Kamis, 18 Mei 2017

Perlunya Gerbong Khusus Laki-laki




Akhirnya menjadi berita juga. Persaingan di gerbong wanita. Sudah lama auranya terasa. Hanya butuh pemicu, sehingga praduga ini menjadi fakta.

Saya sering menggunakan jasa Commuter Line, tapi bukan pengguna rutin, karena saya bukan pekerja kantoran. Saya tidak mewajibkan diri naik di gerbong perempuan. Tapi, naik di gerbong manapun ada konsekuensi.

Ketika gerbong perempuan baru diadakan, saya termasuk yang biasa saja, tidak bersuka cita. Pada dasarnya, ketika seorang perempuan memutuskan berani keluar rumah, pada saat yang sama dia sudah paham segala konsekuensinya.

Ketika seorang perempuan meminta haknya untuk bekerja seperti yang didapat laki-laki, ketika itulah ada kewajiban lain yang melekat padanya. Sebagai warga negara umum. Ada norma-norma umum yang harus dipatuhi. Ada etika yang harus dipahami.
Saat dunia kerja hanya milik laki-laki, perempuan mendapat keistimewaan sebagai lady. Diperlakukan sebagai putri. Ketika sebagian ruang laki-laki itu diminta perempuan untuk eksistensinya, perempuan harusnya menyadari, tak perlu lagi laki-laki memberi ekstra atensi.

Suasana di kereta api hanya satu gambaran kecil. Pada jam sibuk, hampir bisa dipastikan semua penumpang ada urusan dengan pekerjaan atau sekolah. Berarti, perempuan yang ada di situ adalah mereka yang mengambil haknya untuk keluar rumah. Sepatutnyalah, mereka juga tahu diri. Sudah sangat istimewa perlakuan PT KAI dengan menyediakan gerbong khusus perempuan. Ini bukan kewajiban mereka lho. Setelah segala keistimewaan ini, mestinya, perempuan juga tidak merasa perlu mendapat simpati pada saat naik di gerbong umum.

Jika ada laki-laki yang memberikan kursinya, itu rezeki bagi si perempuan. Tapi ketika tidak ada yang memberi kursi, bukan hak si perempuan untuk ngomel atau menuduh para lelaki di situ tidak sopan. Bukankah, mereka sudah menerima didiskriminasi PT KAI, tak disediakan gerbong khusus laki-laki. Andai ada keadilan, disediakan dua gerbong khusus perempuan dan empat gerbong khusus laki-laki, maka di gerbong sisanya yang bisa diisi siapa saja, bolehlah para perempuan berharap mendapat perlakuan khusus. Toh laki-laki yang ingin duduk nyaman tanpa harus rikuh kepada perempuan yang berdiri, bisa masuk ke gerbong khusus laki-laki.

Secara umum, sesuatu yang bernama hak itu untuk diterima, sedangkan kewajiban untuk dilaksanakan. Kadang kita lupa, terlena pada hak yang kita anggap harus kita nikmati, sementara hal yang menjadi kewajiban terpinggirkan. Bukankah, hak kita adalah bagian dari kewajiban orang lain? Jadi, biarkan orang lain yang menjalankan kewajibannya, bukan kita yang menuntut dia agar hak kita diterima. Sebaliknya, lakukan kewajiban kita sesempurna-sempurnanya, karena disitu ada hak orang lain.

Contoh, sopan santun terhadap orang yang lebih tua. Tak perlu yang lebih tua meminta atau memposisikan diri untuk dihormati anak muda. Jika mereka melakukan hal yang benar, toh anak-anak muda akan dengan sendirinya menghormati, dan memperlakukan mereka dengan santun. Atau antara anak dan orang tua. Begitu juga urusan perempuan dan laki-laki. Dan pada akhirnya, antara kita dengan orang lain, siapa pun. Bahkan, antara kita, dengan apa pun. 


Minggu, 14 Mei 2017

Tanam Makanan di Pagar





Tanaman Makanan di Pagar





Saya sedang kumat. Mengutak-atik halaman. Bertanam aneka sayuran. Seru.

Sejak dulu, saya sudah membayangkan bisa membuat pepes sendiri hanya bermodal beli ikan, Sisanya cukup petik dari halaman. Salam, serai, kemangi, cabe, kunyit, bahkan daun pisang.Ada masa semua itu komplit di halaman, tapi masaknya yang tidak sempat.

Kemudian saya tanam tanaman buah. Pepaya, mangga, pisang, jambu pun tak perlu beli ke pasar Minggu. Bertahun-tahun. Saat pohon-pohon membesar, selain bahagia banyak buahnya, khawatir pun muncul. Akar menyebar. Perakaran pohon kurang lebih akan seluas jangkauan cabangnya. Jika itu dibiarkan, berarti di dalam tanah, akar mulai bertemu fondasi rumah. Bahaya. Selain itu, daun-daun yang gugur diterbangkan angin ke dak di atas dapur. Menutupi saluran pembuangan air hujan. Tidak ketahuan. Efeknya "hanya" lemari dinding bagian atas rusak oleh rayap. Rupanya, sumbatan membuat air tak mengalir pada jalurnya, merembes ke dinding, lembab mengundang rayap dari atap turun ke lemari. Ini proses panjang, dan saya tidak waspada. Nyesek. Bersamaan dengan renovasi rumah, dengan berat hati jambu dan salak dipindahkan ke taman kompleks, belimbing dan mangga ditebang, pepaya mati sendiri setelah tunai bakti. Pisang sempat dihabisi dengan menghibahkan seluruh anakan.

