Korupsi
berkembang menjadi kata sehari-hari. Tidak eksklusif lagi. Upaya kampanye
antikorupsi yang sangat gencar, justru mempopulerkan
kata “korupsi”. Istilah ini menjadi jargon. Lambang kejahatan. Orang yang
berani berteriak melawan korupsi, langsung dicap lambang kebaikan. Sayangnya,
pemahaman terhadap arti kata ini secara detil tidak banyak dilakukan. Banyak
yang merasa bersih, seringkali justru pelaku tindakan koruptif. Bagaimana
sebaiknya kita memutus rantai korupsi? Berikut ini adalah sebuah tawaran
solusi.
Tanggal 20 September 2012 Jakarta
membuat sejarah. KPU telah menempatkan Joko Widodo, yang lebih dikenal sebagai
Jokowi, menjadi gubernur baru DKI. Pelantikan akan dilangsungkan 8 Oktober 2012.
Penulis tidak ber-KTP DKI, jadi tidak berkepentingan apa pun atas kemenangan
siapa pun.
Paparan ini hanya mencoba menaruh harap atas suatu peluang
kebaikan. Mencoba melihat kemungkinan aksi nyata upaya menghindari tindakan
koruptif secara berantai. Karena korupsi yang sesungguhnya bukan saat berjumlah
milyar atau trilyun rupiah, melainkan akumulasi tindakan koruptif
kecil-kecilan, dalam jangka waktu lama, bersama-sama, sehingga menjadi sesuatu
yang dianggap biasa.
Penulis tertarik mengajak Pak Jokowi
untuk memanfaatkan jabatan Gubernur sebagai titik pemutus rantai korupsi. Menurut
beberapa media, Jokowi punya komitmen khusus tentang gaji selama menjadi
walikota Solo. Sejak awal menjabat, Jokowi memilih tidak mengambil gajinya sebagai
walikota Solo. Dia ingin menunjukkan kepada rakyat, bahwa dia hanya ingin
bekerja, mengabdi, dan melayani warga Solo.
Tentu menjadi pertanyaan, darimana
dia hidup. Sebelum menjadi walikota, Jokowi sudah menjadi pengusaha meubel
terkenal di Solo. Penghasilannya sebagai “tukang kayu” sangat cukup digunakan
untuk menghidupi keluarga. Meskipun kini dikelola orang lain, bisnis meubelnya
tetap mengalirkan rupiah ke rumah Jokowi.
Pada sebuah surat kabar setelah
kemenangannya, Jokowi sempat menyatakan akan melakukan hal yang sama di
Jakarta. Niat yang bagus. Tapi, izinkan penulis menawarkan sesuatu yang sedikit
berbeda.
Sebagai gubernur DKI nanti, akan sangat terpuji jika
Jokowi tetap berpegang pada satu sumber penghasilan saja. Harapan penulis, kali
ini Jokowi mau melakukan kebalikan dari langkahnya di Solo. Yaitu, dengan tidak
memanfaatkan hak dari keuntungan usahanya sebagai eksportir. Uang itu simpan
saja di tabungan.
Untuk hidup dia dan keluarga di
Jakarta, ambillah seluruh gaji yang diberikan DKI. Gaji gubernur adalah hak dia
sebagai gubernur. Upah atas kerja yang dilakukan gubernur. Penentu besaran gaji
tentu telah memperhitungkan kelayakannya. Cukup , pasti. Tinggal usaha Jokowi
dan keluarga menyesuaikan gaya hidup dengan besarnya penghasilan.
Hidup sederhana dengan penghasilan
sebagai eksportir, baik. Tetapi, hidup sesuai penghasilan resmi sebagai
gubernur DKI, baik dan terukur.
Keberanian Jokowi sebagai gubernur
mengambil langkah ini, akan sangat bermanfaat. Dua manfaat utama adalah:
Pertama, mengajarkan secara langsung
kepada masyarakat, bahwa setiap orang
mempunyai kewajiban, tetapi juga mempunyai hak. Menjalankan tugas sebagai
gubernur adalah kewajiban, dan menerima gaji adalah hak yang berkaitan dengan
kewajiban tersebut. Tak ada yang salah dengan menerima gaji, karena itu sesuai
dengan peraturan.
Kedua, mencontohkan sikap merasa cukup. Jika diikuti, nafsu
tak akan pernah terpuaskan. Jika kita mau hidup sesuai penghasilan, maka kita
harus merancang gaya hidup yang tepat. Joko Widodo dan keluarga, dapat menjadi
contoh nyata bahwa dengan gaji yang halal, tanpa harus bertindak koruptif,
keluarga dapat hidup.
Contoh ini penting bagi masyarakat
maupun tim kerja di bawahnya. Secara struktur penghasilan, gaji gubernur tentu
paling tinggi dibandingkan anak buahnya. Jika pimpinan dapat menunjukkan bahwa
penghasilan sesuai aturan bisa untuk hidup sekeluarga, maka pegawai pemerintah
propinsi DKI lainnya, akan sungkan untuk mencari-cari tambahan secara tidak
halal. Sebagai pimpinan, dia akan lebih rileks menjalankan program bersihnya
dengan cara menegur staf yang nakal, tanpa harus khawatir akan diserang balik
karyawan atas gaya hidupnya.
Jokowi akan mudah mengingatkan tak
boleh ada pungutan untuk setiap urusan warga dengan kelurahan. Tak akan ada
yang bisa berkata, langsung ataupun bisik-bisik tetangga, seperti “Ya iyalah dia sih gak punya urusan kekurangan uang dapur. Eksportir gitu lho...” atau “Hidup di Jakarta
mahal, bo...” :). Karena, Jokowi akan dengan ringan menjawab, “Semua bisa
diatur, secara benar.”
Ketika melihat bahwa bukan hanya
Gubernurnya yang berubah, tetapi juga sikap serupa ditunjukkan oleh seluruh
jajaran pegawai Pemda DKI, maka pegawai dinas-dinas lain pun akan tergerak
untuk mengikuti. Demikian juga pihak legislatif. Minimal, akan muncul rasa malu
dalam hati jika melakukan hal-hal tak terpuji. Efek domino akan menyentuh
masyarakat umum. Tingkat kepercayaan masyarakat yang meningkat atas
“kebersihan” pelayannya, akan membuat mereka juga menjaga diri.
Posisi DKI sebagai ibukota negara,
akan menjadikannya pusat sorot mata pemirsa media. Efek domino diharapkan bisa
berlanjut. Rakyat di daerah bisa mengingatkan pemimpinnya agar meniru Jokowi. Pemimpin
di daerah akan malu terlihat “berbeda” di era keterbukaan seperti saat ini.
Dan, terutama, para pejabat pusat yang berkantor di Jakarta, entah itu
legislatif atau eksekutif, akan berpikir ulang untuk curang.
Jika banyak pihak sudah hanyut dalam
gelombang sikap merasa cukup dengan gaji yang memang sudah haknya dan
berkomitmen penuh untuk menjalankan kewajibannya, maka dana-dana proyek akan
sepenuhnya untuk pelaksanaan kegiatan, dan hanya biaya administrasi resmi saja yang
perlu rakyat bayar dalam berbagai urusan.
Dalam situasi demikian, penulis
yakin tindakan koruptif akan jauh berkurang. Indonesia gemilang siap menjelang.
Bagaimana Pak Jokowi, berani mencoba?