Sesaat sebelum pergi ke sekolah, saya tanya Amira, ingin
apa untuk buka puasa. “Bandeng presto.” Sayurannya? “Brokoli atau kangkung.”
Mudah, saya bisa belanja siang nanti.
Pagi ini saya akan menyeleksi buku dulu. Sahabat saya,
Elia Rahmi dan Sofie Naufal, akan mengunjungi perpustakaan binaannya di desa
Munjul, Ciampea. Saya ingin sedikit mengurangi beban lemari buku, mereka perlu
tambahan bacaan. Pas. Simbiosis mutualisma. Saling menguntungkan.
Sekitar pukul 9 pagi mereka datang. Kami duduk-duduk
dulu, mengobrol. Di meja makan. Masih tersaji sisa-sisa sahur, bandeng presto
oleh-oleh dari sahabat saya yang lain, Herru. Terucaplah permohonan Amira tadi
pagi. Tanpa diduga, Sofie langsung menuju mobilnya, dan mengeluarkan beberapa
bandeng presto. Rupanya dia baru membeli sesaat sebelum ke rumah saya. “Silakan
saja untuk Amira. Saya tadi beli banyak,” katanya. Alhamdulillah... tinggal
mencari brokoli atau kangkung ke tukang sayur.
“Ikut saja yuk ke Munjul... tidak lama kok,” rayu Elia
dan Sofie.
“Setrika-eun kumaha?”
kata saya sambil menatap haru hamparan lipatan pakaian yang menutupi karpet
kamar, saat hendak berganti baju.
“Itu mah urusan kamu,” Elia menjawab dengan sadis J
Saya tahu siapa yang menang ketika sepuluh menit kemudian
kami bertiga sudah di dalam mobil, menuju Ciampea. Di depan kompleks rumah, Mas
Topik sudah menanti. Beliau yang akan mengantar sekaligus mengemudikan mobil
menuju Ciampea.
Perjalanan sekitar setengah jam ini membawa saya ke ruang
baru. Terlempar ke sebuah desa yang dilempar teknologi.
Di pertigaan utama Ciampea, kami ke kanan, arah ke situs
purbakala Ciaruteun. Sekian ratus tahun lalu, Pangeran Mulawarwan melarikan
diri dari kerajaan Tarumanagara di Kalimantan, dan bersemedi di desa Ciaruteun
ini. Beliau menunggang gajah. Baik Mulawarman, maupun si gajah, ukurannya
benar-benar jumbo. Tampak dari jejak telapak keduanya. Jika jejak telapaknya
saja sebesar itu, bagaimana pula besarnya si gajah. Begitu pula dengan jejak
Mulawarman, ukuran sepatu nomor 45, mungkin.
Sesaat sebelum lokasi situs tersebut, Mas Topik belok
kanan agak menanjak, dan berhenti. Saya sempat bertanya-tanya dalam hati. Mobil
diputar sehingga sekarang kepalanya yang menghadap jalan. “Salah jalankah?”
tanya saya polos.
“Tidak. Ini memang tujuan kita.”
Saya bingung. Untuk apa putar balik? Kalau ini tujuan,
dimana perpustakaannya? Karena di sekitar hanya ada sawah membentang. Di
seberang jalan, hanya ada semacam tembok beton miring sekitar 45 derajat. Mau
kemana kita? (jadi teringat Dora).
Rupanya, tembok itu yang akan kami lalui. Putar balik di
seberangnya berfungsi sebagai ancang-ancang. Tembok beton miring adalah jalan
penghubung ke desa tujuan. Lebar paspasan. Posisi berbelok tajam jika dari arah
semula. Jujur, saya degdegan...
Berhasil melewati tanjakan beton, urusan belum selesai.
Jalan berikutnya berbatu, dan hanya selebar mobil. Ada 2 jembatan yang harus
dilalui. Sama sempitnya, dan tidak berpagar. Kiri kanan curam. Bahkan salah
satu jembatan posisinya persis di tikungan. Salah berhitung sedikit, terjungkal
kemudian. Berbagai doa dilantunkan, bukan karena peningkatan ibadah Ramadhan, melainkan
sekedar upaya penyelamatan batin, menjaga agar lutut tidak enyur-enyuran.
Jika berpapasan dengan sepeda motor, salah satu dari kami
harus berhenti dulu, mempersilakan yang lain lewat. Tak terbayang jika
berpapasan dengan mobil lain, kemana kami harus menyingkir?
Sampailah kami di satu titik. Kami menurunkan buku-buku. Dari
sini, kami berjalan kaki untuk sampai ke tujuan. Sekitar 200 meter. Jalan setapak.
Ada yang semen, berbatu, atau masih tanah. Di kiri kanan jalan, pepohonan kecil
yang ditanam acak, dan ada pula bagian becek, air menggenang bercampur sampah. Sangat
alamiah J .