Halaman saya pun berganti penghuni. Tanaman menahun tapi tidak membesar. Anggur, cingcau, jeruk sambal, pandan, suji, salam, serai, temuruw, katuk, lidah buaya. Tidak banyak diperhatikan pun tetap hidup bertahun-tahun.

Kebetulan saja, saya tidak terlalu senang untuk menyengaja menanam tanaman hias. Satu-satunya tanaman hias yang ditanam sendiri dan dipertahankan sejak awal hanya pohon melati. Pagar sekeliling rumah ditanami melati. Saat subur-suburnya, tiap malam bisa panen bunga semangkok penuh. Senang sekali. Memetiki bunga malam hari menjadi kebahagiaan dan refreshing tersendiri mengakhiri hari. Harumnya memenuhi seluruh rumah. Tanaman hias lain ada, sebagai tanda sayang, memelihara pemberian orang. Ada lidah mertua dari teman di depok, pucuk merah dari Parung, bambu cina dan cemara didapat suami lupa dari siapa, dan tanaman batang lupa namanya dari sahabat.

Tahun lalu, saya mulai iseng lagi menyemai-nyemaikan benih. Bermula saat ke pameran inovasi IPB. Salah satu hasil penelitian yang dijagokan akan menjadi produk massal unggulan adalah benih cabai merah temuan prof. Syukur yang dinamai Anies IPB. Aha, ge-er dong. Merasa nama saya dipakai. Saat saya sampaikan kepada beliau, prof. Syukur menghadiahi saya satu pak benih Anies-IPB isi 200! Wow, senangnya. Apalagi, saat pameran itu, produksi benih ini belum massal, baru unggulan. Justru pameran dilaksanakan untuk mengenalkan kepada publik. Mengenalkan kepada pelaku usaha terkait.


Cabe Merah Varietas Anies IPB
Sepulangnya dari pameran, saya mulai menyemaikan benih. Tak hanya Anies IPB. Ada juga cabe rawit manis dari sahabat keluarga, berbagai varietas cabe merah dan rawit, juga tanaman-tanaman rambat. Koleksi benih direndam dengan pemisahan berdasarkan jenisnya. Saya beri label satu satu. Kemudian dipindahkan ke tempat lain, dikecambahkan. Saya mencoba prinsip kapiler. sumbu kompor digulung seperti obat nyamuk, ujungnya direndam. Sehingga selalu lembab. Benih-benih ditata sesuai varietasnya, Tapi tidak dinamai satu satu. Saya pikir, hafallah. Ternyata, wadahnya tersenggol. Campur aduklah semua! Tahu kan biji cabe? Semua tampak sama! Jadi, persemaian ini dilanjutkan dengan teka-teki. Entah yang ini jenis apa, yang itu varietas apa. Tunggu berbuah saja.

Musibah ini berefek ke motivasi. Saya tidak terlalu semangat lagi. Benih balita pun dibiarkan dewasa sendiri. Bahkan memindahkan ke pot dilakukan bibi. Sampai suatu hari, bibi memberi tahu, pohon cabenya sudah besar-besar. Beberapa ada yang sudah berbuah. Ya ampun! Lupa saya punya koleksi cabe. Saat minta tolong suami bibi untuk rapikan taman, cabe-cabean ini dikumpulkan sepanjang pagar. menggantikan melati yang tinggal satu dua. Kesalahan saya beberapa bulan sebelumnya, membiarkan tukang melakukan regenerasi tanpa diawasi, pohon melati sepanjang pagar tinggal sisa beberapa batang kecil saja. Jadi saya relokasi. Dan sekarang, sepanjang sisi luar pagar, tertanam 25 batang pohon cabe yang entah jenis apa saja, hehe.


Perapian taman membuahkan pagar cantik. Hanya diisi tanaman cabe aneka ukuran aneka jenis. Berbuah banyak. Senangnyaaa... Serasa sudah jadi juragan cabe terbesar se-Indonesia. Sampai tiba-tiba saya menyadari, buah cabe hijau tua dan hijau muda banget ini tak pernah sempat menjadi oranye atau merah. Tak masuk tahap matang. Yang ada, cabe membusuk dan gugur. Sedihlah awak...

Saya bertanya kepada teman suami yang dosen IPB. Eh, malah diberi nomor kontak prof. Syukur, ahli cabe di IPB saat ini. Alhamdulillah. Dan prof. Syukur orangnya asyik. Ringan tangan membantu. Dia minta saya foto cabe-cabe saya. Menurutnya, kemungkinan besar cabe saya busuk sebelum matang karena telur lalat buah. Lalat buah suka bertelur pada buah cabe yang baru muncul. Telur matang bersamaan dengan masa matangnya cabe. Tapi akibatnya, cabe malah jadi busuk karena sudah dipenuhi telur lalat matang.


