Bulan
Desember 2013 bioskop dibanjiri film bagus. Saya yang jarang menonton pun,
dalam beberapa minggu ini berkali-kali ke studio XXI. Setiap kali selalu
mengajak anak gadis saya. Tak selalu dia ikhlas saat diajak pergi, tetapi tak
pernah pulang tanpa membawa kesan tentang film yang ditonton.
Film
pertama, Frozen. Ini film yang memang ingin dia lihat. Terutama setelah membaca
berita yang mengatakan Frozen sebagai film fenomenal lagi setelah Lion King.
Status menontonnya menjadi wajib, karena Lion King sangat berkesan baginya. Bahkan,
di hari pertama masuk Play Group, kepada guru dan teman-teman dia mengenalkan
dirinya bernama Simba :).
“Let
it go” adalah ungkapan yang dia suka dari film Frozen. Kalimat-kalimat yang
digunakan, terutama dalam lagu-lagu, sangat cantik. Pemilihan kata-katanya
mewakili makna, berima, namun mudah dicerna. Di rumah dia mengunduh lagu Let It
Go, dan memutarnya berulang-ulang.
Film
kedua, 99 Cahaya di Langit Eropa. Usai UAS, saya jemput dan langsung melihat
pertunjukan siang. Dia agak enggan, tapi saya merasa dia harus menonton film
ini. Anak saya Jepang-mania. Jadi saya merasa perlu mengenalkannya dengan sisi
lain dunia. Eropa. Dan dari novel, Hanum Rais mengisahkan bahwa justru di Eropa
dia menemukan pemahaman lebih dalam tentang Islam.
Kami
memasuki ruangan bioskop saat film sudah hampir mulai. Lampu sudah dipadamkan. Pemandangan
yang terlihat oleh anak saya adalah...penontonnya semua ibu-ibu! Proteslah dia.
Mengapa aku harus menonton film ibu-ibu, katanya. Saya jawab, ini film umum. Dalam
hati, saya mengajukan pertanyaan yang sama juga, mengapa yang terlihat
perempuan berkerudung semua. Ketika film usai, ternyata mata kami tadi tak
sepenuhnya benar. Yang berkerudung bukan hanya ibu-ibu, jauh lebih banyak
remaja. Dan ternyata banyak juga laki-laki di kursi penonton.
Dua
hal yang dia garisbawahi dari film ini. Pertama, ungkapan Aysha, “Hai masalah
besar, aku punya Tuhan yang lebih besar”. Kedua, pernyataan Ibu Aysha, Fatma,
bahwa setiap diri kita adalah agen Islam. Jadi setiap tingkah laku kita, akan
dinilai publik sebagai perbuatan orang Islam secara umum.
Saya
kurang puas dengan beberapa adegan. Misalnya keberadaan Fathin serta potongan
gambar sekuel filmnya nanti. Mestinya kan begini, jangan begitu. Analisis saya
dikomentari telak oleh anak. “Kalau memang film ini tidak bagus, mengapa saya
dipaksa nonton?” Jleb! Saya pun jadi ‘terpaksa’ menjelaskan lebih detil mengapa
dia saya anggap perlu menonton.
Berikutnya,
film Soekarno. Kami menonton bertiga. Anak saya duduk di tengah, di antara saya
dan suami. Saya sangat puas karena Hanung Bramantyo menyampaikan pandangannya tentang
kisah sejarah ini dengan cara yang sama seperti yang saya pahami dari berbagai
bacaan.
Kami
menonton di hari kedua pemutaran. Sengaja. Khawatir masa edarnya tak lama
karena ada pihak yang tak nyaman dengan isi film dan menggugatnya ke
pengadilan.
Saya
berharap semangat nasionalisme yang disebarkan sepanjang film, menular kepada
anak saya. Saya merasa, tak hanya anak saya, tetapi seluruh caleg 2014 dan
politisi secara umum harus menonton agar berkaca pada sejarah. Bahwa, para
pejuang bersikap sebagai negarawan sejati. Cara boleh beda, tapi respek satu
sama lain tetap ada, karena semua punya tujuan yang sama. Untuk Indonesia.
Usai
menonton film ini, yang kena ‘jleb’adalah suami. “Papa kan dosen. Jaga
pandangan ya...” Rupanya, anak saya menilai rusaknya hubungan Bung Karno dengan
Bu Inggit bermula dari pandangan guru kepada murid yang tak terjaga :) *anak baik, puji mamahnya dalam hati, hehe.
Malam
Minggu terakhir di 2013 kami ngapelin
XXI lagi. Kali ini Edensor yang jadi pilihan. Lanjutan kisah Laskar Pelangi
yang mengambil lokasi di Perancis, yaitu saat Arai dan Ikal studi S2.
Dalam
perjalanan pulang, kami bahas film ini. Nilai-nilai apa yang didapat. Adegan mana
yang paling berkesan. Dan lain-lain.
Saya
mengulang kalimat dalam film yang saya ingin diingat anak, “Gantungkan mimpimu
setinggi langit, agar Tuhan dapat memeluknya.”
Suami
menekankan unsur persahabatan dengan mengatakan, “Ikal dan Arai saling
mendukung. That’s the friends are for...”
“...Hatta
di Perancis,” anak saya melanjutkan ucapan ayahnya.
Saya
dan suami terpesona.
“Keren sekali bahasamu, Nak.”
“O
ya?” respon dia.
“Itu
pilihan kata tingkat tinggi.”
Hatta = meskipun. Tak umum digunakan dalam bahasa
sehari-hari, saat ini, dan oleh anak SMP pula.
Mendengar
uraian ini, giliran anak saya yang terpesona.
Dia
lantas berkata, “Ikal itu kan Bung Hatta.”
Ternyata,
dia hanya bermaksud bicara tentang Lukman Sardi.... :)