Aroma alam berganti dengan aroma lain. Kambing. Saya sudah
hampir menutup hidung saat melihat kandang kambing di depan karena baunya
semakin menyengat. Tidak jadi. Karena ternyata... perpustakaan tujuan kami ada
tepat di depan kandang kambing ini. Akan sangat tidak sopan jika sepanjang
kunjungan ke sana saya menutup hidung. Perlahan-lahan saya mencoba berdamai
dengan kenyataan. Tak mudah, tapi sangat mungkin membayangkan aroma melati di
setiap tarikan napas J .
Yang luar biasa... di tengah kondisi “masa lalu” yang
saya temui, saat mengintip ponsel saya terkejut karena ternyata disitu sinyal
sangat kuat. Saya membayangkan, bagaimana suatu masyarakat yang masih harus
dikenalkan dengan budaya membaca, sudah terlingkupi oleh budaya seluler yang
makin menggurita. Sempat terpikir bagaimana gegar budaya yang terjadi. Semoga itu
hanya pikiran liar saya saja, karena hal-hal lain yang saya temui menunjukkan
nilai-nilai kemasyarakatan yang menakjubkan. Sangat Indonesia!
Belakangan saya baru tahu, bangunan panggung beratap dan
separuhnya berdinding ini dibangun di tanah Ketua RT, satu-satunya yang masih
punya lahan agak luas. Saya mulai salut. Bangunan hasil gabungan dana dari
sebuah yayasan dan tabungan masyarakat ini tiang utamanya dari batang pohon. Ya,
batang pohon. Masih berkulit. Hanya dibuang ranting, daun, dan akar. Ditanam pada
fondasi semen. Dihubungkan dengan kayu.
Alasnya dari bambu, dan atap asbes.
Bangunan seluas 5 x 10 meter persegi ini baru sebulan
berdiri. Ada beberapa buku dan sebuah televisi. Rupanya, masyarakat memang
sudah sangat membutuhkan bangunan sejenis. Sejak kehadirannya, setiap malam
para bapak melepas lelah, ngobrol, ngopi di sana. Anak-anak membaca, bermain, atau menonton TV. Aroma di
seberang bangunan sama sekali tidak mengganggu karena itu bagian dari
keseharian mereka, selain bertanam sayur mayur.
Mendengar kisah dari Elia, saya semakin salut. Bangunan-bangunan
tembok beratap genteng sepanjang yang saya lewati tadi belum lama berdiri. Baru
sekitar 10 tahun terakhir. Sebelumnya, rumah bilik beratap rumbia. Apakah mereka
mempunyai pekerjaan baru?
Ternyata tidak. Mereka dari dulu petani sayuran. Dan itu
masih berlangsung sampai hari ini. Yang membedakan, ada semacam kesadaran, yang
dikembangkan bersama yayasan Pramu, untuk menabung.
Mereka petani pekerja keras. Mereka nyaman dengan yang
mereka lakukan, dan mereka puas dengan hasil yang didapatkan. Bahwa rumahnya
beralas tanah, ya tidak apa-apa, itu kondisi realnya kok. Bahwa anak-anak hanya sekolah sampai SD, ya tidak masalah,
segitu kesanggupannya kok.
Yayasan Pramu yang salah satu ponggawanya adalah Mas
Topik, mengenalkan program menabung. Setiap rumah diberi celengan terkunci,
kuncinya dibawa petugas yayasan. Mereka diminta menabung semampunya setiap
hari. Rp 1000 – Rp 2.000. Setelah waktu tertentu, petugas Pramu datang membawa
kunci. Membuka celengan bersama-sama dengan pemiliknya. Para pemilik celengan
ini terkejut meliha jumlah uang yang ada di dalam celengan. Tak menyangka bahwa
mereka bisa punya uang menganggur sebanyak itu. Para petani semakin semangat
menabung.
Pendidikan yang diberikan bertahap, turut membantu rakyat
berkembang. Mulai berpikir tentang kesehatan dan kebersihan, mereka pun
menjadikan uang tabungan sebagai jalan perbaikan kehidupan. Memperbaiki rumah,
membuat kamar mandi, dll. Untuk menambah pemasukan, mereka mulai beternak
kambing dan sapi, dan apa pun yang bisa diusahakan untuk menjadi uang secara
halal. Anak-anak pun mulai bersekolah lebih tinggi, tidak sekedar SD.
Keberadaan perpustakaan yang masih sangat sederhana ini
pun, mulai tampak membantu. Anak-anak senang berkumpul disitu untuk bermain
atau membaca.
Sungguh, saya takjub dengan capaian-capaian penduduk desa
ini dalam dasawarsa terakhir.
Menjelang adzan dzuhur, kami pulang. Pak Engkus, sang
Ketua RT, menemani kami menuju mobil dengan membawa dua kantong besar. Ternyata,
kangkung dan bayam! Untuk kami bawa pulang, katanya.
Tiba-tiba saya teringat Amira. Luar biasa... Allah
mendengar keinginannya. Bandeng presto dan kangkung, diantarkan-Nya ke rumah
kami tanpa harus membeli....