Tak sekedar membaca tulisan lama, tapi juga menemukan bahwa apa yang dulu ditulis itu ternyata menjadi benang merah cara kami mendidik anak dan sangat memudahkan kami di masa kini. Membudayakan kemahiran memilih nilai, itu judulnya.
Ditulis saat saya masih gadis, sebagai salah satu makalah dalam pertemuan 3 bulanan Forum Dialog Indonesia. Dibukukan satu tahun kemudian setelah saya menikah dengan salah satu penggagas forum ini. Katanya sih, dia memberi perhatian lebih setelah membaca tulisan saya itu.
Terserahlah alasan naksirnya mah, tapi tulisan saya menjadi perhatian dia mungkin karena berbeda arah dari tulisan lain. Saat itu, 1993, asli minder dengan gagasan teman-teman yang luar biasa tentang Indonesia 2020. Ekonominya mesti beginilah, pemerintahannya mesti begitulah... Saya tidak menyentuh itu.
Saya menulis tentang pendidikan dari rumah. Dasar pemikirannya, melihat perkembangan teknologi saat itu. Televisi mulai ada lebih dari satu saluran dan seharian (sebelumnya, hanya ada TVRI, itu pun hanya tayang beberapa jam sehari). Internet mulai dikenal, tapi masih jarang dan mahal, dan perangkat yang dipakai adalah desktop computer yang segede gaban. (Fyi, gaban itu nama biskuit klasik, kotak, besar, bertekstur lubang tusukan seperti pada kue marie, beraroma roombuter, dan enak. ~Gak penting, abaikan). Telepon genggam? Belum ada, atau mungkin saya saja yang belum tahu.
Dalam situasi "sesederhana" itu, saya melihat ada potensi kerepotan orang tua di masa depan dibandingkan yang dihadapi orang tua generasi sebelumnya. Dulu, cara paling umum bagi orangtua dalam menjaga informasi yang sampai kepada anaknya adalah dengan "memilihkan".
Rumah adalah tempat paling steril. TVRI tayangannya terseleksi dari sononya, dan masa tayangnya adalah jam orangtua sudah di rumah. Buku bacaan, majalah mingguan, dan koran harian yang boleh ada di rumah, bisa dipilihkan. Teman anak bisa dipantau siapa orangtuanya, dimana rumahnya. Korespondensi bisa diketahui dari alamat surat yang diantarkan pak Pos.
Begitupun, anak-anak selalu saja punya akal untuk mendapatkan yang tidak boleh, untuk mengetahui yang dilarang. Tak perlu ditulis rinci ya, takut nanti jadi ide. 😃
Berdasarkan perkembangan teknologi dan cara mendidik yang umum inilah, saat itu saya membayangkan di masa depan orangtua akan sangat repot.
Informasi tak lagi datang sepihak, bertahap dan berjenjang. Jumlahnya lebih banyak, waktunya tak berbatas, dan datangnya dari segala arah.
Ketika ada beberapa saluran televisi, dan jam tayang masing-masing seharian, misalnya. Apakah orangtua akan tetap membatasi jam menonton dan menyeleksi saluran? Memasang pengatur saluran, atau bahkan meniadakan televisi dari rumah?
Menurut saya, itu tidak bermanfaat. Saat di rumah, mungkin anak tak bisa melihat. Apakah ada yang menjamin dia tak bisa melihat juga di luar rumah? Larangan di dalam rumah, berbanding lurus dengan rasa penasaran yang akan dicari jawabannya di luar rumah. Semakin tidak boleh menikmati sesuatu, ada "sense of jahiliyah" dalam diri anak yang membuatnya lebih keras berupaya menemukan apa sih yang berbahaya itu.
Dan... Saya melihat ada satu hal mendasar yang sangat kasat mata dari cara orangtua yang seperti ini. Ketidakpercayaan. Tidak percaya bahwa sang anak bisa melakukan hal baik untuk dirinya sendiri. Ini sebuah siklus. Dia tidak percaya anaknya bisa, karena mungkin memang dari kecil dikondisikan bahwa anak adalah makhluk yang tidak bisa segala sesuatu sehingga perlu diajari segala hal. Ini itu harus diberi tahu. Baik buruk harus dijelaskan. Benar salah harus diarahkan.