Busuk sebelum memerah
Solusinya, putuskan rantai siklus hidup lalat. Petik semua cabe yang ada, termasuk yang berjatuhan di tanah. Yang busuk buang. Yang masih hijau, manfaatkan, karena tetap aman dimakan. Saya pun melakukan panen paksa. Dapat sepiring makan. :(

Petik paksa
Sebenarnya prof. Syukur menyarankan langkah berikutnya. Tetapi untuk langkah pencegahan, saya lebih ingin mencoba konsep penggiat halaman organik, pak Suparwan. Menurut beliau, hama wajar tidak usah dihilangkan. Hanya dihambat. Hal ini bisa dilakukan dengan menanam aneka keluarga tanaman dalam satu wilayah. Satu sama lain akan saling mencegah berkembangnya hama yang berbeda. Karena itu, saya pun mulai menyemaikan tanaman-tanaman lain untuk ditanam di antara cabe-cabean tadi.Tetap pada pakem semula, tanaman yang bisa dimanfaatkan. Kemangi, bawang kucai, bayam, kangkung, dan berbagai tanaman rambat seperti terong, kacang panjang, mentimun, dan lain-lain. Saat ini masih dalam masa pertumbuhan. Semoga berhasil.



Bermula dari perendaman bibit.

Penyemaian di track semai

penyemaian satuan

Bendera penanda




Pot ombre



Cetakan bolukukus menjadi wadah polibag semai




Sudut lain halaman




Minggu, 07 Mei 2017

SANCAKLAR. Ke Masjid Ini Saya Ingin Kembali


Huruf Wau. Inspirasi dan Filosofi masjid ini.
Sejak menerima tautannya di awal 2015, saya sudah jatuh cinta pada foto-foto yang tersaji. Saya mendapat kiriman dari seorang Arsitek. Dia mengabarkan bahwa masjid ini baru saja mendapat Aga Khan Award. Penghargaan internasional untuk karya Arsitektur.

Beberapa bulan kemudian, kami mendapat undangan ke Turki. Kunjungan ke masjid ini pun ada di daftar keinginan paling atas. Saya mencatat detil apa yang didapat dari internet. Alamat, dan lain-lain. Saya tak berani berharap banyak, karena kepergian kami ke sana bukan wisata. Walau demikian, saya menyampaikan keinginan ini kepada teman Turki yang menemani kami. Dia sendiri belum pernah tahu. Ini memang masjid baru. Resmi dipakai tahun 2014.

Kesempatan datang ketika kami melakukan kunjungan ke Universitas Fatih. Lokasinya searah dengan Buyukcekmece, alamat masjid tersebut. Siang itu kami tidak diberi acara lain. Setelah makan di Kantin Kampus, kami memulai perjalanan. Teman Turki kami belum pernah ke sana, jadi dia minta tolong Google Map. Dan Google pun saat itu belum kenal dengan masjid ini. Jadi, kami dibawa berputar-putar wilayah Buyukcekmece. Tanya sana, tanya sini. Hampir 2 jam. Sudah nyaris menyerah, ketika tanda-tanda keberadaan masjid mulai terlihat. Ternyata...masjid ini hanya berjarak 5 menit saja dari Universitas Fatih, ke arah kiri. Sementara, tadi kami mengambil jalan ke kanan.

Menara batu


Usaha pencarian ini sangat tidak sia-sia. Nama masjid tertera di luar. Tetapi, sampai parkir pun, kami masih mencari-cari, di mana masjidnya? Hanya tampak sebuah menara batu dan segundukan tanah berumput dengan sederet kotak seperti kaca. Di dekat menara, ada tangga turun. Kami telusuri undakan demi undakan. Posisi tangga melengkung ke kanan.

Pemandangan dari tangga turun

Di kanan kami ada dinding batu, sedangkan di kiri, jalur turun memutar untuk kursi roda.

Dinding batu. 
Sampai di ujung tangga, ada selasar. Tak ada tanda-tanda masjid. Saya malah membayangkan seperti bagian luar ruang seminar. Lorong terbuka, dua pintu besar di dinding, dan toilet di ujung.

Ujung tangga ada di belakang kanan. Dinding di kiri diapit dua pintu masuk.

Berhadapan dengan pintu ada semacam teras beratap, ruangan terbuka, ada batu kerikil melapisi kolam pendek. Pemandangan di kiri sangat indah. Lembah dan angin, bagai menjadi pengiring. Di salah satu dinding teras ini, ada semacam papan pengumuman. Ternyata itu adalah maklumat Arsiteknya. Tentang sejarah, makna, dan kebijakan masjid.

Setelah berwudhu, rasa dingin dan segar sudah mulai mempengaruhi hati. Apalagi saat itu bulan April, angin kencang menyapa. Wilayah masjid termasuk dataran tinggi dan masih sepi pula.

Sebelum ke sini, saya pernah ke masjid-masjid terkenal di Istanbul. Masjid Sultan Ahmet, Masjid Sulaimaniye, termasuk Hagia Sophia. Sempat juga ke Masjid Baru (Yeni Camii). Dan tentu saja, berbagai mushala dimana kami berhenti untuk shalat saat dalam perjalanan. Salah satunya adalah Masjid Firuz Aga yang didirikan tahun 1400an ini.

Masjid Firuz Aga





Masjid-masjid terkenal itu memang luar biasa cantiknya. Kubah setengah bola yang menjadi ciri khas, terasa istimewa karena menunjukkan kemampuan teknis tinggi para insinyur mereka di masa lalu. Rata-rata usia masjid sudah ratusan tahun. Tetapi, entahlah, setelah melihat beberapa masjid besar itu, saya merasa biasa. Di luar teknik membuat kubahnya, saya melihat semua seragam. Interior terbuat dari keramik bermotif. Lampu di dalam, bentuknya kurang lebih sama dengan lampu gantung di masjid Firuz Aga ini, hanya lebih besar dan lebih banyak. Karpet. mimbar, bahkan menara. Satu masjid bisa mempunyai beberapa menara.

Apalagi setelah mengetahui sejarah awal keberadaan masjid-masjid besar di lokasi-lokasi utama, khususnya di kota Istanbul, ada nilai yang mengganggu kekaguman saya. Masjid dibangun oleh penguasa wilayah Turki pada zamannya. Masjid Sulaimaniye, dibangun oleh Sulltan Sulaiman, misalnya. Dipilih satu puncak bukit, lalu dibangun masjid di sana. Masjid dari penguasa yang lebih baru akan lebih besar dan mewah dari penguasa sebelumnya. Mendirikan masjid di lokasi eye catching menjadi penanda seberapa besar pengaruh dan kuasanya. Berlomba-lomba membuat rumah ibadah sebagai legacy. Dan, sebagai sumber devisa juga, dari para turis. (Tentang ini, jika kita hanya punya waktu dua jam di Istanbul dan ingin menikmati seluruh icon kota, maka minumlah kopi di *buck yang di tepian sungai. Sejauh mata memandang, dari kiri ke kanan, dari dekat ke kejauhan, semua simbol kota itu akan terlihat.) 


Masjid Sancaklar (dibaca: Sanjaklar) berbeda tak hanya dari sisi tampilan fisik, tapi juga dari alasan pendirian, dan filosofi bangunan. Sama sekali berbeda. Huruf wau di dinding kaca hitam pekat menjadi satu-satunya hiasan di dalam masjid, dan menyatakan segalanya.

Huruf wau cukup dipahami secara sakral sebagai simbol. Pernyataan tawadhu. Merunduk. Juga pernyataan tentang ibu sebagai tiang segalanya. Bentuk huruf ini ditafsirkan sebagai ibu dengan rahim, kasih, dan pelukannya. Dan ini menjadi dasar sikap muslim Turki. Dan, puncak dari semuanya. masjid ini menjadi simbol saat shalat adalah saat kita berpulang ke Rahim-Nya, ke Pelukan-Nya. Sujud dalam kehangatan perut rumah Tuhan.

Masjid ini dibangun untuk itu. Dengan cita-cita ingin melakukan itu. Sehingga seluruh bangunan secara kesatuan melambangkan itu. Wau.

Karenanya, tak dibutuhkan pernak pernik lain, gemerlap kilau lain. Hanya Tuhan. Sang Cahaya. Sang Maha Cahaya. Aksen keren dari masjid ini hanya dari permainan cahaya. Cahaya alami dari luar dimanfaatkan secara maksimal dalam segala aspek. Contohnya, pada dinding pemisah tempat shalat laki-laki dan perempuan ini.





Dinding berlubang pemisah jamaah laki-laki dan perempuan

Foto di atas adalah pemandangan dari ruang shalat perempuan. Dinding pemisah jamaah perempuan dan laki-laki terbuat dari logam stainless berlubang-lubang secara teratur. Pembatas ini mempunyai dua muka. Sisi lainnya juga sama, berlubang-lubang. Ini pasti by design, bukan kebetulan. Pendaran cahaya yang kita lihat akan berbeda-beda dari setiap titik yang berbeda di ruang shalat perempuan ini. Dan jika kita berjalan, maka pergerakan cahaya yag kita tangkap akan bagai alunan ombak.

Permainan cahaya lebih besar melingkupi seluruh ruang ibadah. Pada gambar di bawah terlihat, cahaya matahari yang masuk dari celah antara dinding dan langit-langit diatur sedemikian sehingga menjadi ornamen cantik. tangga melingkar itu menuju mimbar, sedang lekukan kecil di kiri adalah tempat imam. Disitu pun ada permainan cahaya.

Di antara kaca-kaca dan di lantai dekat dinding-dinding, tersebar lampu kecil. Yang akan memendarkan cahaya indah pada malam hari. Sungguh, sujud disini, rasanya masuk sekali ke hati. Serasa sedang mengadu pada Paha-Nya, dan Lengan-Nya mengusap-usap punggung kita yang sedang merunduk.

Keheningan, kesyahduan, dan kekhusyuan yang dibangun oleh suasana masjid, menimbulkan rindu tak terperi. Saya ingin sekali ke sini lagi. Mencecap rasa itu.













Sabtu, 08 April 2017

Menerapkan Ide Memahirkan Anak Memilih Nilai


Tak sekedar membaca tulisan lama, tapi juga menemukan bahwa apa yang dulu ditulis itu ternyata menjadi benang merah cara kami mendidik anak dan sangat memudahkan kami di masa kini. Membudayakan kemahiran memilih nilai, itu judulnya.

Ditulis saat saya masih gadis, sebagai salah satu makalah dalam pertemuan 3 bulanan Forum Dialog Indonesia. Dibukukan satu tahun kemudian setelah saya menikah dengan salah satu penggagas forum ini. Katanya sih, dia memberi perhatian lebih setelah membaca tulisan saya itu.


Terserahlah alasan naksirnya mah, tapi tulisan saya menjadi perhatian dia  mungkin karena berbeda arah dari tulisan lain. Saat itu, 1993, asli minder dengan gagasan teman-teman yang luar biasa tentang Indonesia 2020. Ekonominya mesti beginilah, pemerintahannya mesti begitulah... Saya tidak menyentuh itu.

Saya menulis tentang pendidikan dari rumah. Dasar pemikirannya, melihat perkembangan teknologi saat itu. Televisi mulai ada lebih dari satu saluran dan seharian (sebelumnya, hanya ada TVRI, itu pun hanya tayang beberapa jam sehari). Internet mulai dikenal, tapi masih jarang dan mahal, dan perangkat yang dipakai adalah desktop computer yang segede gaban. (Fyi, gaban itu nama biskuit klasik, kotak, besar, bertekstur lubang tusukan seperti pada kue marie, beraroma roombuter, dan enak. ~Gak penting, abaikan). Telepon genggam? Belum ada, atau mungkin saya saja yang belum tahu.

Dalam situasi "sesederhana" itu, saya melihat ada potensi kerepotan orang tua di masa depan dibandingkan yang dihadapi orang tua generasi sebelumnya. Dulu, cara paling umum bagi orangtua dalam menjaga informasi yang sampai kepada anaknya adalah dengan "memilihkan".

Rumah adalah tempat paling steril. TVRI tayangannya terseleksi dari sononya, dan masa tayangnya adalah jam orangtua sudah di rumah. Buku bacaan, majalah mingguan, dan koran harian yang boleh ada di rumah, bisa dipilihkan. Teman anak bisa dipantau siapa orangtuanya, dimana rumahnya. Korespondensi bisa diketahui dari alamat surat yang diantarkan pak Pos.

Begitupun, anak-anak selalu saja punya akal untuk mendapatkan yang tidak boleh, untuk mengetahui yang dilarang. Tak perlu ditulis rinci ya, takut nanti jadi ide. 😃

Berdasarkan perkembangan teknologi dan cara mendidik yang umum inilah, saat itu saya membayangkan di masa depan orangtua akan sangat repot.

Informasi tak lagi datang sepihak, bertahap dan berjenjang. Jumlahnya lebih banyak, waktunya tak berbatas, dan datangnya dari segala arah.

Ketika ada beberapa saluran televisi, dan jam tayang masing-masing seharian, misalnya. Apakah orangtua akan tetap membatasi jam menonton dan menyeleksi saluran? Memasang pengatur saluran, atau bahkan meniadakan televisi dari rumah?

Menurut saya, itu tidak bermanfaat. Saat di rumah, mungkin anak tak bisa melihat. Apakah ada yang menjamin dia tak bisa melihat juga di luar rumah? Larangan di dalam rumah, berbanding lurus dengan rasa penasaran yang akan dicari jawabannya di luar rumah. Semakin tidak boleh menikmati sesuatu, ada "sense of jahiliyah" dalam diri anak yang membuatnya lebih keras berupaya menemukan apa sih yang berbahaya itu.

Dan... Saya melihat ada satu hal mendasar yang sangat kasat mata dari cara orangtua yang seperti ini. Ketidakpercayaan. Tidak percaya bahwa sang anak bisa melakukan hal baik untuk dirinya sendiri. Ini sebuah siklus. Dia tidak percaya anaknya bisa, karena mungkin memang dari kecil dikondisikan bahwa anak adalah makhluk yang tidak bisa segala sesuatu sehingga perlu diajari segala hal. Ini itu harus diberi tahu. Baik buruk harus dijelaskan. Benar salah harus diarahkan.

Lebih dalam lagi, ini menunjukkan kurangnya penghargaan kita pada kemampuan anak. Tak ada respek kita pada mereka.

Ya ampun, masa sih urusan nonton tivi saja kok bisa dianggap tidak respek pada anak? Itu kan justru menunjukkan bahwa kita orangtua yang bertanggungjawab, berbuat sesuatu untuk menjaga anak agar tidak ketelanjuran. Dll.
Pastinya banyak yang bakal komplen saya. Gak apa-apalah.  Bikin analisis sendiri saja ya. Ini kan analisis saya. Hehe.

Nah, ide yang saya tawarkan adalah, bagaimana kalau kita melangkah sebelum tahapan itu. Mengganti siasat. Bukan memilihkan, tetapi menyiapkan anak untuk bisa memilih sendiri. Bukan mempertimbangkan baik buruknya bagi anak, tapi menyiapkan agar anak terbiasa memutuskan sendiri ini baik itu buruk. Dan, ini sama sekali tidak bisa instan. Butuh waktu. Butuh telaten. Dan butuh niat kuat.

Sejak awal sekali, sejak batita. Ok, saya bahkan memulai sebelum itu. Saya memilihkan bapak calon anak saya lebih dulu. Saya gadis penuh kriteria. Saya ingin begini begitu, saya tak ingin begini begitu. Ups, kembali ke topik... fokus... fokus...

Jadi,
Sejak batita, latihan memilih ini sudah dimulai.
Pilihan teratur. Pilihan yang sudah kita atur, maksudnya. Misalnya, mau mandi sekarang atau setelah ambil bola? Mau baju yg biru atau yang kuning? Mau pisang atau alpukat? Mau dibacakan buku yang ini atau yang itu? Apapun respon dia, dua pilihan yang disajikan adalah dua hal yang kita ridho dia pilih. 😀

Pada prakteknya, ini tidak sederhana. Karena, anak adalah pembelajar yang luar biasa. Setelah satu dua kali sukses, kesempatan berikutnya seringkali dia memilih pilihan ke...tiga! Sebagai ibu, yang merasa paling maha tahu kebutuhan anak, ini bikin sedih. Tapi setelah tarik nafas panjang, biasanya justru bersyukur. Berarti anak kita sudah lebih pandai dari yang kita ajarkan. Dia memilih pilihannya sendiri. Mau mandi sama bonekalah, mau baju yang dari kakeklah, dll.

Respon kita atas setiap detil keputusan anak ini, yang -menurut saya- menentukan ke depannya. Bahwa, keputusan dia penting, bahwa dia telah mempertimbangkan segala sesuatunya demi kebaikan dia. Kok mau mandi sama boneka? Kan biar bonekanya sehat juga. Kenapa pakai baju dari kakek lagi? Dingin. Dll.

Kebiasaan begini ngefek juga. Lain kali, saat anak diminta mandi, dia akan mengajukan pertanyaan. Mengapa harus mandi? Mengapa sekarang? Boneka juga gak mandi gak jadi sakit. Dll. Kadang berbalas pantunnya lebih lama dari waktu yang dibutuhkan untuk mandi.

Saat-saat itu, sama sekali tidak ada kepastian tentang hasil apa yang akan saya tuai nanti. Apakah saya hanya buang-buang waktu melayani pertanyaan dan argumentasi anak? Saya meyakinkan diri, ini proses yang harus dilalui. Tak selalu berhasil. Kadang kalau buru-buru, ancaman khas ibu-ibu mulai keluar. Mandi sekarang atau ditinggal sendiri di rumah! Ah, ancaman hanya tahan 1-2 kali juga. Dengan wajah-lugu-tapi-tahu-mama-dalam-genggamanku, dia akan senyum-senyum jahil. Makin besar, makin jelas alasannya, karena sudah bisa mengungkapkan. Katanya, gak mungkin mama ninggalin aku, karena aku anak satu-satunya. Mmm...


Makin besar, triknya tentu makin banyak. Trik orang tua, maupun trik anak. Pelan-pelan mulai kita sebarkan batasan-batasan.

Terkait tontonan, misalnya. Seingat saya, hanya memberi batasan. Jika yang tampak dilayar "aneh-aneh", palingkan muka. Atau, jika di komputer, pindah laman.

Jadi, seiring waktu, seleksi sendiri ini menjadi refleks saja untuk dia.

Sesekali saya tanya tentang hal ini. Dari dia saya tahu, laman aneh-aneh tak perlu dicari. Membuka laman dengan nama-nama disney saja bisa muncul kok. Dan rasanya sering sekali kami berbincang yang diakhiri dengan ungkapan semacam, "alhamdulillah anakku sangat bisa dipercaya."

Mulai SMP kamarnya dilengkapi meja belajar sesuai permintaannya. Termasuk laptop juga. Dan, sejak dia gadis, saya mengajarkan untuk selalu  mengunci pintu kamar. Jadi, saya sangat berbeda dengan anjuran para pakar pendidikan anak yang meminta kita sering-sering memantau apa yang dibuka anak di komputernya, melarang anak main komputer di kamar, dll.

Saya yakin, dan saya sampaikan.juga krpada anak saya, bahwa dia anak yang bisa dipercaya. Saya ibu yang beruntung, tidak perlu mengawasi anak dengan cara memantau terus menerus.

Perkembangan teknologi ternyata jauh lebih luar biasa daripada yang terbayangkan oleh saya dulu. Tak sekedar saluran tivi lebih banyak dan kemampuan internet yang macam-macam saja, ternyata. Tetapi sekarang bahkan semua hal itu ada dalam genggaman anak kita dan ikut dia kemana saja.

Dan saya bersyukur, sangat bersyukur, melatih anak memilih sejak dini. Dia terbiasa mengambil keputusan sendiri, dia terlatih memilih. Dia paham nilai-nilai, mana yang baik mana yang tidak. Dia tahu nilai esensi atas sesuatu. Kadang bikin urut dada sih. Misalnya, saat melaporkan nilai ulangan yang di bawah KKM. Aku remed, Ma, katanya. Tapi, aku jujur gak nyontek, lanjutnya. Hehe. Saya di posisi senyum-senyum saja, karena dari kalimat inti saja dia sudah tahu kok, harus meningkatkan usahanya. Bukankah lebih keren kalau jujur dan bagus nilainya? Dst.

Maaf, agak melantur kesana kemari. Ini nulis di ponsel, sangat tidak nyaman untuk ngedit. Nanti saya edit setelah pulang ke rumah, minggu depan. Sekarang sedang di luar kota.

Intinya, dengan membiasakan anak memilih sendiri hal-hal sederhana yang terkait hidupnya sejak kecil, seiring waktu latihan memilih ini meningkat pada nilai-nilai, dan lama kelamaan menjadi sebuah sistem dalam dirinya sendiri. Dia akan menyaring sendiri info mana yang perlu, yang baik, yang benar. Tapi dia sama sekali  tidak diisolasi dari yang salah. Tidak perlu dijauhkan dari yang tidak benar. Dia bisa membedakan sendiri, dia bisa merasakan sendiri.

Hasil akhirnya, anak merasa dipercaya, dan karenanya akan berusaha untuk menunjukkan kepercayaan itu tidak sia-sia. Anak senang karena orangtuanya tidak "rese" sebentar-sebentar menelepon, sedikit-sedikit bertanya, bahkan mengintip ponsel maupun laptopnya. Dan, ketika dalam pergaulan dia menemukan teman yang dibegitukan orangtuanya, dia sangat merasa bersyukur tidak mengalami hal yang sama.

Jika, apa yang menjadi dasar ide saya ini bisa kita jadikan langkah bersama para orang tua, alangkah serunya masa depan bangsa ini. Anak-anak tumbuh dalam pendidikan rumah yang berlandaskan sikap respek pada kapasitasmya sebagai manusia.






Minggu, 02 April 2017

SERUNYA MELAPORKAN SPT TAHUNAN





Akhir Maret tidak hanya masa sibuk bagi pegawai Kantor Pajak, tetapi juga masa rumit Wajib Pajak. Maaf, tepatnya, masa rumit bagi saya saja selaku kokonsultanpajakan (bertindak seperti konsultan pajak 😊 ) dari suami. Sudah bertahun-tahun saya melakukannya dan gak pinter-pinter. Tiap jatuh tempo laporan, tiap kali pula saya harus banyak bertanya.

Setiap tahun ada saja yang saya perlu tanyakan. Setiap tahun pula heboh di detik-detik menuju saat April Mop. Ada kesadaran untuk tidak mepet lapor. Dari awal Januari sudah wanti-wanti ke suami untuk minta bukti potong pajak dari para pemberi kerja. Pada prakteknya, ada saja data yang baru diterima di hari-hari terakhir masa pelaporan. Jadi, tetap lapornya hari terakhir.

Karena berulang dan saya tahu semua orang di Kantor Pajak sibuk pada masa-masa ini, biasanya saya bertanya pada orang-orang yang berbeda antar tahunnya. Beruntung ada beberapa teman maupun saudara yang mengabdi di sana, dengan penempatan di kota yang berbeda-beda. Tahun ini, langkah pertama saya adalah ke loket konsultasi dengan membawa selembar catatan. Saya mencoba menuliskan data yang saya punya, baik itu tentang pemberi kerja, maupun hal-hal lain yang bagi saya kurang jelas. Poin-demi-poin telah saya tanyakan dan merasa yakin kali ini akan lebih mudah mengisi formulir.

Saat tiba waktunya melengkapi data, tetap saja bingung. Saya merasa akan tidak pas kalau data ini masuk ke kolom itu, sesuai arahan pas konsultasi. Saya pun perlu bertanya pada yang mengerti. Tahun ini yang saya ganggu adalah sepupu dan teman kuliah saya. Terima kasih ya bersedia ditambah kerepotannya…

Mengapa isian laporan pajak saya rumit? Sementara, orang lain merasa mudah-mudah saja melakukannya.
Wajib Pajak paling beruntung adalah mereka yang bekerja di satu kantor saja, dengan gaji bulanan, dan tidak punya penghasilan tambahan. Kantor-kantor biasanya sudah membuatkan bukti potong pajak dalam format Formulir 1721-A1. Mereka tinggal mengambil formulir laporan 1770S atau 1770SS di Kantor Pajak. Menyalin data dari 1721-A1 ke halaman pertama formulir laporan. Halaman-halaman berikutnya tinggal mengisi data pribadi dan daftar harta tidak bergerak ataupun penghasilan tidak kena pajak. Selesai.

Pekerja kantoran yang mempunyai penghasilan tambahan, mulai butuh usaha dalam melaporkan SPTnya. Halaman pertama 1770S maupun 1770SS tidak lagi diisi sama dengan data di 1721-A1. Wajib Pajak harus mengisi formulir mulai dari halaman belakang, mundur menuju ke halaman pertama. Mengapa? Karena halaman pertama adalah kesimpulan informasi dari data di halaman-halaman dalam. Tidak perlu khawatir masalah pengisian data di halaman pertama. Di setiap barisnya ada keterangan. Data diambil dari halaman mana kolom berapa, atau dari hasil perhitungan baris yang ini dengan baris yang itu.

Yang sering membingungkan justru karena detilnya formulir tersebut dan kita tidak tahu penghasilan yang ini masuk ke kelompok yang mana. Selain itu, pada lembar potong pajak yang kita terima dan bukan final, ada kolom penghasilan bruto dan kolom dasar pengenaan pajak. Sementara, dalam formulir, ada kelompok penghasilan neto. Apakah dasar pengenaan pajak sama dengan penghasilan neto, tidak begitu saja orang awam paham.

Setelah halaman 2 sampai akhir terisi, beberapa baris halaman pertama tinggal diisi berdasarkan data yang sudah ada. Beberapa baris berikutnya didapat dari hasil perhitungan. Tambah, kurang, kali. Ada unsur Penghasilan tidak kena pajak. Ini harus lihat tabel. Angkanya sudah tetap, sesuai dengan kondisi keluarga. Apakah sendiri, ada istri/suami, dan dari jumlah anak. Sisa pengurangan penghasilan total dan penghasilan tidak kena pajak, akan dikalikan dengan persentase tertentu, sesuai dengan angkanya. Misalnya, jika sisa di bawah Rp 50.000.000, maka pajak yang harus dibayar adalah 5%nya. 



