama dengan pemiliknya. Para pemilik celengan ini terkejut meliha jumlah uang yang ada di dalam celengan. Tak menyangka bahwa mereka bisa punya uang menganggur sebanyak itu. Para petani semakin semangat menabung.
Pendidikan yang diberikan bertahap, turut membantu rakyat berkembang. Mulai berpikir tentang kesehatan dan kebersihan, mereka pun menjadikan uang tabungan sebagai jalan perbaikan kehidupan. Memperbaiki rumah, membuat kamar mandi, dll. Untuk menambah pemasukan, mereka mulai beternak kambing dan sapi, dan apa pun yang bisa diusahakan untuk menjadi uang secara halal. Anak-anak pun mulai bersekolah lebih tinggi, tidak sekedar SD.
Keberadaan perpustakaan yang masih sangat sederhana ini pun, mulai tampak membantu. Anak-anak senang berkumpul disitu untuk bermain atau membaca.
Sungguh, saya takjub dengan capaian-capaian penduduk desa ini dalam dasawarsa terakhir.
Menjelang adzan dzuhur, kami pulang. Pak Engkus, sang Ketua RT, menemani kami menuju mobil dengan membawa dua kantong besar. Ternyata, kangkung dan bayam! Untuk kami bawa pulang, katanya.
Tiba-tiba saya teringat Amira. Luar biasa... Allah mendengar keinginannya. Bandeng presto dan kangkung, diantarkan-Nya ke rumah kami tanpa harus membeli....

1 komentar: