Novel karya Idawati Zhang,
Mikayla Fernanda, dan Ch. Marcia
Clara Ng Book Project
Penerbit
Plot Point, April 2013
Senin pagiku yang cerah dihiasi
Hujan dan Pelangi. Sebetulnya, baca novel ini jatah akhir pekan. Sayang tak
sempat tersentuh. Tadi pagi saya paksakan memulai membaca. Dan saya terpaksa
menunda urusan lain, karena kisah Sabrina dan Cammile memaksa saya membaca
sampai tamat satu kali duduk. J
Tokohnya typical anak sekarang, anak tunggal dari keluarga kaya yang semakin
sempurna dengan segala prestasinya. Cantik pula. Punya pacar Ketua OSIS pula.
Kurang apa lagi coba?
Sampai hari itu. Hari ketika seorang
murid baru dikenalkan di kelas pada pertengahan semester. Waktu yang tak wajar
untuk pindah sekolah. Dan ternyata, tak hanya waktu, alasan dan kehidupan si
murid baru ini juga tak umum. Cammile hadir dengan bekal selubung pergulatan
emosi pribadinya.
Teman-teman mungkin tak peduli.
Tapi, bagi Sabrina, kehadiran Cammile justru menjadi awal bencana.
Sebenarnya, dari bab-bab awal sudah
bisa diduga arah cerita. “Paling juga nanti terbuka fakta bahwa ternyata....”
pikiran itu tak bisa terhindarkan dari kepala saat saya membaca. Saya
melanjutkan membaca untuk membuktikan praduga itu.
Sayang, saya lupa menjaga rasa.
Jalinan kata menjerat emosi saya tanpa sempat saya pasang pengaman. Dua adegan
utama sukses menghadirkan hujan dari kedua mata. Salut pada ketiga penulis.
Berhasil menggiring pembaca ke puncak drama.
Novel ini pun tak sekedar cerita.
Ada pesan yang bisa dibawa pulang. Bagaimana bersikap saat harus makan buah
simalakama. Dimakan ibu mati, tak dimakan bapak mati. Sikap yang diambil, ciptakanlah
pilihan ketiga, rela mati agar bapak dan ibu tetap hidup.
Novel ini juga mengajarkan bagaimana
menyikapi masa lalu orang-orang di sekitar kita, dan meramunya agar justru
menjadi manfaat bagi masa depan kita.
Ada beberapa hal yang kurang
tersampaikan dengan mulus. Saya mencoba memakluminya sebagai efek kerja tiga
kepala. Tetapi, evolusi emosi sepanjang ceritanya dapet banget.
Novel Hujan dan Pelangi adalah hasil
kerja sama tiga alumni kelas menulis novel secara online dari Plot Point,
dibimbing oleh senpai Clara Ng.
Ini proyek luar biasa. Saya mendapat
cerita tentang prosesnya, sebelum membaca bukunya. Jadi, sudah terbayang lebih
dulu jungkir balik para penulisnya untuk menampilkan kata demi kata dalam novel
300-an halaman ini.
Penyusunan plot, penulisan awal, dan
terutama, bongkar pasang tulisan. Setelah plot detil disepakati, ketiganya
mulai menulis bab demi bab secara paralel. Langsung tergambar di benak saya,
bakal ajaib dong? Bukankah setiap orang punya gaya menulis yang berbeda? Pilihan kata, gaya tutur, dan selera
berbahasa pasti tak sama.
Ternyata benar. Itu banget masalahnya. Proses bongkar pasang
tulisan untuk menjahit sebuah cerita utuh ini yang paling menguras energi. Dan
emosi.
Dan perlu dicatat pula. Di awal
proyek, 2 dari 3 penulis ini dalam kondisi hamil. Tahu sendiri dong emosi ibu
hamil? Usai mereka melahirkan, apakah masalah selesai? Tentu tidak. Ada bayi
yang harus diurus. Ada malam-malam harus begadang, ada saat-saat bayi tak mudah
dimengerti. Belum lagi “anak sulung” dan kakak-kakak si bayi yang butuh
perhatian tersendiri. Dilengkapi lagi dengan pekerjaan yang berkaitan dengan
profesi selain sebagai penulis.
Jadi, saya sudah angkat topi untuk
Idawati Zhang, Mikayla Fernanda, dan Ch. Marcia sejak sebelum bukunya beredar
di pasar. Benar yang dikatakan Clara Ng, bahwa mereka orang-orang yang “keras
kepala” demi selesainya pekerjaan yang telah dimulai, melahirkan sebuah novel.
Dan, setelah usai membaca sampai
halaman terakhir, selain topi, saya angkat jempol juga. Keren!