Lebih dalam lagi, ini menunjukkan kurangnya penghargaan kita pada kemampuan anak. Tak ada respek kita pada mereka.
Ya ampun, masa sih urusan nonton tivi saja kok bisa dianggap tidak respek pada anak? Itu kan justru menunjukkan bahwa kita orangtua yang bertanggungjawab, berbuat sesuatu untuk menjaga anak agar tidak ketelanjuran. Dll.
Pastinya banyak yang bakal komplen saya. Gak apa-apalah. Bikin analisis sendiri saja ya. Ini kan analisis saya. Hehe.
Nah, ide yang saya tawarkan adalah, bagaimana kalau kita melangkah sebelum tahapan itu. Mengganti siasat. Bukan memilihkan, tetapi menyiapkan anak untuk bisa memilih sendiri. Bukan mempertimbangkan baik buruknya bagi anak, tapi menyiapkan agar anak terbiasa memutuskan sendiri ini baik itu buruk. Dan, ini sama sekali tidak bisa instan. Butuh waktu. Butuh telaten. Dan butuh niat kuat.
Sejak awal sekali, sejak batita. Ok, saya bahkan memulai sebelum itu. Saya memilihkan bapak calon anak saya lebih dulu. Saya gadis penuh kriteria. Saya ingin begini begitu, saya tak ingin begini begitu. Ups, kembali ke topik... fokus... fokus...
Jadi,
Sejak batita, latihan memilih ini sudah dimulai.
Pilihan teratur. Pilihan yang sudah kita atur, maksudnya. Misalnya, mau mandi sekarang atau setelah ambil bola? Mau baju yg biru atau yang kuning? Mau pisang atau alpukat? Mau dibacakan buku yang ini atau yang itu? Apapun respon dia, dua pilihan yang disajikan adalah dua hal yang kita ridho dia pilih. 😀
Pada prakteknya, ini tidak sederhana. Karena, anak adalah pembelajar yang luar biasa. Setelah satu dua kali sukses, kesempatan berikutnya seringkali dia memilih pilihan ke...tiga! Sebagai ibu, yang merasa paling maha tahu kebutuhan anak, ini bikin sedih. Tapi setelah tarik nafas panjang, biasanya justru bersyukur. Berarti anak kita sudah lebih pandai dari yang kita ajarkan. Dia memilih pilihannya sendiri. Mau mandi sama bonekalah, mau baju yang dari kakeklah, dll.
Respon kita atas setiap detil keputusan anak ini, yang -menurut saya- menentukan ke depannya. Bahwa, keputusan dia penting, bahwa dia telah mempertimbangkan segala sesuatunya demi kebaikan dia. Kok mau mandi sama boneka? Kan biar bonekanya sehat juga. Kenapa pakai baju dari kakek lagi? Dingin. Dll.
Kebiasaan begini ngefek juga. Lain kali, saat anak diminta mandi, dia akan mengajukan pertanyaan. Mengapa harus mandi? Mengapa sekarang? Boneka juga gak mandi gak jadi sakit. Dll. Kadang berbalas pantunnya lebih lama dari waktu yang dibutuhkan untuk mandi.
Saat-saat itu, sama sekali tidak ada kepastian tentang hasil apa yang akan saya tuai nanti. Apakah saya hanya buang-buang waktu melayani pertanyaan dan argumentasi anak? Saya meyakinkan diri, ini proses yang harus dilalui. Tak selalu berhasil. Kadang kalau buru-buru, ancaman khas ibu-ibu mulai keluar. Mandi sekarang atau ditinggal sendiri di rumah! Ah, ancaman hanya tahan 1-2 kali juga. Dengan wajah-lugu-tapi-tahu-mama-dalam-genggamanku, dia akan senyum-senyum jahil. Makin besar, makin jelas alasannya, karena sudah bisa mengungkapkan. Katanya, gak mungkin mama ninggalin aku, karena aku anak satu-satunya. Mmm...