Pengisian Bagian A dari 1770S-I, penghasilan yang pemotongan pajaknya tidak final, akan berakibat tidak nol-nya selisih pajak yang harus dibayar dan yang telah dibayar. Artinya, bisa lebih bayar atau kurang bayar.
Jika kurang bayar, kita harus mendaftar dulu untuk mendapat id-billing, membayar kekurangan itu ke bank atau dari kantor pos, baru kemudian bisa melaporkan SPTnya dengan melampirkan bukti bayar tadi.
Tetapi, jika lebih bayar, jangan harap uang kita kembali segera. Kita harus melaporkan SPTnya dulu. Pihak Kantor Pajak akan memeriksa data kita lebih detil untuk memastikan benar ada kelebihan bayar. Jika benar, baru akan dilaporkan ke pusat untuk dibayarkan. Masa tunggunya tidak 1-2 hari. Tahap pemeriksaan ini yang bisa makan waktu. Data yang diperiksa tak hanya data yang sudah tercantum saja. Akan ditanya juga penerimaan-penerimaan lain yang mungkin sebelumnya tidak kita perhitungkan untuk dilaporkan. Tidak selalu orang tidak melaporkan sesuatu itu karena keinginan menyembunyikan. Bisa saja karena memang tidak tahu bahwa itu termasuk objek pajak.

Karena rumitnya proses pengembalian kelebihan bayar pajak ini, para petugas di lapangan seringkali meminta kita memeriksa ulang data sebelum laporan diterima. Maksudnya baik, agar kita tidak rumit sendiri mengurus pengembaliannya. Kadang mereka menyarankan menuliskan selisih sama dengan nol jika terjadi kelebihan bayar artinya, kita menganggap selesai urusan. Saya pernah mendapatkan hasil perhitungan yang menghasilkan lebih bayar tapi tidak banyak. AR saya waktu itu menyarankan menjadikan nol. Saya mempertanyakan kebijakan ini. Apalagi, 2 petugas sebelumnya menjelaskan cara menjawab yang berbeda sehingga hasilnya adalah kurang bayar. Tapi akhirnya tahun itu saya hanya melaporkan pembayaran pajak dari 1 pemberi kerja yang buktinya dalam format 1721-A1 saja, agar praktis. Toh para petugas juga berbeda pendapat tentang kasus saya.

Tahun berikutnya, pekerjaan suami saya lebih “lepas” lagi. Tidak ada yang bisa diklaim sebagai kantor utamanya. Demi kepraktisan, kembali saya hanya melaporkan 1 instansi yang bukti potongnya sudah dalam format 1721-A1.

Di tahun itulah, 2016, pemerintah menggalakkan Tax Amnesty. Saya sempat degdegan. Tapi saya merasa tidak bersalah. Tax Amnesty kan lebih ke aspek asset. Tentang asset yang kami miliki, datanya tidak ada yang ditutupi. Tahun lalu itu saya hanya tidak melaporkan semua, dan ini berarti ada pajak yang sudah dibayarkan tapi tidak diklaim melalui laporan SPT. Posisi kami jadi seperti memberi sedekah ke negara kan? Hehe.

Tahun ini, saya bertekad melaporkan SPT Tahunan dengan benar. Tidak mengambil gampangnya saja. Dari Januari saya sudah minta suami mengumpulkan bukti-bukti potong pajak ke para pemberi kerjanya. Tetap saja ujung-ujungnya mepet. 31 Maret pagi masih menerima e-mail kiriman file bukti potong pajak.

Awal Maret saya sudah ambil formulir. Baru 30 Maret saya ke kantor pajak dengan bukti potong belum lengkap. Tidak ke loket laporan, tapi konsultasi dulu. Saya sudah membuat daftar informasi. Data yang saya punya apa saja. Saat konsultasi, saya tanyakan data ini diapakan. Masuk kolom mana, tergolong unsur apa, dll. Saat itu saya merasa jelas. Sesampainya di rumah, saya coba isikan. Ternyata angkanya tidak pas. Oya, tahun ini saya ambil formulirnya 1770 karena sifat kerja suami yang “lepasan”. Formulir 1770 ini lebih rumit dari 1770S, menurut saya. Karena mepet dan bingung, saya konsultasi lagi melalui telepon dengan saudara di Pekalongan dan teman di Balikpapan. Terimakasih sekali mereka tetap bersedia membantu walau sedang sibuk.

Ada perbedaan petunjuk cara mengisi. Ini berakibat kebeda jumlah kurang bayar. Dan hari itu saya sudah di batas lelah. Lelah fisik karena beberapa hari terakhir banyak beredar antar kota antar provinsi (sebetulnya hanya antara Bogor Jakarta sih 😊) dan lelah mental karena kesal pada diri sendiri, gak pinter-pinter aja bikin laporan pajak. Jumat siang itu, setelah sepagian antri untuk dapat id-billing, bertanya-tanya, dan berusaha melengkapi laporan di rumah, saya malah tertidur lama. Tubuh tak bisa dipaksa. Niat memejamkan mata 15 menit jadi keterusan berjam-jam. Lalu saya pun menyerah. Tidak menyelesaikan proses pelaporan hari itu.

Saya mau memikirkan yang lain dulu. Apalagi ini akhir pekan. Memasak dan bercengkrama dengan anak dan suami saja. Minggu depan saja saya selesaikan dan laporkan. Biarlah didenda, daripada saya muntah darah, eh muntah pajak. Tapi rupanya sistem masih berpihak pada saya. Gosip perpanjangan masa pelaporan ternyata fakta, bukan hoax. Jadi, saya tidak harus menyelesaikan malam ini. Karenanya, saya bisa menuliskan ini dulu, komitmen 1 minggu 1 cerita.