Makin besar, triknya tentu makin banyak. Trik orang tua, maupun trik anak. Pelan-pelan mulai kita sebarkan batasan-batasan.
Terkait tontonan, misalnya. Seingat saya, hanya memberi batasan. Jika yang tampak dilayar "aneh-aneh", palingkan muka. Atau, jika di komputer, pindah laman.
Jadi, seiring waktu, seleksi sendiri ini menjadi refleks saja untuk dia.
Sesekali saya tanya tentang hal ini. Dari dia saya tahu, laman aneh-aneh tak perlu dicari. Membuka laman dengan nama-nama disney saja bisa muncul kok. Dan rasanya sering sekali kami berbincang yang diakhiri dengan ungkapan semacam, "alhamdulillah anakku sangat bisa dipercaya."
Mulai SMP kamarnya dilengkapi meja belajar sesuai permintaannya. Termasuk laptop juga. Dan, sejak dia gadis, saya mengajarkan untuk selalu mengunci pintu kamar. Jadi, saya sangat berbeda dengan anjuran para pakar pendidikan anak yang meminta kita sering-sering memantau apa yang dibuka anak di komputernya, melarang anak main komputer di kamar, dll.
Saya yakin, dan saya sampaikan.juga krpada anak saya, bahwa dia anak yang bisa dipercaya. Saya ibu yang beruntung, tidak perlu mengawasi anak dengan cara memantau terus menerus.
Perkembangan teknologi ternyata jauh lebih luar biasa daripada yang terbayangkan oleh saya dulu. Tak sekedar saluran tivi lebih banyak dan kemampuan internet yang macam-macam saja, ternyata. Tetapi sekarang bahkan semua hal itu ada dalam genggaman anak kita dan ikut dia kemana saja.
Dan saya bersyukur, sangat bersyukur, melatih anak memilih sejak dini. Dia terbiasa mengambil keputusan sendiri, dia terlatih memilih. Dia paham nilai-nilai, mana yang baik mana yang tidak. Dia tahu nilai esensi atas sesuatu. Kadang bikin urut dada sih. Misalnya, saat melaporkan nilai ulangan yang di bawah KKM. Aku remed, Ma, katanya. Tapi, aku jujur gak nyontek, lanjutnya. Hehe. Saya di posisi senyum-senyum saja, karena dari kalimat inti saja dia sudah tahu kok, harus meningkatkan usahanya. Bukankah lebih keren kalau jujur dan bagus nilainya? Dst.
Maaf, agak melantur kesana kemari. Ini nulis di ponsel, sangat tidak nyaman untuk ngedit. Nanti saya edit setelah pulang ke rumah, minggu depan. Sekarang sedang di luar kota.
Intinya, dengan membiasakan anak memilih sendiri hal-hal sederhana yang terkait hidupnya sejak kecil, seiring waktu latihan memilih ini meningkat pada nilai-nilai, dan lama kelamaan menjadi sebuah sistem dalam dirinya sendiri. Dia akan menyaring sendiri info mana yang perlu, yang baik, yang benar. Tapi dia sama sekali tidak diisolasi dari yang salah. Tidak perlu dijauhkan dari yang tidak benar. Dia bisa membedakan sendiri, dia bisa merasakan sendiri.
Hasil akhirnya, anak merasa dipercaya, dan karenanya akan berusaha untuk menunjukkan kepercayaan itu tidak sia-sia. Anak senang karena orangtuanya tidak "rese" sebentar-sebentar menelepon, sedikit-sedikit bertanya, bahkan mengintip ponsel maupun laptopnya. Dan, ketika dalam pergaulan dia menemukan teman yang dibegitukan orangtuanya, dia sangat merasa bersyukur tidak mengalami hal yang sama.
Jika, apa yang menjadi dasar ide saya ini bisa kita jadikan langkah bersama para orang tua, alangkah serunya masa depan bangsa ini. Anak-anak tumbuh dalam pendidikan rumah yang berlandaskan sikap respek pada kapasitasmya sebagai manusia.